Opini

409

Tantangan SDM di Tengah Pandemi “Capaian Keberhasilan Pilbup Demak 2020”

Oleh: Siti Ulfaati (Anggota KPU Kabupaten Demak) Indonesia adalah Negara yang berdasar hukum (rechtstaat), bukan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Hal ini, tercantum dalam Konstitusi Negara UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 1 ayat (3). Maka, segala penyelengaraan kehidupan bernegara harus patuh dan tunduk pada hukum. Baik dalam ranah ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan serta sosial budaya semua diatur dengan hukum yang diwujudkan dalam undang-undang. Hukum adalah kekuasaan tertinggi dalam negara (rule of law). Ciri-ciri negara hukum adalah pertama, adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Kedua, adanya pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi tersebut. Ketiga, pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan dan keempat, adanya Peradilan yang independen. Selain sebagai negara hukum, Indonesia juga telah memilih sistem demokrasi dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Sistem demokrasi di Indonesia ini terwujud di dalam kedaulatan negara yang berada di tangan rakyat. Dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dituangkan dalam pasal 1 ayat (2) dimana menyebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar. Wujud Indonesia sebagai negara hukum demokrasi tersebut, dalam pengangkatan pemimpin negara dilaksanakan dengan adanya mekanisme pemilihan umum yang dilakukan oleh rakyat, sebagai bentuk partisipasi masyarakat. Berkaitan dengan Indonsia sebagai negara hukum tersebut, segala hubungan antar warga negara sebagai subjek hukum, harus tunduk dan taat dengan aturan hukum yang berlaku. Termasuk diantaranya adalah berkaitan bagaimana aturan main dalam pelaksanaan pemilihan umum. Pemilihan Umum di Indonesia dibagi dalam Pemilihan Umum yang sifatnya nasional, yaitu untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, DPR RI dan DPD dan Pemilihan Umum yang sifatnya Kedaerahan, yaitu untuk memilih Gubernur-Wakil Gubernur, Walikota atau Bupati. Pengaturan berkaitan dengan Pemilihan Kepala Daerah pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahn 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diadakan Pilkada secara langsung pertama kali pada tanggal 1 Juni 2005. Selanjtnya Pengaturan Pilkada diatur dalam Undang-Undang Nomor UU 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur bahwa Pilkada dilakukan oleh DPRD Provinsi dan DPRD Kab/kota. Akan tetapi Undang-Undang ini banyak ditolak oleh masyarakat karena merupakan langkah mundur demokratisasi di Indonesia. Penolakan atas Undang-Undang Nomor UU 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, kemudian melahirrkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang mengembalikan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat. Perppu ini lahir berdasarkan Putusan MK No 138/PUU-VII/2009, yang menganggap bahwa pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD meupakan pemilihan yang tidak demokratis. Perrppu Nomor 1 Tahun 2014 ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pengesahan Perrpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Akan tetapi pada bulan Maret 2015, terjadi perubahan dalam aturan Pemilihan Kepala Daerah sehingga melahikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun  2015. Selanjutnya, perubahan kembali terjadi dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah ini terkait dengan desain pemilihan kepala Daerah Serentak secara nasional yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Dalam Undang-Undang ini Pemilihan Kepala Daerah di Tahun 2020 dilaksanakan pada Bulan September 2020. Menjelang tahun 2020, negara di dunia digemparkan dengan munculnya sebuah wabah dari Kota Wuhan, Tiongkok. Wabah penyakit yang disebabkan oleh virus ini dikenal dengan CoronaVirus Disease 2019 (COVID-19). Covid-19 dengan cepat mewabah ke penjuru dunia, yang kemudian oleh WHO ditetapkan sebagai Pandemi Global. Hingga pada awal bulan Maret 2020, virus Covid-19 pertama kali terkonfirmasi di Indonesia di Kota Depok Jawa Barat. Dengan cepat, penyebaran virus Covid-19 menjalar ke berbagai Kota di Indonesia. Akibat, pandemi Covid ini Pesiden Joko Widodo mengeluarkan Keppres Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan Keppres Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nasional Non Alam. Selanjutnya, Presiden Joko Widodo membuat kebijakan dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Keputusan tersebut sebagai bentuk reaksi cepat pemerintah pusat untuk dapat menginstruksikan dan mengkonsolidasikan jajaran Kementerian dan Lembaga, serta Kepala Daerah dalam hal penanganan COVID-19. Percepatan penanganan COVID-19 diperlukan langkah-langkah cepat, tepat, fokus, terpadu, dan sinergis antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah Dengan adanya kebijakan penegakan Protokol Kesehatan yang dikeluarkan pemerintah sebagai tindak lanjut dalam pencegahan penyebaran Virus Covid-19, akan berdampak pada aktivitas masyarakat dan penyelenggaraan pelanyanan publik. Salah satu yang berdampak adalah penyelenggaraan Tahapan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2020. Dampak Pandemi Covid-19 telah berpengaruh terhadap kegiatan sosial, ekonomi dan interaksi sosial pada masyarakat, dengan adanya Kebijakan Protokol Kesehatan yang membatasi kegiatan masyarakat. Hal ini juga berdampak pada Proses Tahapan Pilkada Serentak Tahun 2020 yang menunda hari pemungutan suara tanggal 23 September 2020 (Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) 15/2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2020). Tepat tanggal 21 Maret 2020 KPU RI melakukan penundaan Tahapan Pilkada Serentak 2020 dengan mengeluarkan Keputusan KPU RI Nomor 179/PL.02- Kpt/01/KPU/III/2020 tentang Penundaan Tahapan Pemilihan Gubernur dan  Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020 dalam Upaya Pencegahan Penyebaran COVID-19. Penundaan tahapan yang dimaksud adalah sebagai berikut: Pelantikan PPS 22 Maret 2O2O dan Masa Kerja Panitia Pemungutan Suara: 23 Maret s.d. 23 No ovember 2O2O. Segala kegiatan persiapan dan pelaksanaan Tahapan Pembentukan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih dengan masa Kerja Petugas Pemutakhiran Data Pemilih. Segala kegiatan persiapan dan pelaksanaan Pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih. Tahapan Pencalonan Perseorangan (Verifikasi Faktual). Kondisi tersebut diatas, membuat Pemerintah mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati pada tanggal 4 Mei 2020. Pada dasarnya Perppu Nomor 2 ini mengatur mengenai perubahan proses Pilkada Serentak 2020 mulai dari Tahapan sampai pada pemungutan suara. Perppu ini juga mengatur berkaitan dengan penegakan protokol kesehatan selama menjalankan tahapan Pilkada Serentak di masa Darurat Kesehatan Masyarakat. Sebagai lembaga penyelenggara Pemilihan Umum di Indonesia, termasuk di dalamnya adalah Pemilihan Kepala Daerah, peran KPU dan Bawaslu sangat penting dalam mewujudkan demokratisasi di Indonesia. Terkait dengan Pilkada Serentak 2020 di masa darurat kesehatan masyarakat ini, walaupun banyak desakan agar pelaksanaannya ditunda, termasuk dua organisasi besar di Indonesia yaitu Nahdlotul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Akan tetapi Pemerintah, DPR, KPU dan Bawaslu telah bersepakat bila pelaksanaan Pemungutan Suara Piilkada Serentak Lanjutan Tahun 2020 tetap dilakukan pada tanggal 9 Desember 2020. Hal ini, tentu saja tak lepas dari telah ditetapkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 yang menjadi dasar yuridis pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. KPU RI melalui PKPU Nomor 5 Tahun 2020 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020 tanggal 12 Juni 2020 menetapkan hari pemungutan suara yang awalnya 23 September 2020 menjadi 9 Desember 2020 dan melalui Keputusan KPU Nomor 258|PL.O2- Kpt/ 01/KPU/VI/2020 tentang Penetapan Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Tahun 2020 tanggal 15 Juni 2020 menetapkan Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Tahun 2020, dimulai dari tahapan yang tertunda meliputi Pelantikan dan Masa Kerja Panitia Pemungutan Suara, Verifikasi Syarat Dukungan Pasangan Calon Perseorangan, Pembentukan dan Masa Kerja Petugas Pemutakhiran Data Pemilih dan Pemutakhiran dan Penyusunan Daftar Pemilih. Tahapan Pilkada Serentak Lanjutan 2020 dilaksanakan dengan catatan dengan menerapkan protokol Covid -19 yang diatur dalam PKPU Nomor 13 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Wali Kota Dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Tantangan SDM 2020, antara harapan dan Realitas Tantangan SDM dalam pelaksanaan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Demak Tahun 2020 di tengah Pandemi Covid-19 adalah terlihat ketika pembentukan badan ad hoc baik di tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Selain itu juga terlihat ketika pembentukan Petugas Ketertiban TPS (Gastib) dan juga Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP). Persyaratan yang ketat menjadi salah satu tantangan dalam pembentukan badan ad hoc diantaranya adalah terkait batas usia minimal 20 tahun dan maksimal 50 tahun, kewajiban melaksanakan rapid test/swab bagi penyelenggara dan tidak memiliki penyakit kormobid (penyerta) termasuk didalamnya tidak diperbolehkan hamil. Hal diatas menjadi sebuah kendala bagi KPU Kabupaten Demak. Pertama, persyaratan tersebut memang khusus diperuntukkan ketika di masa pandemic covid-19 mengingat di masa tersebut kondisi tubuh, atau imun harus benar-benar terjaga sehingga terkait usia sangat mempengaruhi, akan tetapi fakta di lapangan tidak semulus seperti teori. Ada beberapa calon badan ad hoc di tingkat KPPS yang usianya di atas 50 tahun yang sudah diproyeksikan oleh Kepala Desa/Kelurahan tidak bisa menjadi KPPS. Sehingga ada PPS yang mendapatkan intimidasi dan tidak difasilitasi oleh pemerintah Desa/ Kelurahan. Berdasarkan fakta tersebut PPS dan KPU Demak harus bekerja extra lebih keras dalam perekutan KPPS. Komunikasi vertical maupun horizontal dilakukan KPU Kabupaten Demak agar pembentukan badan ad hoc bisa berjalan lancar dan sesuai dengan tahapan. Kendala yang kedua adalah terkait diwajibkannya pelaksanaan Rapid test/ Swab bagi badan ad hoc. Rapid test/ Swab dilakukan untuk badan ad hoc yang sudah mendapatkan SK (Surat Keputusan). Pelaksanaan Rapid test/ Swab adalah sebagai upaya atau ihtiar pencegahan penyebaran Covid-19. Ini merupakan penggambaran bentuk kesiapan pihak penyelenggara dalam menyelenggarakan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Demak pada tanggal 9 Desember 2020. Rapid test/ Swab itu sendiri bukan hanya diperuntukkan untuk badan ad hoc melainkan untuk semua penyelenggara, baik Anggota KPU Kabupaten Demak dan sekretariat KPU Kabupaten Demak setiap melakukan tahapan Pilbup Demak 2020.  Misalkan saja Rapid test/ Swab  yang dilakukan PPDP, adalah sebagai persiapan sebelum pelaksanaan pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih, sedangkan pelaksanaan Rapid test/ Swab  oleh KPPS adalah sebelum bertugas pada pemungutan suara. Hal tersebut adalah untuk mencegah terbentuknya klaster baru. Karena prinsip dasar dari pelaksanaan Pilkada dalam kondisi pandemi Covid-19 ialah dengan mengutamakan dan memastikan keselamatan dan kesehatan baik penyelenggara, peserta dan pemilih dengan tidak mengabaikan kualitas demokrasi yang sudah menjadi ketentuan undang-undang. Walaupun tujuan pelaksanaan Rapid test/ Swab  adalah untuk menjaga keselamatan dan kesehatan, akan tetapi fakta pelaksanaannya di lapangan tidak semudah yang kita bayangkan. a. Pelaksanaan Rapid test/ Swab  di tingkat PPK, PPS Sekretariat PPK dan Sekretariat PPS Pelaksanaan Rapid test/ Swab di tingkat PPK dan PPS masih sangat terkendali. Mereka masih bersedia melaksanakan sesuai dengan penjadwalan yang ada dan bagi yang dinyatakan reaktif melakukan isolasi sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan. Tetapi untuk Sekretariat PPK dan Sekretariat PPS yang notabene kebanyakan berusia lanjut (diatas 50 tahun), banyak diantara mereka yang memiliki penyakit kormobid/ penyerta. Sebagian memilih untuk menugundurkan diri dan meminta untuk diganti. Karena kekhawatiran dan ketakutan akan hasil Rapid test/ Swab Reaktif dan nantinya diminta melakukan isolasi. Permintaan Pengunduran diri diatas tentunya tidak bisa diamini oleh KPU Demak, dikarenakan terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di Kecamatan atau Desa/Kelurahan. Kebijakan yang diambil KPU Demak adalah dengan memberikan kelonggaran waktu bagi sekretariat PPK dan PPS untuk melakukan Rapid test/ Swab. KPU Demak melakukan pendekatan, dialog “dari hati ke hati” dengan berkunjung ke masing-masing sekretariat yang tidak berkenan melakukan Rapid test/ Swab. Di antara beberapa sekretariat yang dinyatakan reaktif, diminta untuk melakukan Swab dan hasilnya menunjukkan Positif Covid. Sehingga mereka harus dilakukan karantina/ isolasi oleh pihak rumah sakit atau puskesmas setempat. Bahkan ada pula yang harus melakukan isolasi lama/ lebih dari sebulan dikarenakan yang bersangkutan memiliki penyakit kormobid/ penyerta. Sehingga penyembuhannya membutuhkan waktu yang sangat lama. Belum lagi setelah dilakukan traching, ternyata ada beberapa keluarga yang terkonfirmasi virus covid-19. Setelah isolasi selesai mereka akan diminta untuk melakukan Rapid test/ Swab kembali dan ketika hasilnya dinyatakan non reaktif/ negatif, yang bersangkutan akan diberikan surat keterangan sehat dan bisa melanjutkan kembali tugas dan kewajibannya sebagai sekretariat PPK atau Sekretariat PPS Pelaksanaan Rapid test/Swab ini memang diwajibkan bagi penyelenggara dan merupakan sebuah persyaratan yang harus dilakukan. Karena