Opini

81

Merefleksi Dana Kampanye

Oleh: Hastin Atas Asih   Sistem pemilihan langsung oleh rakyat memang sangat cocok untuk Negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi. Namun tak dapat dipungkiri, konsekuensi dari sistem ini adalah dibutuhkannya biaya yang mahal untuk proses penyelenggaraan pemilihan umum. Dari sisi kebutuhan penyelenggaraan, jelas terlihat besarnya dana untuk membayar petugas, perlengkapan TPS, surat suara, sosialisasi dan publikasi hasil dari pemilu itu sendiri. Di sisi peserta pemilu, kontestan juga harus merogoh “kocek” yang cukup besar untuk berbagai kegiatan terutama kampanye. Kampanye politik dengan segala perangkat pendukungnya membuat membengkaknya biaya. Selain itu, mesin tim sukses yang digerakkan tentu membutuhkan amunisi yang tidak kalah mahalnya. Kampanye adalah kegiatan yang bertujuan untuk meyakinkan pemilih. Kegiatan ini penting dilakukan sebagai arena mengenali lebih jauh siapa-siapa yang pantas untuk dipilih. Semakin banyak pemilih yang dijangkau maka intensitas dan masif kampanye dilakukan, dan itu artinya rupiah yang harus dikeluarkan pun semakin banyak. Melalui tulisan ini Penulis akan mencoba menelisik dan merefleksi beberapa hal tentang dana kampanye dengan harapan dapat memberi masukan agar ke depan menjadi lebih baik lagi. Kebutuhan terhadap dana kampanye memang tak bisa dihindarkan oleh peserta pemilu. Bagi para kandidat sendiri, hal semacam ini sudah dipahami betul sehingga jauh-jauh hari, para peserta pemilu sudah getol mengumpulkan pundi-pundi uang yang akan digunakan untuk kampanye, baik itu dari pribadi (calon yang bersangkutan), partai politik (parpol)/ yang mengusul pasangan calon presiden dan wakil presiden maupun sumbangan pihak lain dengan cara menjalin komunikasi yang baik. Meski banyak sekali kebutuhan untuk kampanye dan begitu banyaknya sumber yang dapat dijadikan penyumbang dana kampanye, namun peserta pemilu tak boleh lupa akan regulasi. Yang perlu diingat oleh para calon adalah adanya aturan yang harus dipatuhi terkait dana kampanye. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tegas memberikan batasan terkait dana kampanye, mulai dari besaran sumbangan, sumber-sumber sumbangan, dan pelaporan dana kampanye itu sendiri. Sumbangan Untuk calon presiden dan wakil presiden, batasan sumbangan dana kampanye yang berasal dari pihak lain perseorangan maksimal adalah sebesar 2,5 miliar rupiah. Dana kampanye yang berasal dari kelompok, perusahaan atau badan usaha non pemerintah tidak boleh melebihi 25 miliar rupiah. Untuk dana kampanye calon anggota DPR dan DPRD yang berasal dari pihak lain perseorangan paling banyak 2,5 miliar rupiah. Sedangkan sumbangan dari pihak lain kelompok, perusahaan dan atau badan usaha non pemerintah tidak boleh lebih dari 25 miliar rupiah. Sementara itu untuk dana kampanye pemilu calon DPD yang berasal dari pihak perseorangan paling banyak 750 juta rupiah, dan sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan/badan usaha non pemerintah maksimal sebesar 1,5 miliar rupiah. Pembatasan besaran sumbangan dana kampanye ini tepat kiranya karena diharapkan dapat tepilih pemimpin dan wakil rakyat yang berintegritas. Apa hubungannya batasan sumbangan dana kampanye dengan pemimpin berintegritas? Jika dana kampanye tidak ada pembatasan dikhawatirkan peserta pemilu akan “jor-joran” dalam mengeluarkan uang, sehingga ketika terpilih nanti mereka menjadi tidak fokus terhadap upaya memajukan kesejahateraan rakyat, namun justru pusing memikirkan bagaimana harus mengembalikan uang yang telah mereka keluarkan. Pembatasan dana kampanye ini juga diharapkan menjadikan kampanye lebih bersifat substansi, sehingga politik uang dapat diminimalisir. Penyumbang Selain batasan besaran sumbangan dana kampanye, di UU Nomor 7 Tahun 2017 juga disebutkan terkait larangan bagi peserta pemilu maupun tim kampanye untuk menerima dana kampanye yang berasal dari pihak asing, penyumbang yang tidak jelas