Refleksi SDM atas Pemilu Serentak 2019

(Siti Ulfaati, Divisi SDM KPU Kabupaten Demak)

 

Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 merupakan putusan yang mendasari pelaksanaan Pemilu Serentak (DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden) di Indonesia Tahun 2019. Amanat putusan MK tersebut, kemudian dibuat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum untuk menyelenggarakan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden pada waktu yang bersamaan.

Pemilu Serentak 2019 merupakan sebuah momentum untuk dapat mewujudkan Pemilu yang lebih baik dan membentuk sebuah Pemerintahan yang sehat antara Eksekutif dan Legislatif.

Selain itu, Pemilu Serentak 2019 bertujuan untuk meminimalkan pembiayaan negara dalam pelaksanaan Pemilu, meminimalisir politik biaya tinggi bagi peserta pemilu, serta politik uang yang melibatkan pemilih, penyalahgunaan kekuasaan atau mencegah politisasi birokrasi, dan merampingkan skema kerja pemerintah. Pemilu serentak akan mempengaruhi komitmen penguatan partai politik dalam koalisi permanen untuk memperkuat basis kekuatan mereka di lembaga-lembaga negara yang tinggi sehingga dengan Pemilu Serentak diharapkan bisa memfasilitasi pembenahan Sistem Presidensial di Indonesia (Ratnia Sholihah, 2018:73).

Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 masih menimbulkan berbagai permasalahan yang harus segera dievaluasi untuk memperbaiki kualitas Pemilu di Indonesia ke depannya. diantaranya adalah terkait rumitnya pelaksanaan Pemilu Serentak 2019, sehingga berdampak pada banyaknya korban jiwa yang berjatuhan, panjang dan lama proses penyelengggaraan Pemilu Serentak 2019, serta kerumitan dalam rekapitulasi hasil Pemilu.

Refleksi Pemilu 2019: Harapan dan Realitas

Indonesia telah melaksanakan Pemilihan Umum Serentak Pileg dan Pilpres untuk pertama kalinya pada tanggal 17 April 2019. Sebagaimana amanat dan pertimbangan-pertimbangan yang telah disebutkan dalam Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 yang mendasari Pemilu Serentak 2019, bahwa ada harapan, dengan Pemilu Serentak dapat mewujudkan Pemilu Sederhana dan Biaya murah serta Pemerintahan yang lebih sehat serta demokratis. Akan tetapi, pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 malah memunculkan berbagai catatan yang harus diperbaiki dalam pelaksanaan sistem Pemilu ke depan.

Pemilu serentak 2019 masih meninggalkan berbagai macam catatan yang harus diperbaiki. Banyaknya kasus petugas KPPS yang sakit dan meninggal dunia baik dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), maupun personel Polri merupakan dampak dari proses Pemilu yang 2019 yang rumit dan  melelahkan. Dari data yang ada petugas KPPS yang meninggal mencapai 554 orang, baik dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), maupun personel Polri.  Jumlah tersebut belum termasuk dengan jumlah petugas yang sakit sebanyak 3778 orang (cnnindonesia.com, 7 Mei 2019). Banyaknya petugas yang menjadi korban kemudian menimbulkan dugaan bahwa petugas terlalu lelah dalam melaksanakan seluruh proses Pemilu 2019 terutama pada tahap rekapitulasi suara. Karena berdasarkan penjelasan Komisioner KPU RI, pemungutan suara harus sudah selesai  pada  hari yang sama dengan hari pemungutan suara hingga pukul 24.00 waktu setempat, dan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi jika  penghitungan  suara belum selesai hingga pukul 24.00, maka  dilanjutkan  tanpa jeda. Oleh karena itu, Sistem Pemilu Serentak ini menyebabkan kelelahan yang luar biasa pada penyelenggara Pemilu di tingkat bawah. (nasional.kompas.com, 23 April 2019).

Banyaknya korban dari penyelenggara Pemilu 2019 baik yang meninggal maupun yang sakit merupakan dampak dari beratnya beban yang ditanggung oleh KPU. Hal ini terlihat bahwa KPU harus menyiapkan perangkat penyelenggara Pemilu 2019 mulai dari KPU Pusat, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, Bawaslu dan Panwaslu, Panwascam sejumlah 5,61 juta orang. KPU juga harus mendistribusikan sekitar 700 juta surat suara, 4,65 juta kotak surat suara di 813.350 TPS. Selain beban fisik tersebut KPU juga harus membuat peraturan KPU yang menjadi landasan bagi setiap kegiatan teknis Penyelenggaraan Pemilu di TPS-TPS sampai pada rekapitulasi di tingkat KPU Pusat. Semua beban di KPU menjadikan Pemilu 2019 menjadi semakin kompleks.