ketentuannya sangat jelas. Bagi yang tidak berkenan dilakukan Rapid test/ Swab mereka harus mundur. Akan tetapi mengingat terbatasnya SDM yang ada di lapangan, ada hal-hal lain yang memang harus disikapi dengan bijak. Berikut hasil Rapid test/ Swab KPU Kabupaten Demak, PPK, PPS, Sekretariat PPK dan Sekretariat PPS. b. Pelaksanaan Rapid test/ Swab  di tingkat Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) PPDP adalah petugas yang diangkat oleh KPU Demak untuk melakukan Pencocokan dan Penelitian (Coklit) data pemilih. Sebelum melakukan tahapan coklit PPDP harus melakukan pemeriksaan Rapid test/ Swab. PPDP yang dinyatakan sehat dan non Reaktif bisa terus melakukan tugasnya. Akan tetapi PPDP yang dinyatakan reaktif harus diganti selain mereka juga harus melakukan isolasi mandiri. PPDP dalam melakukan coklit harus turun di lapangan dan bertemu langsung dengan pemilih. Oleh karena itu sebelum melakukan tahapan PPDP harus benar- benar dalam keadaan sehat dan terbebas dari covid-19. Mereka dibekali dengan face shild, sarung tangan, hand sanitizer. Sehingga melalui PPDP, KPU Demak meyakinkan masyarakat bahwa petugas yang mendatangi rumah mereka tidak akan membawa cluster penyebaran Covid-19. Adapun kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Rapid test/ Swab  di PPDP adalah, susahnya mencari SDM pengganti PPDP yang sudah ditetapkan yang dinyatakan reaktif. Dikarenakan ketentuan dalam regulasi dimana PPDP yang dinyatakan reaktif harus diganti. Hal tersebut membuat banyak masyarakat yang khawatir dan enggan menjadi PPDP. Dalam hal ini PPS memang dihadapkan pada situasi yang sulit karena di masa pandemic covid-19 yang sangat mencekam masyarakat masih sangat takut terkena ataupun menularkan virus covid-19. Akan tetapi oleh PPS, hal tersebut disikapi dengan bijak. Mereka melakukan komunikasi inten dengan pemerintah desa/kelurahan untuk membantu mereka mensosialisasikan dan meyakinkan masyarakat terkait pelaksanaan Rapid test/ Swab  adalah untuk kebaikan bersama dan untuk menditeksi dini virus covid-19 sehingga dapat mencegah penularan dan melakukan pengobatan dini kepada mereka yang terjangkit. Berikut ini data PPDP yang reaktif di Kabupaten Demak: Dari data di atas kebutuhan PPDP di Kabupaten Demak adalah sejumlah 2206 orang. Dilakukan penggantian sebanyak 88 orang dikarenakan hasil pemeriksaan Rapid test/ Swab reaktif. Sehingga total keseluruhan yang melakukan Rapid test/ Swab adalah sebanyak 2.294 orang. Data diatas belum termasuk PPDP yang mengundurkan diri sebelum pelaksanaan Rapid test/ Swab. c. Pelaksanaan Rapid test/ Swab  di tingkat KPPS dan Petugas Ketertiban TPS (Gastib) Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara atau KPPS adalah kelompok yang dibentuk oleh PPS untuk menyelenggarakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara. KPPS merupakan ujung tombak pelaksanaan Pilbup Demak 2020. Sedangan Gastib adalah adalah petugas yang dibentuk oleh PPS untuk menangani ketenteraman, ketertiban, dan keamanan di setiap Tempat Pemungutan Suara. Sebelum menyelenggarakan pemungutan suara, KPPS bertugas mendirikan Tempat pemungutan Suara serta menyiapkan berbagai hal yang berkaitan dengan pemungutan suara. Selain itu KPPS juga melakukan penghitungan suara sampai mengantarkan kotak suara ke PPK/ kecamatan. Dengan beban dan tanggung jawab yang luar biasa KPPS harus benar-benar dinyatakan sehat dan terbebas dari Covid-19. Begitu juga dengan Gastib. Oleh karena itu sebelum menyelenggarakan pemungutan suara KPPS dan Gastib harus melakukan pemeriksaan Rapid test/ Swab. Berbeda dengan PPDP apabila reaktif diganti. KPPS dan Gastib yang reaktif diminta untuk melakukan isolasi dan tidak diganti. Dikarenakan kebutuhan SDM KPPS dan Gastib yang sangat banyak. Dalam perjalanan pelaksanaan Rapid test/ Swab KPPS dan Gastib di Kabupaten Demak ada beberapa kendala diantaranya adalah KPPS dan Gastib merasa Keberatan melakukan Rapid test/ Swab karena mereka harus meluangkan waktu sehari untuk izin. KPPS dan Gastib yang terpilih kebanyakan mereka bekerja di pabrik, lembaga pendidikan dan swasta. Hal tersebut juga terjadi ketika calon KPPS harus memenuhi persyaratan pendaftaran dalam hal melampirkan surat keterangan kesehatan yang berasal dari puskesmas atau rumah sakit setempat. Bagi mereka meluangkan waktu sehari untuk melakukan pemeriksaan sama saja dengan dipotongnya gaji mereka selama sehari pula. Kendala yang selanjutnya adalah minimnya antusias masyarakat untuk menjadi KPPS dan Gastib karena di masa Pandemic Covid-19 memunculkan ketakutan akan tertular Virus Corona-19. Sehingga dalam kasus KPPS tersebut, PPS melakukan upaya dengan jemput bola langsung ke rumah warga yang memenuhi persyaratan. PPS juga membantu menyiapkan berkas administrasi pendaftaran calon KPPS. Sedangkan dalam hal urusan Gastib, PPS melakukan komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah Desa/Kelurahan. Kasus yang terjadi di desa Gajah ada KPPS yang dinyatakan reaktif oleh Puskesmas setelah melakukan pemeriksaan Rapid test/ Swab, dan oleh petugas Puskesmas dilakukan penjemputan dengan menggunakan Ambulans dan Petugas menggukan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap. Hal ini membuat yang bersangkutan, keluarga dan masyarakat di sekitar heboh. Sehingga menjadikan ketakutan tersendiri oleh mereka dan tidak hanya itu, mereka menyalahkan KPU Demak karena dengan adanya pelaksanaan Rapid test/ Swab, mereka dijauhi oleh masyarakat, menjadi bahan gunjingan dan mengalami dampak ekonomi yang tidak diharapkan. Misalkan warungnya sepi dan tidak ada yang mau membeli. Mereka merasa dirugikan baik secara secara psikis ataupun sosial. Selain itu dampak lain dari pelaksanaan Rapid test/Swab adalah adanya intimidasi dan terror terhadap beberapa PPK dan PPS. Tidak sedikit yang mengancam memilih mundur baik satu TPS ataupun bahkan 1 Desa kalau masih dipaksa melakaukan Rapid test/Swab dan ada juga yang lebih memilih menjadi Tim Pemenangan. Disalah satu TPS di Mranggen ada Ketua KPPS yang melakukan bunuh diri dikarenakan mengalami tekanan mental pasca dinyatakan reaktif oleh puskesmas. Hal tersebut terjadi ketika yang bersangkutan dilakukan isolasi oleh Puskesmas di rumah kosong. Dari penuturan keluarga, sebelum bunuh diri yang bersangkutan merasa tertekan pasca dinyatakan reaktif. Berikut data jumlah KPPS dan Gastib KPU Kabupaten Demak yang dinyatakan reaktif . Selain beberapa dinamika diatas faktor media dalam membentuk opini masyarakat dan maraknya berita Hoaks juga menambah deretan permasalahn terkait pembentukan badan ad hoc. Belum lagi tahapan pembentukan badan ad hoc PPS yang beririsan dengan tahapan pencalonan perseorangan juga menambah deretan permasalahan di KPU Demak mengingat PPK saat itu belum dilantik, sedangkan SDM di KPU Demak sangat terbatas. Antisipasi Kecelakaan Kerja Pengalaman dari penyelenggaraan baik dari Pemilihan sebelumnya, para penyelenggara badan adhoc Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Demak Tahun 2020 sering menerima intimidasi dan tindak kekerasan, baik dari tim sukses atau simpatisan peserta Pemilihan maupun pihak lain, sehingga diperlukan santunan kecelakaan kerja untuk memberikan perlindungan sosial bagi penyelenggara Pemilihan yang mengalami tindak kekerasan fisik ketika bertugas dalam penyelenggaraan tahapan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Demak Tahun 2020. Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Demak Tahun 2020 diselenggarakan dalam suasana pandemi Covid-19. Selain itu juga mempertimbangkan situasi dan keamanan dalam pelaksanaan tugas-tugas penyelenggara Pemilihan serta pelaksanaan wewenang, tugas dan tanggung jawab penyelenggara Pemilihan yang sepenuh waktu diperlukan perhatian yang sungguh-sungguh atas setiap potensi risiko dan risiko yang terjadi dalam pelaksanaan tugas dimaksud. Selain itu, jangkauan wilayah penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Demak Tahun 2020  terbilang luas, untuk sebagian wilayah yang memiliki tantangan geografis dan tantangan lain akibat bencana alam atau kerusakan lingkungan ekologis yang berpotensi atas segala bentuk resiko bagi segenap badan adhoc Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Demak Tahun 2020 untuk dijangkau para Penyelenggara Pemilihan, sehingga risiko kecelakaan dijalan relative tinggi, karena Penyelenggara Pemilihan harus melakukan tugas penyelenggaraan tahapan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Demak Tahun 2020 yang membutuhkan mobilitas tinggi. Santunan kecelakaan kerja merupakan salah satu tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Demak kepada jajarannya yang ikut serta dalam mensukseskan pelaksanaan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Demak Tahun 2020 sehingga dapat berjalan demokratis sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 470/SDM.07.4-Kpt/05/X/2020 tentang Pedoman Teknis Pemberian Santunan kecelakaan Kerja dalam penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020 dan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Demak Nomor: 127/SDM.07.4-Kpt/3321/KPU-Kab/X/2020 tentang Pedoman Teknis Pemberian Santunan kecelakaan Kerja dalam penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020 memberikan santunan kepada badan ad hoc dengan kriteria sakit/ luka berat 6 orang, sakit/luka sedang 5 orang, meninggal 1 orang dan cacat 1 orang. Selain mendapatkan santunan dari KPU Kabupaten Demak badan adhoc yang mengalami kecelakaan kerja juga mendapatkan santunan dan BPJS Ketenagakerjaan. Menjawab Tantangan Pilbup Demak 2020: Jaminan Keamanan, Tingkat Partisipasi, dan Demokratisasi Tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Demak Tahun 2020 di tengah Pandemi Covid-19 adalah kekhawatiran akan tingkat Partisipasi Pemilih yang rendah. Hal ini, dikarenakan kondisi Pandemi Covid-19 yang belum berakhir, mengakibatkan masyarakat enggan menggunakan hak pilihnya pada tanggal 9 Desember 2020. Masyarakat masih dirundung ketakutan akan terjangkit Covid-19 ketika melakukan pencoblosan di TPS. Kondisi tersebut menjadi logis karena masih banyak warga yang kurang meyakini protocol kesehatan yang diterapkan dapat menjamin para pemilih bebas dari penularan Covid-19. KPU Kabupaten Demak, berusaha dengan pikran dan tenaga menyiapkan badan ad hoc Pilbup Demak yang berkualitas, sehat dan aman bagi setiap warga yang mengikuti proses Demokrasi. Yang kreatif, inovatif dalam menyusun strategi sosialisasi sehingga mampu meyakinkan warga Demak bahwa Pilbup Demak merupakan hal yang sangat menentukan kemajuan dan perkembangan Kabupaten Demak yang membutuhkan aspirasi (suara) masyarakat Demak dan semua tahapan diselenggarakan dengan mematuhi protocol kesehatan, mengutamakan keselamatan dan kesehatan semua pihak. Pembentukan badan ad hoc, selain telah diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan, juga merupakan hal penting dalam rangka mensukseskan pelaksanaan Pilbup Demak 2020. KPU Demak membentuk PPS, PPK dan Relawan Demokrasi dengan memfokuskan pada orang-orang yang mempunyai kretivitas, bekerja keras, cerdas dan mampu berkomunikasi dengan baik. Manajemen dalam pembentukan badan ad hoc ini dilakukan dengan prosedur yang ketat dan dengan kriteria-kriteria khusus yang dapat merepresentasikan semua lapisan masyarakat kabupaten Demak. Uji kelayakan anggota badan ad hoc KPU Demak dilakukan dengan standar yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh orang yang ahli, pakar dan professional. Orang-orang yang telah terpilih dalam lembaga ad hoc, mempunyai kualitas, kapasitas, kredibilitas dan integritas dalam membantu pelaksanaan Pilkada Kabupaten Demak dengan aman, jujur dan adil sesuai dengan prinsip demokrasi yang baik. Dengan manajemen pembentukan lembaga ad hoc yang baik, membuktikan bahwa KPU Demak mampu menjawab tantangan pelaksanaan Pilkada 2020 dengan sukses. Kesuksesan tersebut dapat diukur dengan angka Partisipasi Pemilih Kabupaten Demak yang naik dibandingkan dengan angka partisipasi Pemilih pada Pelaksanaan Pilkada sebelumnya. Tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada 2020 ini adalah sebesar 73,13%, sedangkan dalam pelaksanaan Pilkada Tahun 2015 partisipasi pemilih hanya sebesar 67,52%. Ada kenaikan partisipasi pemilih sebesar 5,61% pada tingkat partisipasi pemilih. Padahal, kekhawatiran awal, ketika pelaksanaan Pilkada di tengah Pandemi Covid-19, partisipasi pemilih akan sangat rendah. Selain angka partisipasi yang meningkat 5,61%, keberhasilan KPU Demak dalam menyelenggarakan Pilkada 2020 juga bisa dilihat dari tidak adanya cluster penyebaran covid-19, tidak adanya gugatan sehingga penetapan Paslon terpilih bisa dilakukan pada tanggal 21 Januari 2020 dan KPU Demak didaulat menjadi penyelenggara terbaik di Jawa Tengah dengan mendapatkan 4 penghargaan yaitu juara pertama Manajemen Pengelolaan Logistik Pemilihan Serentak 2020 Terbaik, juara pertama Manajemen Penyelenggaraan Pencalonan Pemilihan Serentak 2020 Terbaik, juara kedua Inovasi Sosialisasi Pendidikan Pemilih Pemilihan Serentak 2020 Terbaik dan juara kedua Pengelolaan Dana Kampanye Pemilihan Serentak 2020 Terbaik. Keberhasilan peningkatan angka partisipasi pemilih ini juga tidak dapat dilepaskan dari peran para anggota penyelenggata pemilu sendiri, baik KPU Demak maupun anggota lembaga ad hoc yang berhasil dalam melakukan pendekatan dan sosialisasi kepada warga Demak. Kualitas dari anggota lembaga ad hoc, yang mampu berkomunikasi dengan baik, mampu mempersuasi warga agar mau memberikan suara dan mampu meyakinkan warga Demak bahwa Pilkada akan berlangsung dengan aman dibawah Protokol Kesehatan yang ketat merupakan faktor pendukung dalam kesuksesan penyelenggaraan Pilkada 2020 di Kabupaten Demak. Kualitas anggota yang direkrut merupakan keberhasilan dari manajerial pola pembentukan badan ad hoc yang baik pula.