identitasnya, hasil tindakan yang telah terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan/atau bertujuan menyembunyikan atau menyamarkan hasil tindak pidana. Selain itu, peserta pemilu dan tim kampanye juga dilarang menerima sumbangan dana kampanye dari pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah atau pemerintah desa dan badan usaha milik desa. Pengaturan ini cukup beralasan, karena jika sumbangan dana kampanye berasal dari pihak-pihak diatas maka dikhawatirkan akan mencinderai pelaksanaan kampanye bahkan pemilu itu sendiri. Misalkan saja dana tersebut berasal dari pihak asing. Dikhawatirkan jika terpilih, peserta pemilu nantinya akan beriorintasi terhadap kepentingan pihak asing tersebut. Jika ini terjadi tidak saja pemilunya yang kacau, namun akan berdampak terhadap keutuhan NKRI. Begitupula apabila sumbangan itu berasal dari pemerintah. Hal ini tentu akan mendapatkan penolakan keras dari masyarakat. Karena pemerintah adalah lembaga Negara yang haruslah independent. Menggunakan uang pemerintah sama saja dengan menggunakan uang rakyat. Jika itu terjadi artinya pemerintah menggunakan uang rakyat untuk kepentingan satu golongan. Pelaporan Pembatasan lain dalam UU 7 Tahun 2017 adalah berkaitan dengan pelaporan dana kampanye. Sejumlah kewajiban harus dilakukan peserta pemilu seperti membuat laporan dana kampanye, menyusun daftar penyumbang dan mencatat semua penerimaan atau pendapatan dan pengeluaran atau belanja kampanye serta menyimpan bukti transaksi. Aturan terkait pelaporan dana kampanye ini dibuat dengan harapan adanya transparansi dan akuntabilitas. Dalam penerimaan, pengelolaan dan pengeluaran dana kampanye dapat diketahui dengan mudah oleh publik, sehingga publik tahu dan bisa mempelajari perilaku calon yang akan menjadi pemimpin maupun wakilnya ini seperti apa. Hal ini berkaitan dengan kebijakan dan keputusan yang mereka ambil dalam pengelolaan dana kampanye ini, sehingga mereka dapat memilih peserta pemilu yang berorintasi pada kepentingan rakyat atau penyumbangnya. Selain itu, pelaporan dana kampanye ini juga berkaitan dengan prinsip akuntabilitas. Dalam pelaporan dana kampanye ini tentunya peserta pemilu harus mampu menyusun laporan sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Ketika pelaporan ini diatur dan di publish, publik juga menjadi tahu aktifitas apa saja yang dilakukan oleh calon yang akan dipih tersebut, selama masa kampanye dan bagaimana dia mempertanggungjawabkan sumbangan yang telah diterima. Di Kabupaten Demak, proses yang berkaitan dengan tahapan pelaporan dana kampanye berjalan lancar. Dari laporan dana kampanye, mulai Laporan Awal Dana Kampanye (LADK), Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) hingga Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) tidak ada yang melanggar batasan yang diatur. Berkaitan dengan jumlah sumbangan dana kampanye misalnya, jelas terlihat tidak ada yang melebihi batasan maksimal. Pada Laporan Awal Dana Kampanye (LADK), saldo terbesar hanya 30 juta rupiah. Sedangkan terendah adalah 100 ribu rupiah. Rata-rata yang lainnya adalah 1 juta rupiah. Sedangkan untuk saldo tim kampanye pasangan calon presiden dan wakil presiden, bahkan ada yang nol. Artinya di tahap awal, dana kampanye yang diterima masih sangat minim, atau bahkan hanya untuk membuka rekening khusus dana kampanye. Untuk penerimaan laporan awal dana kampanye parpol dan calon presiden dan wakil presiden adalah sebagai berikut: Kemudian di tahap penyampaian laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK), saldo terbanyak yang dimiliki oleh partai politik adalah 321,3 juta rupiah yaitu PDI P, sedangkan yang terendah adalah 114 rupiah. Untuk tim kampanye calon presiden dan wakil presiden adalah paslon nomor urut 1 sebesar Rp23.280.00,- dan paslon nomor urut 2 sebesar Rp367.160,-. Sampai pada tahap ini, jumlah sumbangan dana kampanye pun masih tergolong tidak terlalu tinggi. Berikut jumlah penerimaan