Berdasarkan penelitian dari lembaga Indonesia Institute menyatakan bahwa Pemilu Serentak 2019 di Indonesia merupakan Pemilu yang paling rumit di dunia, melebihi rumitnya Pemilu 2019 di India atau Afrika Selatan. Rumitnya sistem Pemilu di Indonesia ditunjukkan dengan proses yang panjang mulai tahap pendaftaran peserta, verifikasi berkas peserta, sampai pada tahap kampanye yang memakan waktu hingga 8 bulan. Selain itu, terkait Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang banyak masalah, para pemilih yang harus mencoblos lima surat suara, pelaksanaan perhitungan suara yang panjang sehingga banyak memakan korban jiwa dari pihak PPS dan PPK serta masih lemahnya sistem pengawasan terhadap pelanggaran-pelanggaran Pemilu merupakan hal yang harus dievaluasi dari pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 di Indonesia. Padahal, harapan dengan diadakannya Pemilu Serentak dengan menggabungkan waktu pelaksanaan Pileg dan Pilpres akan memudahkan dan menyederhanakan proses Pemilu di Indonesia. Pemilu yang mudah dan sederhana ini akan meningkatkan partisipasi politik masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Tingginya tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilu ini akan mewujudkan Pemerintahan yang legitimate.

Di sisi lain, argumen-argumen yang menjadi pertimbangan dalam melaksanaan Pemilu Serentak 2019 ternyata tidak sesuai dengan harapan. Misalnya saja, dalam pertimbangannya Pelaksanaan Pemilu Serentak akan dapat menghemat anggaran penyelenggaraan Pemilu sampai 40 persen dari pada penyelenggaraan Pemilu yang terpisah. Namun faktanya, biaya pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 menghabiskan dana sebesar 24,8 triliun rupiah atau lebih mahal 700 milyar rupiah dari pada pelaksanaan Pemilu 2014 yang menghabiskan biaya sebanyak 24,1 triliun rupiah (www.kpu.go.id). Pemilu Serentak 2019 juga belum dapat meminimalisir biaya Politik yang dikeluarkan oleh Peserta Pemilu. Tingginya biaya politik ini ditunjukkan dengan masih masifnya politik uang yang terjadi selama pelaksanaan Pemilu Serentak 2019.

Harapan lain, dengan pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 adalah terwujudnya kestabilan dan kondisifitas kehidupan politik masyarakat, mengurangi konflik dalam masyarakat serta dapat memperkuat sistem presidensial. Akan tetapi pada realitanya, setelah pelaksanaan Pemilu Serentak 2019, kehidupan politik masyarakat menjadi tidak kondusif akibat adanya polarisasi dalam masyarakat – muncul istilah cebong dan kampret – yang memicu kegaduhan di media sosial  dan masyarakat. Kegaduhan tersebut memunculkan rasa saling curiga terhadap proses pelaksanaan Pemilu yang dianggap curang atau tidak netral yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu (KPU).

Dalam pelaksanaan Pemilu Serentak 2019, perubahan sistem Pemilu dari Pemilu bertahap menjadi Pemilu Serentak membawa dampak teknis bagi penyelenggaraan pemilu. Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 membutuhkan energi yang besar dari para penyelenggara pemilu.  Rentang waktu persiapan penyelenggaraan pemilu menjadi lebih panjang. Aspek teknis penyelenggaraan pemilu menjadi lebih rumit serta logistik pemilu menjadi lebih banyak. Hal ini, menyebabkan harapan-harapan terkait pelaksanaan Pemilu serentak 2019 dapat menghemat biaya dan lebih mudah dilaksanakan malah menjadi paradoks dengan banyaknya permasalahan Pemilu Serentak 2019. Pelaksanaan Pemilu Serentak juga belum tentu akan berdampak positif terhadap penguatan sistem presidensial multipartai seperti di Indonesia. Karena dengan sistem pemerintahan ceck and balances yang dianut di Indonesia posisi parlemen juga masih sangat kuat dengan adanya sistem koalisi antar partai dalam parlemen. Hal ini dapat menjadikan posisi parlemen (DPR) bisa sangat kuat dari pada Presiden apabila mayoritas koalisi di parlemen tidak mendukung kebijakan dari presiden (D. Hanan, 2016).