Selengkapnya
98

Romansa PHPU

Dalam sebuah kehidupan, manusia disebut kuat apabila tahan terhadap ujian kehidupan. Istilah ini sepertinya selaras juga untuk memberikan sebutan kepada penyelenggara pemilu yang berhasil melewati berbagai permasalahan selama proses tahapan. Ujian bagi penyelenggara pemilu adalah berbagai permasalahan mulai dari tahapan persiapan, penyelenggaraan, hingga ada tidaknya sengketa, baik sengketa proses, pelanggaran pemilu dan sengketa hasil. Predikat penyelenggara tangguh, selayaknya patut disematkan kepada jajaran KPU Provinsi dan kabupaten/kota se-Jawa Tengah. Betapa tidak, dari banyaknya tahapan pemilu, semua terselesaikan dengan baik. Bahkan berbagai sengketa yang diperkarakan oleh berbagai pihak, mulai dari PHPU yang dialami KPU provinsi dan semua KPU kabupaten/kota se-Jawa Tengah, sengketa informasi publik yang dilayangkan kepada KPU Kabupaten Tegal, sengketa terkait Tata Usaha Negara, hingga aduan ke DKPP, semuanya dapat terselesaikan dengan baik. Yang membuktikan lagi adalah perselisihan hasil pemilu di Jawa Tengah, keseluruhan ditolak oleh MK.  Di Kabupaten Demak sengketa yang ada terkategori minimalis. Namun begitu, bukan berarti KPU nya tidak tangguh. Justru ketika sengketa itu minim, dapat diambil kesimpulan bahwa segala permasalahan dapat terselesaikan saat tahapan berlangsung. Bisa juga diartikan bahwa penyelenggara pemilu dari tingkat bawah benar-benar professional dalam melaksanakan tugas, sehingga tidak menyisakan permasalahan di belakang hari. Untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden perkara yang diajukan ke MK, dan yang harus dipersiapkan  oleh KPU Kabupaten Demak adalah permohonan yang berasal dari Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden (paslon) Nomor urut 2, yaitu Prabowo Subiyanto dan Sandiaga Uno. Untuk Pemilu DPRD Provinsi Jawa Tengah Dapil Jateng II terdapat permohonan perkara Partai Berkarya. Sedangkan untuk DPRD Kabupaten Demak Dapil 3 Demak permohonan perkara diajukan oleh Magdarini Okta Sumarno, caleg PDIP. PHPU Pilpres Permohonan Perselisihan Hasil Pemilu yang diajukan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor urut 2, Prabowo Subiyanto dan Sandiaga Uno cukup membuat sibuk KPU Kabupaten Demak dan KPU kabupaten/kota se-Indonesia. Betapa tidak, permohonan sebanyak 37 halaman itu bisa dibilang abstrak, karena locus gugatan tak jelas. Dengan begitu seluruh KPU Kabupaten/kota harus mempersiapkan untuk menjawab dalil pemohon. Di bab pendahuluan, ada tiga hal yang disampaikan pemohon. Pertama, berkaitan dengan Indonesia Negara hukum, yang didalamnya disebutkan pasal 22E ayat (1) UUD 45 yang dikaitkan dengan prinsip kejujuran dan keadilan yang substantif. Kedua, berkaitan dengan pemilu yang jujur dan adil sebagai syarat fundamental dalam menjamin eksistensi dan keberlanjutan Negara Hukum Republik Indonesia. Ketiga, Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) diharapkan mampu menjadi penegak dan pembuka pintu keadilan yang benar-benar mampu mengejawantahkan dirinya, sehingga memberikan harapan masa depan akan Negara dan bangsa bagi pencari keadilan. Pada point ini juga disampaikan idealnya seorang hakim konstitusi adalah insan yang sudah selesai dengan dirinya; insan yang megutamakan substansi, memiliki pengetahuan yang paripurna, wawasan seluas samudera, keteladanan yang tak tertandingi, kearifan di atas rata-rata manusia yang lain di Negara Indonesia. Adapun pokok permohonan yang diajukan ada 3 poin yang kemudian dijabarkan menjadi beberapa sub point. Point pertama berbicara mengenai MK adalah pengawal konstitusi sehingga perlu mengadili kecurangan. Dalam point ini disebutkan bahwa MK seharusnya tidak hanya sebagai “Mahkamah Kalkulator” yang hanya bertugas menentukan pemenang pemilu berdasarkan benar atau salahnya rekapitulasi suara. Karena sifatnya sebagai peradilan konstitusi, Mahkamah tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan procedural (procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice). MK juga diminta tidak terpasung oleh bunyi-bunyian undang-undang melainkan juga harus menggali rasa keadilan dengan tetap berpedoman pada makna substantif undang-undang itu sendiri. Point ke dua pada pokok permohonan Paslon nomor urut 2 adalah berkaitan dengan sistematis, terstruktur dan masif. Dijabarkan pada point ini yang dimaksud pelanggaran terstruktur adalah kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama. Pelanggaran sistematis adalah pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi. Sedangkan pelanggaran masif adalah dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan bukan hanya sebagian. Pada point ini disebutkan bahwa telah terjadi kecurangan TMS yang dilakukan oleh pasangan calon petahana, yaitu Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin. Bentuk pelanggarannya adalah penyalahgunaan Anggaran Belanja Negara dan/Program Kerja Pemerintah, ketidaknetralan aparat Negara (polisi dan intelejen), penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, pembatasan kebebasan media dan diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakan hukum. Menurut Paslon Nomor 2 ini, dari pelanggaran yang dilakukan Paslon nomor urut 1, sanksi yang dapat dijatuhkan adalah pembalasan sebagai pasangan calon dan diskualifikasi. Permohonan gugatan Prabowo dan Sandiaga Uno juga menyebutkan terkait argumentasi kecurangan kuantitatif dalam Pilpres 2019. Diantaranya terkait DPT yang tidak masuk akal dan kekacauan situng KPU dalam kaitannya dengan DPT. Terkait DPT yang tidak masuk akal disebutkan bahwa terdapat DPT yang tidak wajar berjumlah 17,5 juta yang terdiri dari tiga kelompok yakni, data kelahiran yang bertanggal 1 Juli sebanyak 9.817.003 orang, data kelahiran bertanggal 31 Desember sebanyak 5.377.401 orang dan data kelahiran bertanggal 1 Januari sebanyak 2.359.304 orang. Disebutkan pula ada beberapa TPS yang memuat lebih lebih 100 orang bahan 200 orang lebih yang mempunyai tanggal lahir sama dan ternyata setelah dicek di Dinduksapil yang bersangkutan tidak ber-KTP. Selain masalah tanggal kelahiran yang sama, diebutkan pula bahwa data di DPT 2019 menunjukkan pemilih berusia di bawah 17 tahun sekitar 20.475 orang. Padahal dibawah 17 tahun, peraturan tidak membolehkan untuk memilih. Selanjutnya ada pula data usia 90 tahun dengan kelahiran 1800 atau 1900 sebanyak 304.782. Berkaitan dengan kekacauan Situng dengan kaitannya DPT, disebutkan bahwa kekacauan tersebut antara lain meliputi banyaknya kesalahan input data pada Situng yang mengakibatkan terjadinya ketidaksesuaian data dengan data yang terdapat pada C1 yang dipindai KPU. Kemudian banyaknya kesalahan penjumlahan suara sah yang tidak sesuai dengan jumlah DPT/DPTb/DP dan banyaknya kesalahan data yang terdapat pada C1 yang dipindai. Dalam petitumnya, Paslon nomor urut 2 ini memohon kepada MK untuk mendiskualifikasi Paslon Presiden dan Wakil Presiden Nomor urut 1 Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai Peserta Pemilu, dan mentapkan Paslon Nomor Urut  2 Prabowo Subiyanto-Sandiaga Uno sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024, karena menurutnya telah berlaku curang dan KPU pun telah melakukan pelanggaran. Permohonan PHPU yang diajukan Paslon Nomor urut 2 yang “nggrambyang” ini memang perlu pengkajian khusus. Selain itu, perlengkapan untuk menjawab dalil pemohon ini juga banyak yang harus dipersiapkan. Namun begitu, hal ini tidak menjadi persoalan bagi KPU, karena semua yangberkaitan dengan permohonan pemohon dapat disediakan dengan mudah. Dalam menyiapkan jawaban atas dalil pemohon, KPU Kabupaten Demak melaksanakan beberapa hal, yang pertama membuat kronologi pelaksanaan tahapan penyusunan Daftar Pemilih mulai dari DPT pilgub menjadi DPS, hingga penyusunan DPTb dan DPK. Kemudian membuat kronologi terkait situng (adanya salah input atau salah jumlah dan salah perbaikannya, salah jumlah dalam C1 dan masih banyak yang lainnya. Selain itu KPU Kabupaten Demak juga menyiapkan kronologis umum tentang pelaksanaan pemungutan suara (termasuk di dalamnya kejadian Pemilu Lanjutan yang terjadi di TPS 16 Desa Wringinjajar dan TPS 11 Desa