sumbangan dana kampanye oleh parpol dan calon presiden dan wakil presiden pada Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye Pemilu 2019: Selanjutnya pada tahapan pelaporan peneriman dan pengeluaran dana kampanye, saldo terbesar adalah Rp. 662.459.000,-, dan terendah adalah Rp. 100.288,-. Artinya, sampai tahapan terakhir jumlah penerimaan sumbangan dana kampanye yang diterima oleh partai politik maupun tim kampanye paslon presiden dan wakil presiden masih jauh dari batas maksimal yang ditentukan oleh Undang-undang. Berikut laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye partai politik pada Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye pemilu 2019 di Kabupaten Demak: Dari laporan yang ada, sebenarnya ada hal yang patut ditanyakan, apakah laporan yang disusun oleh peserta pemilu ini sudah mencerminkan realitas penerimaan dan pengeluaran yang terjadi di lapangan? Dalam Undang-Undang Pemilu, tidak ada aturan yang tegas apabila penggunaan dana kampanye tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Kondisi yang demikian membuat peserta pemilu seenaknya dalam membuat laporan, dan laporan pun hanya terkesan formalitas. Memang ada pengawasan dari Bawaslu. Tetapi itu masih sangat lemah, karena regulasi yang ada belum mampu menjangkau secara komprehensif pengawasan dan penegakan atas akuntabilitas dana kampanye itu. Kalau aturan tegas itu tidak ada, maka jatuh-jatuhnya hanyalah teguran yang diterima oleh peserta pemilu. Dan itu tidak akan menimbulkan efek jera. Untuk meminimalisir kondisi tersebut, regulasi yang ada dan tools yang diberikan pada penyelenggara pemilu juga perlu diperkuat agar lebih menyentuh substansi. Undang-Undang pemilu mendatang mestinya mencantumkan aturan adanya sanksi pidana bagi peserta pemilu apabila menyampaikan laporan dana kampanye yang tidak benar atau tidak sesuai dengan dengan fakta yang ada karena ini sudah masuk pada ranah penipuan. Berkaitan dengan batasan penyumbang, berdasar laporan dana kampanye yang disampaikan peserta pemilu di Kabupaten Demak sejauh ini tidak ada yang melanggar. Namun yang menjadi catatan, pendataan sumber penyumbang ini selayaknya dibukukan dengan baik oleh petugas yang ditunjuk mengelola dana kampanye. Termasuk juga alat buktinya, seperti identitas penyumbang, surat pernyataan penyumbang, maupun alat buktinya. Jika semua terorganisir dengan baik tentu saja ketika proses pelaporan tidak kebingungan. Kemudian terkait batasan pelaporan. Hal ini kadang yang sering membuat petugas di KPU geleng-geleng kepala. Karena setiap jadwal pelaporan dana kampanye, hampir semua peserta pemilu lebih memilih menyampaikannya di menit-menit terakhir. Bahkan ada beberapa yang di menit terakhir itu baru terselesaikan 20%, dan bukti transaksi juga masih harus dicari-cari. Alhasil KPU harus siap melayani hingga hari berganti hari. Tahap lanjutan dari pelaporan dana kampanye adalah audit dana kampanye. Untuk memperoleh hasil audit dana kampanye yang berintegritas maka dibutuhkan tim audit yang kompeten, sehingga akan dihasilkan laporan hasil audit dana kampanye yang memiliki kredibilitas dan dapat dipertanggungjawabkan ke publik karena disusun oleh orang yang memiliki keahlian di bidangnya. Sejauh ini hasil audit pelaporan dana kampanye adalah patuh dan tidak patuh. Standar kepatuhan bagi peserta pemilu adalah patuh terhadap ketentuan perundang-undangan. Seperti laporan disampaikan sesuai batas waktu, sumberdana kampanye dari sumber yang sah. Untuk menentukan penilaian tersebut tentunya tim auditor harus bekerja maksimal. Jangan sampai tim auditor hanya bekerja di belakang meja. Atau bahkan mengeluarkan hasil audit, tetapi sebenarnya peserta pemilu yang bersangkutan tidak melaporkan dana kampanye. Berkaitan hal tersebut, perlu juga adanya regulasi yang mengatur terkait kinerja akuntan publik. Apabila ada tim auditor yang tidak benar, haruslah ada sanksi. Baik itu pencabutan tugas audit, tidak bisa menjadi auditor