SDM Pemilu 2019

Selain untuk mencerminkan kedaulatan rakyat, pelaksanaan Pemilu merupakan sarana bagi rakyat dalam menyalurkan hak asasi manusia yang sangat prinsipil yakni hak politik. Oleh karenanya, dalam rangka menjamin hak asasi itu, maka pemerintah wajib menyelenggarakan Pemilu yang jujur, adil, bebas dan berkepastian hukum baik bagi peserta Pemilu maupun pemilih sebagai sebuah perwujudan kehidupan yang demokratis. Pelaksanaan sistem Pemilu harus dilaksanakan oleh SDM yang berkualitas, berintegritas dan mumpuni.

Sepanjang sejarah, Pemilu Serentak 2019 adalah Pemilu dengan jumlah badan adhoc terbanyak, dikarenakan adanya perubahan jumlah pemilih yang awalnya 500 menjadi maksimal 300 pemilih per TPS. Di KPU Kabupaten Demak sendiri ada sebanyak 37.756 SDM badan adhoc yang bertugas di 14 Kecamatan, 249 Desa/Kelurahan dan 3.615 Tempat Pemungutan Suara (TPS). Dari jumlah tersebut 70 diantaranya Anggota PPK, 42 sekretariat PPK, 747 Anggota PPS, 747 Sekretariat PPS, 3.615 Petugas Pemutakhiran Data Pemilih, 25.305 KPPS di 3.615 TPS dan 7.230 Petugas Ketertiban TPS.

Dalam perjalanannya banyak dinamika yang mewarnai pembentukan badan adhoc pada Pemilihan Umum Kabupaten Demak Tahun 2019, salah satunya adalah pengunduruan diri. Untuk data Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yang melakukan Penggantian Antarwaktu sebanyak 5 (lima) orang. Di tingkat Panitia Pemungutan suara (PPS) sebanyak 35 orang dan di tingkat Sekretaris dan Staf Sekretariat PPK sebanyak 4 orang.

Pahlawan Demokrasi

Pemilu 2019 meninggalkan banyak cerita dan juga luka. Di Kabupaten Demak petugas badan adhoc yang meninggal dunia sebanyak 7 orang dan 20 orang yang sakit. Adapun faktor yang menyebabkan badan adhoc meninggal ataupun sakit, diantaranya adalah Pemilu dan Pilpres pada Tahun 2019 digelar secara serentak untuk memilih Presiden, DPR, DPRD, dan DPD. Hal ini berpengaruh pada tenaga, waktu, hingga pikiran serta beban badan adhoc. Walaupun honor yang diterima sama saja dengan beban pekerjaan lebih banyak.

Selain itu, realilitas Badan adhoc yang bekerja selama tahapan Pemilu saja membuat mereka belum memahami sistem kerja learning by doing, belum lagi terkait periodesasi badan adhoc yang tidak membolehkan mereka yang sudah 2 periode mengikuti atau mendaftarkan diri.

Dengan beban kerja yang berat dan jam kerja yang tidak rasional banyak badan adhoc yang memilih mengundurkan diri. Banyak pula yang memilih menjadi tim pemenangan salah satu paslon atau caleg.

Di Kabupaten Demak sendiri, pada saat Pemilu Serentak 2019 melakukan fasilitasi antara petugas badan adhoc dengan BPJS Ketenagakerjaan untuk bekerjasama dalam keikutsertaan keanggotaan BPJS Ketenagakerjaan dengan iuran mandiri oleh badan adhoc. Hal tersebut merupakan bagian ihtiar yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Demak mengingat beban kerja atau resiko saat Pemilu Serentak 2019 yang tidak bisa diprediksi. Dan ternyata fakta di lapangan menunjukkan ada 7 (tujuh) petugas demokrasi yang meninggal dunia dan 20 (dua puluh) yang mengalami sakit dan lain-lain. Melalui BPJS Ketenagakerjaan petugas badan adhoc yang meninggal mendapatkan santunan kematian sebesar 24 Juta Rupiah dan petugas yang kecelakaan mendapatkan santuan kecelakaan. Adapun besarannya variatif. Perlu diketahui bahwa KPU Kabupaten Demak merupakan satu-satunya KPU di Indonesia yang melakukan fasilitasi kerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan.