Candisari Kecamatan Mranggen), penghitungan suara di TPS, rekapitulasi di PPK dan rekapitulasi di tingkat kabupaten. Selain kronologi, daftar alat bukti dan alat bukti juga disiapkan untuk dihimpun dengan alat bukti KPU kabupaten kota se-Indonesia oleh KPU RI. PHPU Pileg Selain gugatan yang diajukan Paslon Nomor Urut 2, KPU Kabupaten Demak juga mendapatkan pengajuan gugatan dari Partai Berkarya dan Magdarini Okta Sumarno, Caleg DPRD Kabupaten Demak Dapil 3 Demak Partai PDIP. Dalam gugatan Partai Berkarya disebutkan bahwa KPU Kabupaten Demak telah salah dan keliru dalam melakukan perhitungan perolehan suara Partai Berkarya yang seharusnya sebanyak 50.000 suara, sehingga sangat mempengaruhi perolehan kursi Pemohon di DPR RI Dapil Jateng II. Atas pokok permohonan Partai Berkarya tersebut, KPU Kabupaten Demak pun menyiapkan kronologis yang membantah dalil pemohon tersebut. Karena faktanya perolehan suara Partai Berkarya di Dapil Jawa Tengah II sebanyak 14.207 suara dan khusus di Kabupaten Demak sebanyak 9.097 suara. Tak hanya itu, alat bukti berupa formulir model DB-1 juga disiapkan untuk menunjukkan bahwa dalil pemohon tersebut tidak benar. Segala kelengkapan untuk menghadapi gugatan Partai Berkarya sudah disiapkan KPU Kabupaten Demak, namun ternyata permohonan Partai Berkarya yang sudah masuk dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) ternyata dicabut. Atas pencabutan gugatan Partai Berkarya tersebut, proses PHPU selesai. BSelain Partai Berkarya, KPU Kabupaten Demak juga menerima pengajuan gugatan PHPU dari Magdarini Okta Sumarno, Caleg DPRD Kabupaten Dapil 3 Demak dari PDIP. Pemohon mendalilkan terkait hilangnya suara pemohon di Desa Bremi Kecamatan Mijen tanpa membuka kotak suara dan hilangnya suara di Desa Undaan Kidul Kecamatan Karanganyar. Selain itu, disebutkan pula terkait tidak adanya transparansi pemberitahuan data Formulir salinan C1 secara umum di Kantor Balaidesa Kedungwaru, Kecamatan Karanganyar dan Desa Tanjunganyar, Kecamatan Gajah. Atas dalil Pemohon (Magdarini Okta Sumarno) tersebut, KPU Kabupaten Demak menyiapkan kronologis dan alat bukti untuk membantah apa yang didalilkan pemohon. Terkait hilangnya suara di Desa Bremi Kecamatan Mijen tanpa membuka kotak suara misalnya, kejadian yang sebenarnya adalah pada saat rekap perolehan suara, di Formulir DA1 plano data telah sesuai dengan jumlah yang seharusnya. Memang ada kejadian ketika input data di aplikasi bantu yang ditampilkan di layar terjadi kesalahan input yaitu suara yang diperoleh Caleg PDIP atas nama Saiful Hadi, terinput di kolom pemohon yaitu Magdarini Okta Sumarno sebanyak 22 suara. Atas kejadian tersebut PPK telah melakukan pengecekan di Formulir Model DAA1 plano, formulir model C1 hologram TPS 02 Desa Bremi serta formulir salinan C1 dan foto formulir C1 plano Bremi yang dibawa oleh pengawas kecamatan. Perolehan suara Saiful Hadi di TPS 02 Desa Bremi benar berjumlah 22 sedangkan perolehan suara Magdarini berjumlah nol. Setelah dilakukan pengecekan, PPK Kecamatan Mijen terus melakukan pembetulan data pada aplikasi bantu dan Formulir Model DA1 Plano tanpa membuka kotak. Karena, dengan membuka formulir model DAA1, foto C1 plano TPS 02 Desa Bremi serta formulir salinan C1 sudah ditemukan jawabannya. Pada waktu itu pun tidak ada keberatan dari pengawas maupun saksi. Selanjutnya terkait dalil pemohon mengenai hilangnya perolehan suara di Desa Undaan Kidul Kecamatan Karanganyar.  Di kronologis yang dibuat KPU Demak dijelaskan bahwa pada saat rapat rekapitulasi perolehan suara di tingkat PPK Kecamatan Karanganyar, di formulir DAA1 plano data telah sesuai dengan jumlah yang seharusnya. Namun di dalam input data di aplikasi bantu yang ditampilkan di layar untuk TPS Undaan KIdul, terjadi kesalahan yaitu suara yang diperoleh Caleg PDIP Magdarini Okta Sumarno, terinput di kolom Caleg PDIP atas nama Pujiyati yaitu sebanyak empat suar. Atas kejadian tersebut PPK Kecamatan Karanganyar melakukan pengecekan di formulir model DAA1 plano, C1 hologram DPRD, serta salinan C1 DPRD yang dibawa oleh pengawas kecamatan. Dari pengecekan tersebut, diketahui bahwa suara Pujiyanti di TPS 08 Desa Undaan Kidul sebanyak nol, sedangkan suara Magdarini sebanyak empat suara. Selanjutnya dilakukan pembetulan oleh PPK pada aplikasi bantu. PPK Kecamatan Karanganyar tidak melakukan pembukaan kotak suara, karena dengan membuka Formulir DAA1 plano DPRD dan Formulir model C1 hologram DPRD sudah ditemukan jawaban. Kemudian terkait dalil pemohon yang menyatakan bahwa tidak adanya transparansi terkait pemberitahuan data Formulir Model C1 secara umum di Kantor Balaidesa Kedungwaru, dijelaskan bahwa Panitia Pemungutan Sauara Desa Kedungwaru Lor telah melakukan penempelan formulir model C1 di papan pengumuman balaidesa setempat pada tanggal 18 April 2019 Pukul 16.00 WIB.  Begitupula di Desa Kedungwaru Kidul Kecamatan Karanganyar dan Desa Tanjunganyar Kecamatan Gajah. Di Desa Kedungwaru Kidul Kecamatan Karanganyar, Panitia Pemungutan Suara telah melakukan penempelan formulir model C1 di papan pengumuman Balai desa setempat pada tanggal 20 April 2019 Pukul 14.00 WIB. Sedangkan PPS Desa Tnjunganyar Kecamatn Gajah juga telah melakukan penempelan formulir model C1 di papan pengumuman balaidesa setempat pada tanggal 18 April 2019 Pukul 09.15 WIB. Jadi, apa yang didalilkan pemohon adalah tidak benar. Bukti penempelan formulir C1 oleh PPS di tiga desa tersebut adalah dokumentasi pada saat kegiatan penempelan dilakukan. Kronologis dan alat bukti untuk menjawab permohonan Magdarini Okta Sumarno telah disiapkan jauh-jauh hari oleh KPU Kabupaten Demak pasca permohonan diajukan oleh pemohon. Permohonan Magdarini pun telah keluar di BRPK. Atas hal tersebut, KPU Kabupaten Demak telah siap untuk mengikuti sidang di MK sesuai jadwal yang ditentukan. Dalam masa menunggu jadwal sidang, ternyata KPU Kabupaten Demak mendapatkan informasi dari pemohon bahwa pihaknya telah mencabut gugatan sebelum keluarnya BRPK. Kemudian pemohon mengurus hal tersebut ke MK, dan hasilnya adalah permohonan pencabutan tersebut telah disetujui MK sebelum BRPK dikeluarkan, yakni tanggal 28 Juni 2019. Pencabutan gugatan PHPU atas nama Magdarini ini tentunya menjawab pertanyaan public bahwasanya kinerja KPU Kabupaten Demak dan penyelenggara di tingkat kecamatan, desa maupun TPS sudah sesuai aturan yang ada. Dapat diambil kesimpulan bahwa KPU Kabupaten Demak dan jajaran telah melaksanakan tugas secara dengan baik dengan berpedoman pada prinsip penyelenggara pemilu yaitu mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, professional, akuntabel, efektif dan efisien. Dari pengalaman yang pernah terjadi, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh penyelenggara pemilu agar dalam menghadapi PHPU tidak kalang kabut. Pertama, penyelenggara pemilu seyogyanya melaksanakan semua tahapan pemilu sesuai dengan regulasi yang ada. Jika ada beberapa hal yang dilanggar, kerepotan akan dirasakan di akhir. Kedua, menata dengan baik seluruh dokumen selama proses tahapan berlangsung. Ketiga, mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan PHPU dengan cara membaca gesture politik calon pemohon, kejadian yang mungkin disoal, atau daerah yang mungkin disoal. Keempat, membuat kronologi setiap proses tahapan yang bersifat krusial. Kelima, membuat daftar alat bukti. Keenam, menyiapkan alat bukti. Ketujuh, menyiapkan diri untuk mengikuti sidang di MK dengan bekal pemahaman dan pengetahuan terkait pokok pemahaman pemohon serta seluruh proses tahapan pemilu yang berlangsung. Jika semua dipesiapkan dengan baik, bukan tidak mungkin semua proses akan berjalan lancar, dan dali yang diajukan Pemohon terbantahkan. Dalam penyelenggaraan pemilu, Perselisihan Hasil Pemilu adalah sebuah proses yang harus dilalui dengan enjoy. Romansa PHPU akan menjadi cerita menarik karena suka duka dalam proses pelaksanaannya justru membuat kuat dan memperkokoh persatuan penyelenggara pemilu. Sebegitu menariknya perjalanan PHPU maka tak salah jika ada istilah “Rindu Terberat Adalah Mengingatmu PHPU 2019”. (Penulis adalah Anggota KPU Kabupaten Demak Divisi Hukum dan Pengawasan)