pada pemilu berikutnya, hingga dimintakan pencabutan ijin kerjanya. Dengan adanya sanksi tersebut setidaknya akan membuat Kantor Akuntan Publik lebih selektif untuk memilih auditor. KPU sebagai user pun harus selektif pula untuk memilih Kantor Akuntan Publik yang professional dan kredible, sehingga daudit dana kampanye dilaksanakan sesuai prosedur. Beberapa hal yang perlu disempurnakan lagi tahapan laporan dana kampanye adalah berkaitan dengan alat bantu yang digunakan dalam penyusunan laporan dana kampanye yaitu aplikasi dana kampanye atau sering disebut Sidakam. Keberadaan Sidakam memang sangat dibutuhkan karena pelaporan dana kampanye memang haruslah berbasis aplikasi supaya format, unsure-unsur dan system pelaporannya mendekati standar. Selain itu, adanya aplikasi ini juga diharapkan lebih memudahkan penyelenggara maupun peserta dalam melaksanakan tugas. Dalam tahapan pelaporan dana kampanye sejauh ini masih ada beberapa keluhan terkait Sidakam. Bahkan aplikasi ini pun beberapa kali harus diubah. Kedepan diharapkan aplikasi ini dapat lebih sempurna, sehingga tujuan dibuatnya sidakam ini dapat tercapai. Tak hanya sidakam yang perlu disempurnakan. Dari segi peserta pemilu juga harus menyiapkan SDM atau Liasion Officer (LO) yang berkapasitas yang mampu menyusun laporan dana kampanye, mengoperasikan aplikasi sidakam serta mempertanggungjawabkan apa yang telah dilaporkan. Sejauh ini, dari sejumlah LO parpol yang bertugas, hanya sebagian kecil yang mempunyai kapasitas sesuai kebutuhan. Untung saja helpdesk KPU Demak siap melayani. Berbicara terkait dana kampanye dan seperangkat aturan dan pirantinya memang sangat menarik. Yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana supaya kedepan pengaturan dana kampanye itu benar-benar mampu menjaga kemandirian parpol, caleg dan calon pejabat eksekutif dari pengaruh uang yang disetor para penyumbang, khususnya saat mereka menduduki jabatan pasca pemilu. Untuk mendapatkan pengaturan yang sesuai, kajian dan masukan dari elemen masyarakat  perlu dipertimbangkan. Karena ujung dari kesemuanya adalah harapan terlaksanakan pemilu yang demokratis, terpilih pemimpin yang amanah, kepentingan rakyat terakomodir dan keinginan rakyat terpenuhi. (Penulis adalah Anggota KPU Kabupaten Demak Divisi Hukum dan Pengawasan)  


Selengkapnya
165

Menyongsong Kebangkitan Perempuan Demak

“Berpolitik jadi sebuah pilihan yang mesti dipertimbangkan bagi siapapun yang menghendaki perubahan. Karena perubahan tidak datang tiba-tiba, hanya berkat doa di tengah malam”                                                                               Najwa Shihab   PENDAHULUAN Gagasan RA. Kartini agar perempuan Indonesia mempunyai pemikiran yang bersumber kepada Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht (pendidikan mandiri), Zelf- vertrouwen (percaya diri) dan Zelf-werkzaamheid (motivasi diri)  dan juga Solidariteit (solidaritas) dengan berdasarkan pada Religieusiteit (agama), Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan) agar rasa humanisme dan nasionalisme para perempuan semakin kuat[1] tentu bertujuan agar perempuan Indonesia mempunyai dasar yang kuat untuk menentukan sikap, salah satunya di bidang politik. Sebagai negara yang menganut paham demokrasi, tentunya peran perempuan dalam mewujudkan sistem demokrasi prosedural tidak bisa dinafikan. Karena itulah pasca reformasi desakan untuk mengakomodasi kepentingan mereka dalam parlemen menjadi semakin menguat sehingga muncul kuota 30 persen bagi caleg perempuan yang tertuang dalam sejumlah Undang-Undang, yaitu UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR-DPRD. Kenapa keterwakilan perempuan harus mencapai 30 persen, hal ini berdasarkan pada penelitian PBB bahwa jumlah minimal 30 persen bisa mempengaruhi hasil kebijakan publik. Ironisnya di pemilu legistatif kabupaten Demak terakhir pada tahun 2019, dengan DPT mencapai 877.343 terdiri dari jumlah perempuan sebanyak 438.482 dan laki-laki 438.861 yang terdaftar pada 3.615 TPS dan tersebar di 249 desa/kelurahan di 14 kecamatan untuk memilih 50 anggota DPRD ternyata hanya diwakili oleh 6 perempuan atau sekitar 10,1 persen[2], padahal dari jumlah DPT perempuan dan lelaki relatif berimbang. Hal ini tentunya masih jauh dari kuota keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen yang diamanahkan dalam Undang-Undang untuk bisa mempengaruhi kebijakan publik. Fenomena semacam inilah yang menjadi hambatan dan tantangan bagi kaum perempuan di Kabupaten Demak untuk bisa memperjuangkan nasibnya sendiri.   