Selain santunan BPJS Ketenagakerjaan, petugas badan adhoc yang meninggal mendapatkan santunan dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Jawa Tengah sebesar 10 Juta Rupiah yang diserahkan langsung oleh Gubernur Jawa Tengah Bapak Ganjar Pranowo di kantor Gubernur Provinsi Jawa Tengah Jl. Pahlawan No.9, Mugassari, Kec. Semarang Selatan Kota Semarang, Jawa Tengah.

KPU RI melalui Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 926/KU.03.2-Kpt/05/KPU/IV/2019 tentang Pedoman Teknis Pemberian Santunan Kecelakaan Kerja Bagi Anggota dan Sekretariat Panitia Pemilihan Kecamatan, Sekretariat Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, Sekretariat Panitia Pemungutan Suara, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, dan Petugas Ketertiban Tempat Pemungutan Suara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2019, juga memberikan santunan kepada badan adhoc. Di Kabupaten Demak sendiri dari 20 (dua puluh) orang yang sakit dan 7 (tujuh) orang yang meninggal hanya 6 orang yang mendapatkan santunan dengan alasan sakit. Melalui Keputusan Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 471/KU.03.2-Kpt/05/SJ/VIII/2019, 6 (enam) petugas badan adhoc yang mendapatkan santunan adalah Suryo Warsito (KPPS), Asih Priyati (KPPS), Irwanto (KPPS), Yolanda Aprilia Savitri (PPS), Abdur Rouf (PPS) dan Sri Surati (KPPS).

Dari data tersebut banyak sekali badan adhoc yang tidak mendapatkan snatunan merasa kecewa mengingat proses untuk mendapatkan santunan dari KPU RI sangat rijit dan rumit. Bahkan, badan adhoc di tingkat PPK dan PPS menjadi bulan-bulanan atau tempat pelampiasan kekecewaan dan kekesalan. Ahli waris atau korban mempertanyakan komitmen dari KPU terkait santunan tersebut. Mereka merasa di-PHP atau diberikan janji kosong.

Harapannya di Pemilu atau Pilkada mendatang KPU RI bisa lebih prepare atau memberikan sosialisasi yang lebih masiv kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota mengenai santunan. Mengingat ketika proses tahapan identifikasi, penentuan dan pemberian santunan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota tidak bisa mengakses bagaimana proses, alasan kenapa badan adhoc yang sudah mengajukan tidak mendapatkan dan sejauh mana perkembangannya. Ini menjadikan kebingungan yang luar biasa dikarenakan KPU Kabupaten/Kota menjadi tempat bertanya, mencari atau mengakses informasi oleh masyarakat, korban atau ahli waris yang meninggal.

KPU Kabupaten Demak sangat menghargai dan memberikan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada badan adhoc atas dedikasi, perjuangan, pengorbanan dan keihlasan terlebih kepada pahlawan demokrasi yang gugur di saat bertugas. Santunan tersebut tidak mampu menggantikan atas apa yang sudah mereka berikan kepada demokrasi kita, akan tetapi semoga bisa menjadi pengobat dan rasa terimakasih KPU Kabupaten Demak kepada petugas badan adhoc.

Kesuksesan Badan adhoc

Pemilu Serentak 2019 di Kabupaten Demak telah berakhir dengan ditandai penetapan hasil rekapitulasi perolehan dan penghitungan suara oleh KPU Kabupaten Demak pada hari Senin, tanggal 22 Juli 2019 di Hotel Amantis Demak.

Beberapa catatan yang bisa diambil adalah tingkat partisipasi pemilih khusus di Kabupaten Demak meningkat melebihi target yang ditetapkan oleh KPU RI (77,5 %) disemua tingkat Pemilihan yaitu 82,45% untuk partisipasi pemilih di tingkat Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI 83,38%, DPD 83,43%, DPRD Provinsi 83,39% dan DPRD Kabupaten 83,36%.

Tingkat Partisipasi Pemilih yang meningkat ini bisa terwujud karena adanya kerjakeras dan kerjasama berbagai pihak baik penyelenggara pemilu, peserta pemilu, stakeholder, dan masyarakat. Dan khususnya dari badan adhoc. Berkat kerja keras seluruh pihak dan juga badan adhoc yang ada di Kabupaten Demak, Pemilu Serentak 2019 berjalan lancar tanpa adanya gugatan. Ini merupakan prestasi yang luar biasa mengingat Pemilu 2019 adalah Pemilu Serentak yang dilakukan pertama kali di Indonesia. Dengan berbagai dinamika yang terjadi.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 68 Kali.