Selengkapnya
80

Refleksi SDM atas Pemilu Serentak 2019

(Siti Ulfaati, Divisi SDM KPU Kabupaten Demak)   Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 merupakan putusan yang mendasari pelaksanaan Pemilu Serentak (DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden) di Indonesia Tahun 2019. Amanat putusan MK tersebut, kemudian dibuat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum untuk menyelenggarakan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden pada waktu yang bersamaan. Pemilu Serentak 2019 merupakan sebuah momentum untuk dapat mewujudkan Pemilu yang lebih baik dan membentuk sebuah Pemerintahan yang sehat antara Eksekutif dan Legislatif. Selain itu, Pemilu Serentak 2019 bertujuan untuk meminimalkan pembiayaan negara dalam pelaksanaan Pemilu, meminimalisir politik biaya tinggi bagi peserta pemilu, serta politik uang yang melibatkan pemilih, penyalahgunaan kekuasaan atau mencegah politisasi birokrasi, dan merampingkan skema kerja pemerintah. Pemilu serentak akan mempengaruhi komitmen penguatan partai politik dalam koalisi permanen untuk memperkuat basis kekuatan mereka di lembaga-lembaga negara yang tinggi sehingga dengan Pemilu Serentak diharapkan bisa memfasilitasi pembenahan Sistem Presidensial di Indonesia (Ratnia Sholihah, 2018:73). Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 masih menimbulkan berbagai permasalahan yang harus segera dievaluasi untuk memperbaiki kualitas Pemilu di Indonesia ke depannya. diantaranya adalah terkait rumitnya pelaksanaan Pemilu Serentak 2019, sehingga berdampak pada banyaknya korban jiwa yang berjatuhan, panjang dan lama proses penyelengggaraan Pemilu Serentak 2019, serta kerumitan dalam rekapitulasi hasil Pemilu. Refleksi Pemilu 2019: Harapan dan Realitas Indonesia telah melaksanakan Pemilihan Umum Serentak Pileg dan Pilpres untuk pertama kalinya pada tanggal 17 April 2019. Sebagaimana amanat dan pertimbangan-pertimbangan yang telah disebutkan dalam Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 yang mendasari Pemilu Serentak 2019, bahwa ada harapan, dengan Pemilu Serentak dapat mewujudkan Pemilu Sederhana dan Biaya murah serta Pemerintahan yang lebih sehat serta demokratis. Akan tetapi, pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 malah memunculkan berbagai catatan yang harus diperbaiki dalam pelaksanaan sistem Pemilu ke depan. Pemilu serentak 2019 masih meninggalkan berbagai macam catatan yang harus diperbaiki. Banyaknya kasus petugas KPPS yang sakit dan meninggal dunia baik dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), maupun personel Polri merupakan dampak dari proses Pemilu yang 2019 yang rumit dan  melelahkan. Dari data yang ada petugas KPPS yang meninggal mencapai 554 orang, baik dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), maupun personel Polri.  Jumlah tersebut belum termasuk dengan jumlah petugas yang sakit sebanyak 3778 orang (cnnindonesia.com, 7 Mei 2019). Banyaknya petugas yang menjadi korban kemudian menimbulkan dugaan bahwa petugas terlalu lelah dalam melaksanakan seluruh proses Pemilu 2019 terutama pada tahap rekapitulasi suara. Karena berdasarkan penjelasan Komisioner KPU RI, pemungutan suara harus sudah selesai  pada  hari yang sama dengan hari pemungutan suara hingga pukul 24.00 waktu setempat, dan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi jika  penghitungan  suara belum selesai hingga pukul 24.00, maka  dilanjutkan  tanpa jeda. Oleh karena itu, Sistem Pemilu Serentak ini menyebabkan kelelahan yang luar biasa pada penyelenggara Pemilu di tingkat bawah. (nasional.kompas.com, 23 April 2019). Banyaknya korban dari penyelenggara Pemilu 2019 baik yang meninggal maupun yang sakit merupakan dampak dari beratnya beban yang ditanggung oleh KPU. Hal ini terlihat bahwa KPU harus menyiapkan perangkat penyelenggara Pemilu 2019 mulai dari KPU Pusat, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, Bawaslu dan Panwaslu, Panwascam sejumlah 5,61 juta orang. KPU juga harus mendistribusikan sekitar 700 juta surat suara, 4,65 juta kotak surat suara di 813.350 TPS. Selain beban fisik tersebut KPU juga harus membuat peraturan KPU yang menjadi landasan bagi setiap kegiatan teknis Penyelenggaraan Pemilu di TPS-TPS sampai pada rekapitulasi di tingkat KPU Pusat. Semua beban di KPU menjadikan Pemilu 2019 menjadi semakin kompleks. Berdasarkan penelitian dari lembaga Indonesia Institute menyatakan bahwa Pemilu Serentak 2019 di Indonesia merupakan Pemilu yang paling rumit di dunia, melebihi rumitnya Pemilu 2019 di India atau Afrika Selatan. Rumitnya sistem Pemilu di Indonesia ditunjukkan dengan proses yang panjang mulai tahap pendaftaran peserta, verifikasi berkas peserta, sampai pada tahap kampanye yang memakan waktu hingga 8 bulan. Selain itu, terkait Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang banyak masalah, para pemilih yang harus mencoblos lima surat suara, pelaksanaan perhitungan suara yang panjang sehingga banyak memakan korban jiwa dari pihak PPS dan PPK serta masih lemahnya sistem pengawasan terhadap pelanggaran-pelanggaran Pemilu merupakan hal yang harus dievaluasi dari pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 di Indonesia. Padahal, harapan dengan diadakannya Pemilu Serentak dengan menggabungkan waktu pelaksanaan Pileg dan Pilpres akan memudahkan dan menyederhanakan proses Pemilu di Indonesia. Pemilu yang mudah dan sederhana ini akan meningkatkan partisipasi politik masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Tingginya tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilu ini akan mewujudkan Pemerintahan yang legitimate. Di sisi lain, argumen-argumen yang menjadi pertimbangan dalam melaksanaan Pemilu Serentak 2019 ternyata tidak sesuai dengan harapan. Misalnya saja, dalam pertimbangannya Pelaksanaan Pemilu Serentak akan dapat menghemat anggaran penyelenggaraan Pemilu sampai 40 persen dari pada penyelenggaraan Pemilu yang terpisah. Namun faktanya, biaya pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 menghabiskan dana sebesar 24,8 triliun rupiah atau lebih mahal 700 milyar rupiah dari pada pelaksanaan Pemilu 2014 yang menghabiskan biaya sebanyak 24,1 triliun rupiah (www.kpu.go.id). Pemilu Serentak 2019 juga belum dapat meminimalisir biaya Politik yang dikeluarkan oleh Peserta Pemilu. Tingginya biaya politik ini ditunjukkan dengan masih masifnya politik uang yang terjadi selama pelaksanaan Pemilu Serentak 2019. Harapan lain, dengan pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 adalah terwujudnya kestabilan dan kondisifitas kehidupan politik masyarakat, mengurangi konflik dalam masyarakat serta dapat memperkuat sistem presidensial. Akan tetapi pada realitanya, setelah pelaksanaan Pemilu Serentak 2019, kehidupan politik masyarakat menjadi tidak kondusif akibat adanya polarisasi dalam masyarakat – muncul istilah cebong dan kampret – yang memicu kegaduhan di media sosial  dan masyarakat. Kegaduhan tersebut memunculkan rasa saling curiga terhadap proses pelaksanaan Pemilu yang dianggap curang atau tidak netral yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu (KPU). Dalam pelaksanaan Pemilu Serentak 2019, perubahan sistem Pemilu dari Pemilu bertahap menjadi Pemilu Serentak membawa dampak teknis bagi penyelenggaraan pemilu. Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 membutuhkan energi yang besar dari para penyelenggara pemilu.  Rentang waktu persiapan penyelenggaraan pemilu menjadi lebih panjang. Aspek teknis penyelenggaraan pemilu menjadi lebih rumit serta logistik pemilu menjadi lebih banyak. Hal ini, menyebabkan harapan-harapan terkait pelaksanaan Pemilu serentak 2019 dapat menghemat biaya dan lebih mudah dilaksanakan malah menjadi paradoks dengan banyaknya permasalahan Pemilu Serentak 2019. Pelaksanaan Pemilu Serentak juga belum tentu akan berdampak positif terhadap penguatan sistem presidensial multipartai seperti di Indonesia. Karena dengan sistem pemerintahan ceck and balances yang dianut di Indonesia posisi parlemen juga masih sangat kuat dengan adanya sistem koalisi antar partai dalam parlemen. Hal ini dapat menjadikan posisi parlemen (DPR) bisa sangat kuat dari pada Presiden apabila mayoritas koalisi di parlemen tidak mendukung kebijakan dari presiden (D. Hanan, 2016). SDM Pemilu 2019 Selain untuk mencerminkan kedaulatan rakyat, pelaksanaan Pemilu merupakan sarana bagi rakyat dalam menyalurkan hak asasi manusia yang sangat prinsipil yakni hak politik. Oleh karenanya, dalam rangka menjamin hak asasi itu, maka pemerintah wajib menyelenggarakan Pemilu yang jujur, adil, bebas dan berkepastian hukum baik bagi peserta Pemilu maupun pemilih sebagai sebuah perwujudan kehidupan yang demokratis. Pelaksanaan sistem Pemilu harus dilaksanakan oleh SDM yang berkualitas, berintegritas dan mumpuni. Sepanjang sejarah, Pemilu Serentak 2019 adalah Pemilu dengan jumlah badan adhoc terbanyak, dikarenakan adanya perubahan jumlah pemilih yang awalnya 500 menjadi maksimal 300 pemilih per TPS. Di KPU Kabupaten Demak sendiri ada sebanyak 37.756 SDM badan adhoc yang bertugas di 14 Kecamatan, 249 Desa/Kelurahan dan 3.615 Tempat Pemungutan Suara (TPS). Dari jumlah tersebut 70 diantaranya Anggota PPK, 42 sekretariat PPK, 747 Anggota PPS, 747 Sekretariat PPS, 3.615 Petugas Pemutakhiran Data Pemilih, 25.305 KPPS di 3.615 TPS dan 7.230 Petugas Ketertiban TPS. Dalam perjalanannya banyak dinamika yang mewarnai pembentukan badan adhoc pada Pemilihan Umum Kabupaten Demak Tahun 2019, salah satunya adalah pengunduruan diri. Untuk data Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yang melakukan Penggantian Antarwaktu sebanyak 5 (lima) orang. Di tingkat Panitia Pemungutan suara (PPS) sebanyak 35 orang dan di tingkat Sekretaris dan Staf Sekretariat PPK sebanyak 4 orang. Pahlawan Demokrasi Pemilu 2019 meninggalkan banyak cerita dan juga luka. Di Kabupaten Demak petugas badan adhoc yang meninggal dunia sebanyak 7 orang dan 20 orang yang sakit. Adapun faktor yang menyebabkan badan adhoc meninggal ataupun sakit, diantaranya adalah Pemilu dan Pilpres pada Tahun 2019 digelar secara serentak untuk memilih Presiden, DPR, DPRD, dan DPD. Hal ini berpengaruh pada tenaga, waktu, hingga pikiran serta beban badan adhoc. Walaupun honor yang diterima sama saja dengan beban pekerjaan lebih banyak. Selain itu, realilitas Badan adhoc yang bekerja selama tahapan Pemilu saja membuat mereka belum memahami sistem kerja learning by doing, belum lagi terkait periodesasi badan adhoc yang tidak membolehkan mereka yang sudah 2 periode mengikuti atau mendaftarkan diri. Dengan beban kerja yang berat dan jam kerja yang tidak rasional banyak badan adhoc yang memilih mengundurkan diri. Banyak pula yang memilih menjadi tim pemenangan salah satu paslon atau caleg. Di Kabupaten Demak sendiri, pada saat Pemilu Serentak 2019 melakukan fasilitasi antara petugas badan adhoc dengan BPJS Ketenagakerjaan untuk bekerjasama dalam keikutsertaan keanggotaan BPJS Ketenagakerjaan dengan iuran mandiri oleh badan adhoc. Hal tersebut merupakan bagian ihtiar yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Demak mengingat beban kerja atau resiko saat Pemilu Serentak 2019 yang tidak bisa diprediksi. Dan ternyata fakta di lapangan menunjukkan ada 7 (tujuh) petugas demokrasi yang meninggal dunia dan 20 (dua puluh) yang mengalami sakit dan lain-lain. Melalui BPJS Ketenagakerjaan petugas badan adhoc yang meninggal mendapatkan santunan kematian sebesar 24 Juta Rupiah dan petugas yang kecelakaan mendapatkan santuan kecelakaan. Adapun besarannya variatif. Perlu diketahui bahwa KPU Kabupaten Demak merupakan satu-satunya KPU di Indonesia yang melakukan fasilitasi kerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan. Selain santunan BPJS Ketenagakerjaan, petugas badan adhoc yang meninggal mendapatkan santunan dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Jawa Tengah sebesar 10 Juta Rupiah yang diserahkan langsung oleh Gubernur Jawa Tengah Bapak Ganjar Pranowo di kantor Gubernur Provinsi Jawa Tengah Jl. Pahlawan No.9, Mugassari, Kec. Semarang Selatan Kota Semarang, Jawa Tengah. KPU RI melalui Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 926/KU.03.2-Kpt/05/KPU/IV/2019 tentang Pedoman Teknis Pemberian Santunan Kecelakaan Kerja Bagi Anggota dan Sekretariat Panitia Pemilihan Kecamatan, Sekretariat Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, Sekretariat Panitia Pemungutan Suara, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, dan Petugas Ketertiban Tempat Pemungutan Suara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2019, juga memberikan santunan kepada badan adhoc. Di Kabupaten Demak sendiri dari 20 (dua puluh) orang yang sakit dan 7 (tujuh) orang yang meninggal hanya 6 orang yang mendapatkan santunan dengan alasan sakit. Melalui Keputusan Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 471/KU.03.2-Kpt/05/SJ/VIII/2019, 6 (enam) petugas badan adhoc yang mendapatkan santunan adalah Suryo Warsito (KPPS), Asih Priyati (KPPS), Irwanto (KPPS), Yolanda Aprilia Savitri (PPS), Abdur Rouf (PPS) dan Sri Surati (KPPS). Dari data tersebut banyak sekali badan adhoc yang tidak mendapatkan snatunan merasa kecewa mengingat proses untuk mendapatkan santunan dari KPU RI sangat rijit dan rumit. Bahkan, badan adhoc di tingkat PPK dan PPS menjadi bulan-bulanan atau tempat pelampiasan kekecewaan dan kekesalan. Ahli waris atau korban mempertanyakan komitmen dari KPU terkait santunan tersebut. Mereka merasa di-PHP atau diberikan janji kosong. Harapannya di Pemilu atau Pilkada mendatang KPU RI bisa lebih prepare atau memberikan sosialisasi yang lebih masiv kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota mengenai santunan. Mengingat ketika proses tahapan identifikasi, penentuan dan pemberian santunan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota tidak bisa mengakses bagaimana proses, alasan kenapa badan adhoc yang sudah mengajukan tidak mendapatkan dan sejauh mana perkembangannya. Ini menjadikan kebingungan yang luar biasa dikarenakan KPU Kabupaten/Kota menjadi tempat bertanya, mencari atau mengakses informasi oleh masyarakat, korban atau ahli waris yang meninggal. KPU Kabupaten Demak sangat menghargai dan memberikan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada badan adhoc atas dedikasi, perjuangan, pengorbanan dan keihlasan terlebih kepada pahlawan demokrasi yang gugur di saat bertugas. Santunan tersebut tidak mampu menggantikan atas apa yang sudah mereka berikan kepada demokrasi kita, akan tetapi semoga bisa menjadi pengobat dan rasa terimakasih KPU Kabupaten Demak kepada petugas badan adhoc. Kesuksesan Badan adhoc Pemilu Serentak 2019 di Kabupaten Demak telah berakhir dengan ditandai penetapan hasil rekapitulasi perolehan dan penghitungan suara oleh KPU Kabupaten Demak pada hari Senin, tanggal 22 Juli 2019 di Hotel Amantis Demak. Beberapa catatan yang bisa diambil adalah tingkat partisipasi pemilih khusus di Kabupaten Demak meningkat melebihi target yang ditetapkan oleh KPU RI (77,5 %) disemua tingkat Pemilihan yaitu 82,45% untuk partisipasi pemilih di tingkat Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI 83,38%, DPD 83,43%, DPRD Provinsi 83,39% dan DPRD Kabupaten 83,36%. Tingkat Partisipasi Pemilih yang meningkat ini bisa terwujud karena adanya kerjakeras dan kerjasama berbagai pihak baik penyelenggara pemilu, peserta pemilu, stakeholder, dan masyarakat. Dan khususnya dari badan adhoc. Berkat kerja keras seluruh pihak dan juga badan adhoc yang ada di Kabupaten Demak, Pemilu Serentak 2019 berjalan lancar tanpa adanya gugatan. Ini merupakan prestasi yang luar biasa mengingat Pemilu 2019 adalah Pemilu Serentak yang dilakukan pertama kali di Indonesia. Dengan berbagai dinamika yang terjadi.