PEMBAHASAN Pemerintah kabupaten Demak sebenarnya sudah gencar untuk melakukan pemberdayaan perempuan lewat berbagai kebijakan, antara lain Perbup no. 7 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Kabupaten Demak, Surat Edaran Bupati Demak no 401/0057/2016 tentang Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender SKPD, hal ini kemudian ditindaklanjuti oleh Kantor Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (KP2PA) dengan mengeluarkan berbagai kebijakan antara lain: Pertama, peningkatan kualitas hidup perempuan dan perlindungan anak. Kedua, penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender. Ketiga, keserasian kebijakan peningkatan kualitas anak dan perempuan. Keempat, peningkatan peran serta dan kesetaraan gender dalam pembangunan[3] Berbagai kebijakan publik yang mempunyai tujuan untuk memberdayakan perempuan ternyata masih belum efektif diterapkan di bidang politik, hasil Pemilu Legistatif tahun 2019 untuk memilih anggota DPRD Kabupaten Demak bisa menjadi contoh bahwa posisi perempuan masih terisolir, menurut hemat saya ada beberapa hal yang bisa menjadi penyebab: Marginalisasi : Posisi perempuan cenderung diletakkan di pinggir Tugas perempuan hanya sebagai pelengkap tugas laki-laki. Tugas utama kaum perempuan hanya mengurusi rumah tangga. Anggota DPRD merupakan ranah wilayah laki-laki karena dianggap sebagai ‘pekerjaan’ untuk menafkahi keluarga, perempuan dianggap belum pantas menduduki jabatan tersebut, mereka cukup menerima gaji saja. Subordinasi : Pengerdilan peran kaum perempuan Sudah menjadi tradisi dalam masyarakat Jawa bahwa laki-laki dianggap lebih dominan dalam segala hal karena fisik mereka yang lebih kuat, sehingga sanggup menyelesaikan berbagai macam persoalan sementara perempuan mempunyai fisik yang lemah, rentan cedera sehingga mereka lebih mudah diintimidasi dan menjadi korban kekerasan. Masyarakat masih menganggap bahwa anggota DPRD haruslah orang yang mempunyai fisik kuat karena mereka akan bekerja sepanjang hari dalam menyusun kebijakan publik Patriarki : Sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dalam segala hal Disini bisa diartikan bahwa tugas dan fungsi DPRD sebagai lembaga penyusun kebijakan publik merupakan wewenang laki-laki yang sudah terbiasa mengambil keputusan. Perempuan hanya bertugas untuk memberikan saran dan masukan serta menerima keputusan tersebut apapun hasilnya. Saat ini, berbagai hambatan yang dialami oleh kaum perempuan di bidang politik memang lebih menjurus kepada kondisi mental yang disebabkan oleh hierarki budaya, bukan karena faktor ekonomi, karena menurut data BPS Kabupaten Demak, pada tahun 2016, penduduk dengan usia produktif 15 tahun keatas yang bekerja sebanyak 534.301 orang dengan jumlah laki-laki 316.456 orang dan perempuan 217.485 orang[4]. Artinya, walaupun masih tertinggal dari laki-laki, sebenarnya perempuan sudah bisa diandalkan untuk mencari nafkah Pemberdayaan mental bagi kaum perempuan di Kabupaten Demak merupakan prioritas utama jika ingin meningkatkan partisipasi mereka di bidang politik. Karena itulah perlu dilakukan upaya persuasif agar perempuan merasa terpanggil untuk bisa aktif dalam bidang politik. Bebera faktor yang menyebabkan minimnya partisipasi perempuan harus segera dibenahi : Peningkatan pendidikan politik di lingkungan parpol Salah satu fungsi Parpol yang harus