Selengkapnya
95

Merefleksi Dana Kampanye

Oleh: Hastin Atas Asih   Sistem pemilihan langsung oleh rakyat memang sangat cocok untuk Negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi. Namun tak dapat dipungkiri, konsekuensi dari sistem ini adalah dibutuhkannya biaya yang mahal untuk proses penyelenggaraan pemilihan umum. Dari sisi kebutuhan penyelenggaraan, jelas terlihat besarnya dana untuk membayar petugas, perlengkapan TPS, surat suara, sosialisasi dan publikasi hasil dari pemilu itu sendiri. Di sisi peserta pemilu, kontestan juga harus merogoh “kocek” yang cukup besar untuk berbagai kegiatan terutama kampanye. Kampanye politik dengan segala perangkat pendukungnya membuat membengkaknya biaya. Selain itu, mesin tim sukses yang digerakkan tentu membutuhkan amunisi yang tidak kalah mahalnya. Kampanye adalah kegiatan yang bertujuan untuk meyakinkan pemilih. Kegiatan ini penting dilakukan sebagai arena mengenali lebih jauh siapa-siapa yang pantas untuk dipilih. Semakin banyak pemilih yang dijangkau maka intensitas dan masif kampanye dilakukan, dan itu artinya rupiah yang harus dikeluarkan pun semakin banyak. Melalui tulisan ini Penulis akan mencoba menelisik dan merefleksi beberapa hal tentang dana kampanye dengan harapan dapat memberi masukan agar ke depan menjadi lebih baik lagi. Kebutuhan terhadap dana kampanye memang tak bisa dihindarkan oleh peserta pemilu. Bagi para kandidat sendiri, hal semacam ini sudah dipahami betul sehingga jauh-jauh hari, para peserta pemilu sudah getol mengumpulkan pundi-pundi uang yang akan digunakan untuk kampanye, baik itu dari pribadi (calon yang bersangkutan), partai politik (parpol)/ yang mengusul pasangan calon presiden dan wakil presiden maupun sumbangan pihak lain dengan cara menjalin komunikasi yang baik. Meski banyak sekali kebutuhan untuk kampanye dan begitu banyaknya sumber yang dapat dijadikan penyumbang dana kampanye, namun peserta pemilu tak boleh lupa akan regulasi. Yang perlu diingat oleh para calon adalah adanya aturan yang harus dipatuhi terkait dana kampanye. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tegas memberikan batasan terkait dana kampanye, mulai dari besaran sumbangan, sumber-sumber sumbangan, dan pelaporan dana kampanye itu sendiri. Sumbangan Untuk calon presiden dan wakil presiden, batasan sumbangan dana kampanye yang berasal dari pihak lain perseorangan maksimal adalah sebesar 2,5 miliar rupiah. Dana kampanye yang berasal dari kelompok, perusahaan atau badan usaha non pemerintah tidak boleh melebihi 25 miliar rupiah. Untuk dana kampanye calon anggota DPR dan DPRD yang berasal dari pihak lain perseorangan paling banyak 2,5 miliar rupiah. Sedangkan sumbangan dari pihak lain kelompok, perusahaan dan atau badan usaha non pemerintah tidak boleh lebih dari 25 miliar rupiah. Sementara itu untuk dana kampanye pemilu calon DPD yang berasal dari pihak perseorangan paling banyak 750 juta rupiah, dan sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan/badan usaha non pemerintah maksimal sebesar 1,5 miliar rupiah. Pembatasan besaran sumbangan dana kampanye ini tepat kiranya karena diharapkan dapat tepilih pemimpin dan wakil rakyat yang berintegritas. Apa hubungannya batasan sumbangan dana kampanye dengan pemimpin berintegritas? Jika dana kampanye tidak ada pembatasan dikhawatirkan peserta pemilu akan “jor-joran” dalam mengeluarkan uang, sehingga ketika terpilih nanti mereka menjadi tidak fokus terhadap upaya memajukan kesejahateraan rakyat, namun justru pusing memikirkan bagaimana harus mengembalikan uang yang telah mereka keluarkan. Pembatasan dana kampanye ini juga diharapkan menjadikan kampanye lebih bersifat substansi, sehingga politik uang dapat diminimalisir. Penyumbang Selain batasan besaran sumbangan dana kampanye, di UU Nomor 7 Tahun 2017 juga disebutkan terkait larangan bagi peserta pemilu maupun tim kampanye untuk menerima dana kampanye yang berasal dari pihak asing, penyumbang yang tidak jelas identitasnya, hasil tindakan yang telah terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan/atau bertujuan menyembunyikan atau menyamarkan hasil tindak pidana. Selain itu, peserta pemilu dan tim kampanye juga dilarang menerima sumbangan dana kampanye dari pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah atau pemerintah desa dan badan usaha milik desa. Pengaturan ini cukup beralasan, karena jika sumbangan dana kampanye berasal dari pihak-pihak diatas maka dikhawatirkan akan mencinderai pelaksanaan kampanye bahkan pemilu itu sendiri. Misalkan saja dana tersebut berasal dari pihak asing. Dikhawatirkan jika terpilih, peserta pemilu nantinya akan beriorintasi terhadap kepentingan pihak asing tersebut. Jika ini terjadi tidak saja pemilunya yang kacau, namun akan berdampak terhadap keutuhan NKRI. Begitupula apabila sumbangan itu berasal dari pemerintah. Hal ini tentu akan mendapatkan penolakan keras dari masyarakat. Karena pemerintah adalah lembaga Negara yang haruslah independent. Menggunakan uang pemerintah sama saja dengan menggunakan uang rakyat. Jika itu terjadi artinya pemerintah menggunakan uang rakyat untuk kepentingan satu golongan. Pelaporan Pembatasan lain dalam UU 7 Tahun 2017 adalah berkaitan dengan pelaporan dana kampanye. Sejumlah kewajiban harus dilakukan peserta pemilu seperti membuat laporan dana kampanye, menyusun daftar penyumbang dan mencatat semua penerimaan atau pendapatan dan pengeluaran atau belanja kampanye serta menyimpan bukti transaksi. Aturan terkait pelaporan dana kampanye ini dibuat dengan harapan adanya transparansi dan akuntabilitas. Dalam penerimaan, pengelolaan dan pengeluaran dana kampanye dapat diketahui dengan mudah oleh publik, sehingga publik tahu dan bisa mempelajari perilaku calon yang akan menjadi pemimpin maupun wakilnya ini seperti apa. Hal ini berkaitan dengan kebijakan dan keputusan yang mereka ambil dalam pengelolaan dana kampanye ini, sehingga mereka dapat memilih peserta pemilu yang berorintasi pada kepentingan rakyat atau penyumbangnya. Selain itu, pelaporan dana kampanye ini juga berkaitan dengan prinsip akuntabilitas. Dalam pelaporan dana kampanye ini tentunya peserta pemilu harus mampu menyusun laporan sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Ketika pelaporan ini diatur dan di publish, publik juga menjadi tahu aktifitas apa saja yang dilakukan oleh calon yang akan dipih tersebut, selama masa kampanye dan bagaimana dia mempertanggungjawabkan sumbangan yang telah diterima. Di Kabupaten Demak, proses yang berkaitan dengan tahapan pelaporan dana kampanye berjalan lancar. Dari laporan dana kampanye, mulai Laporan Awal Dana Kampanye (LADK), Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) hingga Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) tidak ada yang melanggar batasan yang diatur. Berkaitan dengan jumlah sumbangan dana kampanye misalnya, jelas terlihat tidak ada yang melebihi batasan maksimal. Pada Laporan Awal Dana Kampanye (LADK), saldo terbesar hanya 30 juta rupiah. Sedangkan terendah adalah 100 ribu rupiah. Rata-rata yang lainnya adalah 1 juta rupiah. Sedangkan untuk saldo tim kampanye pasangan calon presiden dan wakil presiden, bahkan ada yang nol. Artinya di tahap awal, dana kampanye yang diterima masih sangat minim, atau bahkan hanya untuk membuka rekening khusus dana kampanye. Untuk penerimaan laporan awal dana kampanye parpol dan calon presiden dan wakil presiden adalah sebagai berikut: Kemudian di tahap penyampaian laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK), saldo terbanyak yang dimiliki oleh partai politik adalah 321,3 juta rupiah yaitu PDI P, sedangkan yang terendah adalah 114 rupiah. Untuk tim kampanye calon presiden dan wakil presiden adalah paslon nomor urut 1 sebesar Rp23.280.00,- dan paslon nomor urut 2 sebesar Rp367.160,-. Sampai pada tahap ini, jumlah sumbangan dana kampanye pun masih tergolong tidak terlalu tinggi. Berikut jumlah penerimaan sumbangan dana kampanye oleh parpol dan calon presiden dan wakil presiden pada Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye Pemilu 2019: Selanjutnya pada tahapan pelaporan peneriman dan pengeluaran dana kampanye, saldo terbesar adalah Rp. 662.459.000,-, dan terendah adalah Rp. 100.288,-. Artinya, sampai tahapan terakhir jumlah penerimaan sumbangan dana kampanye yang diterima oleh partai politik maupun tim kampanye paslon presiden dan wakil presiden masih jauh dari batas maksimal yang ditentukan oleh Undang-undang. Berikut laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye partai politik pada Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye pemilu 2019 di Kabupaten Demak: Dari laporan yang ada, sebenarnya ada hal yang patut ditanyakan, apakah laporan yang disusun oleh peserta pemilu ini sudah mencerminkan realitas penerimaan dan pengeluaran yang terjadi di lapangan? Dalam Undang-Undang Pemilu, tidak ada aturan yang tegas apabila penggunaan dana kampanye tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Kondisi yang demikian membuat peserta pemilu seenaknya dalam membuat laporan, dan laporan pun hanya terkesan formalitas. Memang ada pengawasan dari Bawaslu. Tetapi itu masih sangat lemah, karena regulasi yang ada belum mampu menjangkau secara komprehensif pengawasan dan penegakan atas akuntabilitas dana kampanye itu. Kalau aturan tegas itu tidak ada, maka jatuh-jatuhnya hanyalah teguran yang diterima oleh peserta pemilu. Dan itu tidak akan menimbulkan efek jera. Untuk meminimalisir kondisi tersebut, regulasi yang ada dan tools yang diberikan pada penyelenggara pemilu juga perlu diperkuat agar lebih menyentuh substansi. Undang-Undang pemilu mendatang mestinya mencantumkan aturan adanya sanksi pidana bagi peserta pemilu apabila menyampaikan laporan dana kampanye yang tidak benar atau tidak sesuai dengan dengan fakta yang ada karena ini sudah masuk pada ranah penipuan. Berkaitan dengan batasan penyumbang, berdasar laporan dana kampanye yang disampaikan peserta pemilu di Kabupaten Demak sejauh ini tidak ada yang melanggar. Namun yang menjadi catatan, pendataan sumber penyumbang ini selayaknya dibukukan dengan baik oleh petugas yang ditunjuk mengelola dana kampanye. Termasuk juga alat buktinya, seperti identitas penyumbang, surat pernyataan penyumbang, maupun alat buktinya. Jika semua terorganisir dengan baik tentu saja ketika proses pelaporan tidak kebingungan. Kemudian terkait batasan pelaporan. Hal ini kadang yang sering membuat petugas di KPU geleng-geleng kepala. Karena setiap jadwal pelaporan dana kampanye, hampir semua peserta pemilu lebih memilih menyampaikannya di menit-menit terakhir. Bahkan ada beberapa yang di menit terakhir itu baru terselesaikan 20%, dan bukti transaksi juga masih harus dicari-cari. Alhasil KPU harus siap melayani hingga hari berganti hari. Tahap lanjutan dari pelaporan dana kampanye adalah audit dana kampanye. Untuk memperoleh hasil audit dana kampanye yang berintegritas maka dibutuhkan tim audit yang kompeten, sehingga akan dihasilkan laporan hasil audit dana kampanye yang memiliki kredibilitas dan dapat dipertanggungjawabkan ke publik karena disusun oleh orang yang memiliki keahlian di bidangnya. Sejauh ini hasil audit pelaporan dana kampanye adalah patuh dan tidak patuh. Standar kepatuhan bagi peserta pemilu adalah patuh terhadap ketentuan perundang-undangan. Seperti laporan disampaikan sesuai batas waktu, sumberdana kampanye dari sumber yang sah. Untuk menentukan penilaian tersebut tentunya tim auditor harus bekerja maksimal. Jangan sampai tim auditor hanya bekerja di belakang meja. Atau bahkan mengeluarkan hasil audit, tetapi sebenarnya peserta pemilu yang bersangkutan tidak melaporkan dana kampanye. Berkaitan hal tersebut, perlu juga adanya regulasi yang mengatur terkait kinerja akuntan publik. Apabila ada tim auditor yang tidak benar, haruslah ada sanksi. Baik itu pencabutan tugas audit, tidak bisa menjadi auditor pada pemilu berikutnya, hingga dimintakan pencabutan ijin kerjanya. Dengan adanya sanksi tersebut setidaknya akan membuat Kantor Akuntan Publik lebih selektif untuk memilih auditor. KPU sebagai user pun harus selektif pula untuk memilih Kantor Akuntan Publik yang professional dan kredible, sehingga daudit dana kampanye dilaksanakan sesuai prosedur. Beberapa hal yang perlu disempurnakan lagi tahapan laporan dana kampanye adalah berkaitan dengan alat bantu yang digunakan dalam penyusunan laporan dana kampanye yaitu aplikasi dana kampanye atau sering disebut Sidakam. Keberadaan Sidakam memang sangat dibutuhkan karena pelaporan dana kampanye memang haruslah berbasis aplikasi supaya format, unsure-unsur dan system pelaporannya mendekati standar. Selain itu, adanya aplikasi ini juga diharapkan lebih memudahkan penyelenggara maupun peserta dalam melaksanakan tugas. Dalam tahapan pelaporan dana kampanye sejauh ini masih ada beberapa keluhan terkait Sidakam. Bahkan aplikasi ini pun beberapa kali harus diubah. Kedepan diharapkan aplikasi ini dapat lebih sempurna, sehingga tujuan dibuatnya sidakam ini dapat tercapai. Tak hanya sidakam yang perlu disempurnakan. Dari segi peserta pemilu juga harus menyiapkan SDM atau Liasion Officer (LO) yang berkapasitas yang mampu menyusun laporan dana kampanye, mengoperasikan aplikasi sidakam serta mempertanggungjawabkan apa yang telah dilaporkan. Sejauh ini, dari sejumlah LO parpol yang bertugas, hanya sebagian kecil yang mempunyai kapasitas sesuai kebutuhan. Untung saja helpdesk KPU Demak siap melayani. Berbicara terkait dana kampanye dan seperangkat aturan dan pirantinya memang sangat menarik. Yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana supaya kedepan pengaturan dana kampanye itu benar-benar mampu menjaga kemandirian parpol, caleg dan calon pejabat eksekutif dari pengaruh uang yang disetor para penyumbang, khususnya saat mereka menduduki jabatan pasca pemilu. Untuk mendapatkan pengaturan yang sesuai, kajian dan masukan dari elemen masyarakat  perlu dipertimbangkan. Karena ujung dari kesemuanya adalah harapan terlaksanakan pemilu yang demokratis, terpilih pemimpin yang amanah, kepentingan rakyat terakomodir dan keinginan rakyat terpenuhi. (Penulis adalah Anggota KPU Kabupaten Demak Divisi Hukum dan Pengawasan)  


Selengkapnya
216

Menyongsong Kebangkitan Perempuan Demak

“Berpolitik jadi sebuah pilihan yang mesti dipertimbangkan bagi siapapun yang menghendaki perubahan. Karena perubahan tidak datang tiba-tiba, hanya berkat doa di tengah malam”                                                                               Najwa Shihab   PENDAHULUAN Gagasan RA. Kartini agar perempuan Indonesia mempunyai pemikiran yang bersumber kepada Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht (pendidikan mandiri), Zelf- vertrouwen (percaya diri) dan Zelf-werkzaamheid (motivasi diri)  dan juga Solidariteit (solidaritas) dengan berdasarkan pada Religieusiteit (agama), Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan) agar rasa humanisme dan nasionalisme para perempuan semakin kuat[1] tentu bertujuan agar perempuan Indonesia mempunyai dasar yang kuat untuk menentukan sikap, salah satunya di bidang politik. Sebagai negara yang menganut paham demokrasi, tentunya peran perempuan dalam mewujudkan sistem demokrasi prosedural tidak bisa dinafikan. Karena itulah pasca reformasi desakan untuk mengakomodasi kepentingan mereka dalam parlemen menjadi semakin menguat sehingga muncul kuota 30 persen bagi caleg perempuan yang tertuang dalam sejumlah Undang-Undang, yaitu UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR-DPRD. Kenapa keterwakilan perempuan harus mencapai 30 persen, hal ini berdasarkan pada penelitian PBB bahwa jumlah minimal 30 persen bisa mempengaruhi hasil kebijakan publik. Ironisnya di pemilu legistatif kabupaten Demak terakhir pada tahun 2019, dengan DPT mencapai 877.343 terdiri dari jumlah perempuan sebanyak 438.482 dan laki-laki 438.861 yang terdaftar pada 3.615 TPS dan tersebar di 249 desa/kelurahan di 14 kecamatan untuk memilih 50 anggota DPRD ternyata hanya diwakili oleh 6 perempuan atau sekitar 10,1 persen[2], padahal dari jumlah DPT perempuan dan lelaki relatif berimbang. Hal ini tentunya masih jauh dari kuota keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen yang diamanahkan dalam Undang-Undang untuk bisa mempengaruhi kebijakan publik. Fenomena semacam inilah yang menjadi hambatan dan tantangan bagi kaum perempuan di Kabupaten Demak untuk bisa memperjuangkan nasibnya sendiri.   PEMBAHASAN Pemerintah kabupaten Demak sebenarnya sudah gencar untuk melakukan pemberdayaan perempuan lewat berbagai kebijakan, antara lain Perbup no. 7 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Kabupaten Demak, Surat Edaran Bupati Demak no 401/0057/2016 tentang Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender SKPD, hal ini kemudian ditindaklanjuti oleh Kantor Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (KP2PA) dengan mengeluarkan berbagai kebijakan antara lain: Pertama, peningkatan kualitas hidup perempuan dan perlindungan anak. Kedua, penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender. Ketiga, keserasian kebijakan peningkatan kualitas anak dan perempuan. Keempat, peningkatan peran serta dan kesetaraan gender dalam pembangunan[3] Berbagai kebijakan publik yang mempunyai tujuan untuk memberdayakan perempuan ternyata masih belum efektif diterapkan di bidang politik, hasil Pemilu Legistatif tahun 2019 untuk memilih anggota DPRD Kabupaten Demak bisa menjadi contoh bahwa posisi perempuan masih terisolir, menurut hemat saya ada beberapa hal yang bisa menjadi penyebab: Marginalisasi : Posisi perempuan cenderung diletakkan di pinggir Tugas perempuan hanya sebagai pelengkap tugas laki-laki. Tugas utama kaum perempuan hanya mengurusi rumah tangga. Anggota DPRD merupakan ranah wilayah laki-laki karena dianggap sebagai ‘pekerjaan’ untuk menafkahi keluarga, perempuan dianggap belum pantas menduduki jabatan tersebut, mereka cukup menerima gaji saja. Subordinasi : Pengerdilan peran kaum perempuan Sudah menjadi tradisi dalam masyarakat Jawa bahwa laki-laki dianggap lebih dominan dalam segala hal karena fisik mereka yang lebih kuat, sehingga sanggup menyelesaikan berbagai macam persoalan sementara perempuan mempunyai fisik yang lemah, rentan cedera sehingga mereka lebih mudah diintimidasi dan menjadi korban kekerasan. Masyarakat masih menganggap bahwa anggota DPRD haruslah orang yang mempunyai fisik kuat karena mereka akan bekerja sepanjang hari dalam menyusun kebijakan publik Patriarki : Sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dalam segala hal Disini bisa diartikan bahwa tugas dan fungsi DPRD sebagai lembaga penyusun kebijakan publik merupakan wewenang laki-laki yang sudah terbiasa mengambil keputusan. Perempuan hanya bertugas untuk memberikan saran dan masukan serta menerima keputusan tersebut apapun hasilnya. Saat ini, berbagai hambatan yang dialami oleh kaum perempuan di bidang politik memang lebih menjurus kepada kondisi mental yang disebabkan oleh hierarki budaya, bukan karena faktor ekonomi, karena menurut data BPS Kabupaten Demak, pada tahun 2016, penduduk dengan usia produktif 15 tahun keatas yang bekerja sebanyak 534.301 orang dengan jumlah laki-laki 316.456 orang dan perempuan 217.485 orang[4]. Artinya, walaupun masih tertinggal dari laki-laki, sebenarnya perempuan sudah bisa diandalkan untuk mencari nafkah Pemberdayaan mental bagi kaum perempuan di Kabupaten Demak merupakan prioritas utama jika ingin meningkatkan partisipasi mereka di bidang politik. Karena itulah perlu dilakukan upaya persuasif agar perempuan merasa terpanggil untuk bisa aktif dalam bidang politik. Bebera faktor yang menyebabkan minimnya partisipasi perempuan harus segera dibenahi : Peningkatan pendidikan politik di lingkungan parpol Salah satu fungsi Parpol yang harus dikuatkan adalah pendidikan politik. Para legistatif di DPRD Kab. Demak harus bisa lebih intens bekerjasama dengan struktural di lembaga grassroot bawah seperti pemerintah desa ataupun karang taruna untuk mengadakan pelatihan-pelatihan politik bagi kaum perempuan dengan fokus perubahan maindset pemikiran. Rubah stigma bahwa menjadi anggota DPRD bukan seperti mendapat pekerjaan sehingga kaum perempuan cukup di rumah menerima gaji, tetapi tanamkan kepada mereka bahwa menjadi anggota DPRD adalah amanah untuk menjadi wakil rakyat yang akan mengeluarkan kebijakan publik menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga perempuan juga harus berani untuk mengambil wilayah tersebut, karena di bidang politik tidak ada perbedaan gender dalam menentukan pilihan, semua sama kedudukannya di mata hukum. Pelibatan lembaga-lembaga keagaamaan untuk memberikan kesadaran kritis Selain penguatan kedudukan secara struktural pemerintahan , lembaga-lembaga keagamaan juga mempunyai peran penting untuk meningkatkan kesadaran politik perempuan. Organisasi seperti Fatayat NU, Aisyiah Muhammadiyah (Islam), Persatuan Wanita Kristen Indonesia (Kristen), Wanita Hindu Dharma Indonesia (Hindu) dan Wanita Buddhis Indonesia (Budha) mempunyai kelebihan ruang dan waktu untuk berinteraksi dengan kaum perempuan, disitulah perlu dirumuskan konsep bersama antara semua pihak untuk memberi mencari landasan dari agamanya masing-masing agar perempuan bisa lebih aktif untuk menyuarakan kepentingannya Merangkul organisasi kemahasiswaan ekstra dan intra kampus Mahasiswa merupakan masa keemasan bagi pendidikan di Indonesia karena sudah bisa berpikir kritis tentang kondisi lingkungan, mereka juga sudah dianggap lebih mempunyai kesadaran kritis untuk menentukan pilihan, terutama jika ada perempuan yang bergabung dalam organisasi ektra dan intra kampus. Karena itulah perlu dikembangkan pemikiran mereka untuk bisa memperjuangkan kepentingan kaumnya. Khusus bagi perempuan yang mempunyai jabatan dalam organisasi ekstra dan intra kampus, mereka sudah mempunyai dasar yang kuat dalam menentukan sikap untuk bisa bersaing dengan laki-laki dalam berpolitik. Kiranya hal ini yang harus menjadi perhatian dari semua pihak agar jangan sampai bakat dan pemikiran mereka tidak kembali terpendam setelah lulus kuliah. Pelibatan kaum perempuan yang bergabung dalam organisasi ekstra dan intra kampus, khususnya bagi yang sudah mempunyai jabatan dalam berbagai kegiatan dan pelatihan dari pihak-pihak yang berkaitan dengan masalah politik di Kabupaten Demak harus lebih ditingkatkan. Merangkul organisasi kemahasiswaan ekstra dan intra kampus juga mempunyai keuntungan tersendiri, selain sebagai sarana untuk mengembangkan pemikiran mereka tentang politik di Kabupaten Demak, mereka juga bisa berfungsi sebagai konselor politik bagi masyarakat di lingkungan mereka, hal ini juga untuk memaksimalkan rekruitmen politik.   Sebagai bagian dari masyarakat di Kab. Demak, perempuan juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama di bidang politik seperti yang tertuang dalam pasal 28 UUD’ 1945 yang berbunyi ‘Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Artinya tidak diperbolehkan ada pengekangan, intimidasi dan hambatan dari siapapun jika kaum perempuan akan menyuarakan haknya, sehingga jika beberapa pendekatan persuasif segera dilaksanakan maka partisipasi politik perempuan di Kabupaten Demak bisa meningkat   PENUTUP Ada sebuah kisah menarik yang pernah diutarakan oleh Ferdinand Mendez Da Pinto, seorang penjelajah asal Portugis pada abad ke 16 yang pernah melakukan perundingan dengan seorang perempuan bernama Nhay Pombaya yang merupakan wakil raja Demak yang saat itu menguasai seluruh pulau di Jawa, Bali dan Madura. Ferdinand merasa terheran-heran bagaimana bisa raja Demak mengirimkan utusan seorang perempuan untuk berdiplomasi dengannya dalam mengambil keputusan tentang hubungan Portugis dengan Demak. Ferdinand beranggapan bahwa perempuan di Demak juga bisa dianggap bisa untuk mengambil keputusan politik strategis dalam sebuah negara[5]. Sebenarnya jika kita kaji lebih mendalam, perempuan bisa diharapkan pemikirannya untuk mengambil kebijakan-kebijakan strategis dalam sebuah wilayah. Jika pada zaman kerajaan Demak, perempuan bisa  menjadi wakil raja dalam menjalankan misi diplomasi, maka saat ini ketika menganut sistem demokrasi, perempuan di Kabupaten Demak juga bisa melakukan misi diplomasi dengan berpartisipasi aktif untuk memberikan suara saat proses politik tiba. Apalagi dengan semakin meratanya sistem pendidikan dan kemajuan teknologi yang pesat mengakibatkan sistem komunikasi serta informasi bisa menjangkau seluruh pelosok desa. Semua faktor yang mendukung partisipasi politik perempuan memang harus lebih diperhatikan kembali, tetapi yang lebih penting dari itu semuanya adalah niat dan itikad pribadi dari kaum perempuan itu sendiri. Sejarah sudah membuktikan bahwa para pendahulu kita sudah berusaha untuk memperjuangkan kaum perempuan agar tidak dianggap menjadi beban bagi laki-laki, tetapi bagaimana mereka bisa memperjuangkan nasibnya sendiri. Pemilihan Bupati Kabupaten Demak tahun 2020 dan Pemilihan Umum Tahun 2024 bisa menjadi indikator jika faktor yang menghambat minimya partisipasi politik perempuan bisa dibenahi maka saya optimis bahwa perempuan Kabupaten Demak akan lebih banyak bisa berbicara untuk kepentingan kaummnya. Karena salah satu jalur untuk merubah kondisi di masyarakat adalah lewat pertimbangan-pertimbangan politik yang dilakukan lewat tindakan riil, bukan hanya melalui doa semata.   Siti Ulfaati Anggota KPU Kabupaten Demak  Divisi Sosialisasi, Parmas, Kampanye dan SDM   [1] Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang pada tahun 1911 [2] Pusat data tabulasi KPU Demak [3] Bappeda Kab. Demak [4] Demak Dalam Angka 2017, BPS Kab. Demak [5] The Voyages and Adventures of Ferdinand Mendez Pinto, the Portuguese hal 374-376