dikuatkan adalah pendidikan politik. Para legistatif di DPRD Kab. Demak harus bisa lebih intens bekerjasama dengan struktural di lembaga grassroot bawah seperti pemerintah desa ataupun karang taruna untuk mengadakan pelatihan-pelatihan politik bagi kaum perempuan dengan fokus perubahan maindset pemikiran. Rubah stigma bahwa menjadi anggota DPRD bukan seperti mendapat pekerjaan sehingga kaum perempuan cukup di rumah menerima gaji, tetapi tanamkan kepada mereka bahwa menjadi anggota DPRD adalah amanah untuk menjadi wakil rakyat yang akan mengeluarkan kebijakan publik menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga perempuan juga harus berani untuk mengambil wilayah tersebut, karena di bidang politik tidak ada perbedaan gender dalam menentukan pilihan, semua sama kedudukannya di mata hukum. Pelibatan lembaga-lembaga keagaamaan untuk memberikan kesadaran kritis Selain penguatan kedudukan secara struktural pemerintahan , lembaga-lembaga keagamaan juga mempunyai peran penting untuk meningkatkan kesadaran politik perempuan. Organisasi seperti Fatayat NU, Aisyiah Muhammadiyah (Islam), Persatuan Wanita Kristen Indonesia (Kristen), Wanita Hindu Dharma Indonesia (Hindu) dan Wanita Buddhis Indonesia (Budha) mempunyai kelebihan ruang dan waktu untuk berinteraksi dengan kaum perempuan, disitulah perlu dirumuskan konsep bersama antara semua pihak untuk memberi mencari landasan dari agamanya masing-masing agar perempuan bisa lebih aktif untuk menyuarakan kepentingannya Merangkul organisasi kemahasiswaan ekstra dan intra kampus Mahasiswa merupakan masa keemasan bagi pendidikan di Indonesia karena sudah bisa berpikir kritis tentang kondisi lingkungan, mereka juga sudah dianggap lebih mempunyai kesadaran kritis untuk menentukan pilihan, terutama jika ada perempuan yang bergabung dalam organisasi ektra dan intra kampus. Karena itulah perlu dikembangkan pemikiran mereka untuk bisa memperjuangkan kepentingan kaumnya. Khusus bagi perempuan yang mempunyai jabatan dalam organisasi ekstra dan intra kampus, mereka sudah mempunyai dasar yang kuat dalam menentukan sikap untuk bisa bersaing dengan laki-laki dalam berpolitik. Kiranya hal ini yang harus menjadi perhatian dari semua pihak agar jangan sampai bakat dan pemikiran mereka tidak kembali terpendam setelah lulus kuliah. Pelibatan kaum perempuan yang bergabung dalam organisasi ekstra dan intra kampus, khususnya bagi yang sudah mempunyai jabatan dalam berbagai kegiatan dan pelatihan dari pihak-pihak yang berkaitan dengan masalah politik di Kabupaten Demak harus lebih ditingkatkan. Merangkul organisasi kemahasiswaan ekstra dan intra kampus juga mempunyai keuntungan tersendiri, selain sebagai sarana untuk mengembangkan pemikiran mereka tentang politik di Kabupaten Demak, mereka juga bisa berfungsi sebagai konselor politik bagi masyarakat di lingkungan mereka, hal ini juga untuk memaksimalkan rekruitmen politik.   Sebagai bagian dari masyarakat di Kab. Demak, perempuan juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama di bidang politik seperti yang tertuang dalam pasal 28 UUD’ 1945 yang berbunyi ‘Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Artinya tidak diperbolehkan ada pengekangan, intimidasi dan hambatan dari siapapun jika kaum perempuan akan menyuarakan haknya, sehingga jika beberapa pendekatan persuasif segera dilaksanakan maka partisipasi politik perempuan di Kabupaten Demak bisa meningkat   PENUTUP Ada sebuah kisah menarik yang pernah diutarakan oleh Ferdinand Mendez Da Pinto, seorang penjelajah asal Portugis pada abad ke 16 yang pernah melakukan perundingan dengan seorang perempuan bernama Nhay Pombaya yang merupakan wakil raja Demak yang saat itu menguasai seluruh pulau di Jawa, Bali dan Madura. Ferdinand merasa terheran-heran bagaimana bisa raja Demak mengirimkan utusan seorang perempuan untuk berdiplomasi dengannya dalam mengambil keputusan tentang hubungan Portugis dengan Demak. Ferdinand beranggapan bahwa