Selengkapnya
424

Demokrasi Daging Sapi: Anomali Pemilu Indonesia

Oleh: Siti Ulfaati (Anggota KPU Kabupaten Demak) Sistem demokrasi di Indonesia mempunyai substansi bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan yang sah di negeri ini, sehingga untuk mewujudkannya dibutuhkan sistem demokrasi prosedural yang berkaitan dengan tata cara dan aturan demokrasi. Demokrasi ini mempunyai kewenangan secara prosedur dan dilindungi oleh undang-undang. Salah satu cara menegakkan sistem demokrasi prosedural adalah melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu merupakan wujud nyata dari partisipasi demokrasi tak langsung masyarakat untuk menyusun pemerintahan. Menurut UU No 12 tahun 1945, Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tujuan. Pertama, memilih wakil rakyat dan wakil daerah. Kedua, membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat. Ketiga, keduanya dilakukan dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan. Demokrasi Dagang Sapi Walaupun Pemilu di Indonesia sudah diadakan berkali-kali, tetapi pada kenyataanya prosedur rakyat sebagai pemegang sah kekuasaan di negeri ini masih seringkali terabaikan. Fungsi partai politik sebaga salah satu alat untuk mencerdaskan perilaku politik masyarakat acapkali hanya menjadi pemanis semata. Peran ideologisasi parpol malah semakin bias di era millennium. Ajang kongres atau munas seringkali dibarengi dengan isu money politic. Sementara Parpol dengan model komando atau penunjukan langsung dari pusat malahan menciptakan suatu rezim baru yang tak tergoyahkan. Akhirnya rakyat hanya menjadi obyek Pemilu. Setiap menjelang masa kampanye, rakyat yang seharusnya menjadi subyek pencerdasan hanya dibuai oleh janji manis kampanye. Bagaikan penjual madu yang menawarkan dagangannya, seribu satu cara dilakukan oleh calon legistatif dan eksekutif agar konstituen mau memilihnya. Yang lebih mengherankan menjelang hari-H Pemilu, tiba-tiba banyak orang Indonesia menjadi “sabar”. Mereka rela berjam-jam mengantri di bank untuk menukarkan uang. Pecahan nominal seribu, lima ribu dan sepuluh ribu menjadi uang yang paling susah dicari. Salah satu ambivalensi Pemilu yang paling merubah sejarah sistem kepartaian adalah keputusan Makamah Konstitusi (MK)  No. 22-24/PUU-VI/2008 tentang perkara permohonan pengujian UU No.  10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Putusan MK adalah suara terbanyak. Jika kita ambil sisi positifnya, keputusan ini semakin menguatkan sistem demokrasi bahwa calon yang terpilih adalah pengumpul suara terbanyak, bukan lagi berdasarkan nomor urut partai, tetapi sisi negatifnya akhirnya stigma politisi kutu loncat menjadi mewabah. Banyak calon dengan pengalaman ideologisasi yang minim tiba-tiba menjadi pemenang hanya dikarenakan mereka mempunyai modal kampanye yang banyak, sementara pengurus partai yang memulai kaderisasi dari tingkat ranting menjadi terpinggirkan, padahal mau tak mau harus diakui, merekalah yang paling memahami tentang ideologi partai, tetapi hanya karena tidak punya modal capital yang cukup, akhirnya hanya menjadi penggembira semata. Partai pun semakin kehilangan ideologinya dan anya untuk memenuhi target suara mereka menggunakan cara-cara instan untuk menggaet pemilih. Pengusaha dengan modal kapital kuat dan artis dengan popularitas tinggi menjadi target utama. Akibatnya banyak kader partai potensial akan semakin tersingkir. Bukannya saya tidak sepakat ketika pengusaha atau artis menjadi calon eksekutif atau legistatif, tetapi jikalau mereka belum mendapatkan pemaknaan ideology dari partai pengusungnya seringkali kebijakan-kebijakan yang diambil hanya berdasarkan finansial atau popularitas semata. Karena bagi rakyat Indonesia, memahami ideologi dibutuhan proses yang lama. Itulah kenapa ideologi sosialisme Marxis atau Marhaennya bung Karno tidak akan lekang dimakan waktu. Generasi Muda yang Hiperaktif Generasi mudapun menjadi obyek doktrinasi pemilu. Sifat generasi muda Indonesia yang responsif tetapi tidak mau untuk mengecek kembali kebenaran suatu berita menjadikan mereka sebagai wajan besar tembat penggorengan isu-isu yang tidak bertanggung jawab. Apalagi sekarang akses informasi sudah menyebar sampai ke pelosok negeri. Setiap orang kapanpun dan dimanapun bisa dengan mudah mendapatkan informasi lewat internet, akhirnya media sosial menjadi ajang peperangan tersendiri. Penduduk Indonesia pun tergolong aktif sebagai konsumen media sosial. Berdasarkan penelitian Semiocast dan Social Baker yang merilis bahwa jumlah pemilik akun Twitter menempati urutan kelima dunia dengan jumlah 19,5 juta sementara Facebook menduduki peringkat 4 dengan jumlah 51 juta. Sungguh pasar yang menarik untuk melegitimasi suatu isu. Viral-viral yang bernada kampanye hitam sudah menjadi makanan sehari-hari di media sosial, hujat menghujat calon kandidat langsug ditanggapi dengan nada satir. Bahkan meme-meme yang tidak bertanggungjawab mendapatkan perhatian tersendiri. Bentuk pemahaman demokrasi mempunyai pengertian sebagai sarana untuk mencari musuh baru, karena bagaimanapun juga banyak akun anonim yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.  Realitas Pemilu Pelaksanaan pemilu yang akrab disebut ajang Demokrasi prosedural hanya menjadi romantika pesta semata, hingar binger tetapi tidak mempunyai makna yang mendalam. Pemilu bagi sebagian kalangan rakyat justru melahirkan sikap yang acuh. Sebab, hajatan politik ini hanya menjadi ritual yang tak mewakili kepentingan eksistensi rakyat sebagai pemegang kedaulatan, jadi wajar saja jika setelah pemilu selesai mereka merasa diperalat oleh para pemegang kekuasaan yang telah mereka pilih. Mereka hanya menjadi raja ketika pemilu berjalan dan kembali menjadi budak tertindas ketika para pemangku kekuasaan sudah mengucapkan janji pelantikan. Inilah kenyataan yang selalu terulang setiap kali bangsa ini melangsungkan pesta demokrasi. Pernah dimuat di JogjakartaNews.com


Selengkapnya