perempuan di Demak juga bisa dianggap bisa untuk mengambil keputusan politik strategis dalam sebuah negara[5]. Sebenarnya jika kita kaji lebih mendalam, perempuan bisa diharapkan pemikirannya untuk mengambil kebijakan-kebijakan strategis dalam sebuah wilayah. Jika pada zaman kerajaan Demak, perempuan bisa  menjadi wakil raja dalam menjalankan misi diplomasi, maka saat ini ketika menganut sistem demokrasi, perempuan di Kabupaten Demak juga bisa melakukan misi diplomasi dengan berpartisipasi aktif untuk memberikan suara saat proses politik tiba. Apalagi dengan semakin meratanya sistem pendidikan dan kemajuan teknologi yang pesat mengakibatkan sistem komunikasi serta informasi bisa menjangkau seluruh pelosok desa. Semua faktor yang mendukung partisipasi politik perempuan memang harus lebih diperhatikan kembali, tetapi yang lebih penting dari itu semuanya adalah niat dan itikad pribadi dari kaum perempuan itu sendiri. Sejarah sudah membuktikan bahwa para pendahulu kita sudah berusaha untuk memperjuangkan kaum perempuan agar tidak dianggap menjadi beban bagi laki-laki, tetapi bagaimana mereka bisa memperjuangkan nasibnya sendiri. Pemilihan Bupati Kabupaten Demak tahun 2020 dan Pemilihan Umum Tahun 2024 bisa menjadi indikator jika faktor yang menghambat minimya partisipasi politik perempuan bisa dibenahi maka saya optimis bahwa perempuan Kabupaten Demak akan lebih banyak bisa berbicara untuk kepentingan kaummnya. Karena salah satu jalur untuk merubah kondisi di masyarakat adalah lewat pertimbangan-pertimbangan politik yang dilakukan lewat tindakan riil, bukan hanya melalui doa semata.   Siti Ulfaati Anggota KPU Kabupaten Demak  Divisi Sosialisasi, Parmas, Kampanye dan SDM   [1] Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang pada tahun 1911 [2] Pusat data tabulasi KPU Demak [3] Bappeda Kab. Demak [4] Demak Dalam Angka 2017, BPS Kab. Demak [5] The Voyages and Adventures of Ferdinand Mendez Pinto, the Portuguese hal 374-376


Selengkapnya
411

Demokrasi Daging Sapi: Anomali Pemilu Indonesia

Oleh: Siti Ulfaati (Anggota KPU Kabupaten Demak) Sistem demokrasi di Indonesia mempunyai substansi bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan yang sah di negeri ini, sehingga untuk mewujudkannya dibutuhkan sistem demokrasi prosedural yang berkaitan dengan tata cara dan aturan demokrasi. Demokrasi ini mempunyai kewenangan secara prosedur dan dilindungi oleh undang-undang. Salah satu cara menegakkan sistem demokrasi prosedural adalah melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu merupakan wujud nyata dari partisipasi demokrasi tak langsung masyarakat untuk menyusun pemerintahan. Menurut UU No 12 tahun 1945, Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tujuan. Pertama, memilih wakil rakyat dan wakil daerah. Kedua, membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat. Ketiga, keduanya dilakukan dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan. Demokrasi Dagang Sapi Walaupun Pemilu di Indonesia sudah diadakan berkali-kali, tetapi pada kenyataanya prosedur rakyat sebagai pemegang sah kekuasaan di negeri ini masih seringkali terabaikan. Fungsi partai politik sebaga salah satu alat untuk mencerdaskan perilaku politik masyarakat acapkali hanya menjadi pemanis semata. Peran ideologisasi parpol malah semakin bias di era millennium. Ajang kongres atau munas seringkali dibarengi dengan isu money politic. Sementara Parpol dengan model komando atau penunjukan langsung dari pusat malahan menciptakan suatu rezim baru yang tak tergoyahkan. Akhirnya rakyat hanya menjadi obyek Pemilu. Setiap menjelang masa kampanye, rakyat yang seharusnya menjadi subyek pencerdasan hanya dibuai oleh janji manis kampanye. Bagaikan penjual madu yang menawarkan dagangannya, seribu satu cara dilakukan oleh calon legistatif dan eksekutif agar konstituen mau memilihnya. Yang lebih mengherankan menjelang hari-H Pemilu, tiba-tiba banyak orang Indonesia menjadi “sabar”. Mereka rela berjam-jam mengantri di bank untuk menukarkan uang. Pecahan nominal seribu, lima ribu dan sepuluh ribu menjadi uang yang paling susah dicari. Salah satu ambivalensi Pemilu yang paling merubah sejarah sistem kepartaian adalah keputusan Makamah Konstitusi (MK)  No. 22-24/PUU-VI/2008 tentang perkara permohonan pengujian UU No.  10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Putusan MK adalah suara terbanyak. Jika kita ambil sisi positifnya, keputusan ini semakin menguatkan sistem demokrasi bahwa calon yang terpilih adalah pengumpul suara terbanyak, bukan lagi berdasarkan nomor urut partai, tetapi sisi negatifnya akhirnya stigma politisi kutu loncat menjadi mewabah. Banyak calon dengan pengalaman ideologisasi yang minim tiba-tiba menjadi pemenang hanya dikarenakan mereka mempunyai modal kampanye yang banyak, sementara pengurus partai yang memulai kaderisasi dari tingkat ranting menjadi terpinggirkan, padahal mau tak mau harus diakui, merekalah yang paling memahami tentang ideologi partai, tetapi hanya karena tidak punya modal capital yang cukup, akhirnya hanya menjadi penggembira semata. Partai pun semakin kehilangan ideologinya dan anya untuk memenuhi target suara mereka menggunakan cara-cara instan untuk menggaet pemilih. Pengusaha dengan modal kapital kuat dan artis dengan popularitas tinggi menjadi target utama. Akibatnya banyak kader partai potensial akan semakin tersingkir. Bukannya saya tidak sepakat ketika pengusaha atau artis menjadi calon eksekutif atau legistatif, tetapi jikalau mereka belum mendapatkan pemaknaan ideology dari partai pengusungnya seringkali kebijakan-kebijakan yang diambil hanya berdasarkan finansial atau popularitas semata. Karena bagi rakyat Indonesia, memahami ideologi dibutuhan proses yang lama. Itulah kenapa ideologi sosialisme Marxis atau Marhaennya bung Karno tidak akan lekang dimakan waktu. Generasi Muda yang Hiperaktif Generasi mudapun menjadi obyek doktrinasi pemilu. Sifat generasi muda Indonesia yang responsif tetapi tidak mau untuk mengecek kembali kebenaran suatu berita menjadikan mereka sebagai wajan besar tembat penggorengan isu-isu yang tidak bertanggung jawab. Apalagi sekarang akses informasi sudah menyebar sampai ke pelosok negeri. Setiap orang kapanpun dan dimanapun bisa dengan mudah mendapatkan informasi lewat internet, akhirnya media sosial menjadi ajang peperangan tersendiri. Penduduk Indonesia pun tergolong aktif sebagai konsumen media sosial. Berdasarkan penelitian Semiocast dan Social Baker yang merilis bahwa jumlah pemilik akun Twitter menempati urutan kelima dunia dengan jumlah 19,5 juta sementara Facebook menduduki peringkat 4 dengan jumlah 51 juta. Sungguh pasar yang menarik untuk melegitimasi suatu isu. Viral-viral yang bernada kampanye hitam sudah menjadi makanan sehari-hari di media sosial, hujat menghujat calon kandidat langsug ditanggapi dengan nada satir. Bahkan meme-meme yang tidak bertanggungjawab mendapatkan perhatian tersendiri. Bentuk pemahaman demokrasi mempunyai pengertian sebagai sarana untuk mencari musuh baru, karena bagaimanapun juga banyak akun anonim yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.  Realitas Pemilu Pelaksanaan pemilu yang akrab disebut ajang Demokrasi prosedural hanya menjadi romantika pesta semata, hingar binger tetapi tidak mempunyai makna yang mendalam. Pemilu bagi sebagian kalangan rakyat justru melahirkan sikap yang acuh. Sebab, hajatan politik ini hanya menjadi ritual yang tak mewakili kepentingan eksistensi rakyat sebagai pemegang kedaulatan, jadi wajar saja jika setelah pemilu selesai mereka merasa diperalat oleh para pemegang kekuasaan yang telah mereka pilih. Mereka hanya menjadi raja ketika pemilu berjalan dan kembali menjadi budak tertindas ketika para pemangku kekuasaan sudah mengucapkan janji pelantikan. Inilah kenyataan yang selalu terulang setiap kali bangsa ini melangsungkan pesta demokrasi. Pernah dimuat di JogjakartaNews.com


Selengkapnya