Opini

82

Emansipasi di Era Digital: Katalisasi Kodrat Perempuan Untuk Kedaulatan Bangsa

Siti Ulfaati, M.S.I Ketua KPU Kabupaten Demak   Seiring dengan berkembangnya zaman, manusia telah memasuki era digital dimana penyampaian informasi bisa terjadi dalam hitungan detik tanpa memperhitungkan jarak dan waktu. Hal ini tentunya sangat membantu kehidupan manusia dalam memecahkan berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari yang semakin kompleks, khususnya bagi kaum perempuan yang seringkali dianggap sebagai warganegara kelas dua dibawah laki-laki. Ketika menelisik kembali masa lampau pada tahun 1903, kita bisa membayangkan sendiri bagaimana perjuangan R.A Kartini untuk bisa menyampaikan informasi kepada kaum perempuan sangatlah berat. Berangkat dari keprihatinannya dari nasib perempuan yang seringkali hanya menjadi pelengkap di rumah tangga tanpa bisa mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan, Kartini bersusah payah untuk mendirikan sekolah di rumahnya, kemudian mencoba mengumpulkan kaum perempuan di wilayahnya untuk mendapat pendidikan dasar seperti membaca, menulis dan berhitung. Untuk bisa melakukan hal tersebut tentunya berulangkali dia harus meyakinkan kaum lelaki agar mengijinkan istri dan anaknya untuk bisa sekolah. Dengan berkembangnya teknologi, sekarang sistem pendidikan sudah tersebar hingga sampai ke pelosok desa, kaum perempuan sudah tidak dibatasi lagi untuk bisa mengenyam pendidikan. Atas nama emansipasi, perempuan bisa menentukan masa depannya sendiri di berbagai bidang. Negara pun sudah menjamin kesempatan yang sama bagi perempuan untuk memperoleh penghidupan yang layak dan berserikat sesuai dengan keinginannya, dengan memanfaatkan kemajuan era digital, penyampaian informasi tentang emansipasi menyebar tak terbendung ke semua lapisan masyarakat. Di era digital ini, peran perempuan memang tidak bisa dianggap remeh karena mempunyai karakteristik yang unik dibanding dengan lelaki, study yang dilakukan oleh Universitas California pada tahun 2022 dengan judul “Gender Differences in Cognitive Load and Digital Task Switching” menjelaskan bahwa perempuan lebih bisa melakukan kerja hybrid dengan metode multitasking untuk melakukan berbagai macam pekerjaan dalam waktu yang bersamaan, sehingga hal tersebut bisa menghemat waktu, tenaga serta biaya. Begitu juga dalam menjalankan kepemimpinan, perempuan dianggap bisa lebih berkolaborasi dan berkomunikasi secara efektif dengan rekan kerja maupun bawahannya daripada laki-laki yang cenderung menampilkan sifat kompetitif dan hierarkis, sehingga perempuan bisa menjadi jembatan dalam membangun konsensus dan menyatukan perspektif (McKinsey & Company, 2022, Women in Leadership: Inclusive Styles and Digital Impact). Hal ini menjadi pengejawantahan dalam budaya modern dimana permasalahan yang timbul akan semakin banyak dan kompleks sehingga dibutuhkan solusi yang cepat dan tepat tanpa menimbulkan perpecahan yang berlarut-larut. Kesadaran akan nasib kaumnya menjadi ikatan yang kuat bagi kaum perempuan, ikatan emosional akan lebih cepat terbangun jika membicarakan tentang emansipasi di era digital. Studi dari Pew Research Center tahun 2023 dengan judul Social Media Use by Gender menjabarkan, dalam membangun komunikasi, perempuan lebih banyak membangun koneksi dengan ikatan emosional dan dukungan sosial daripada laki-laki yang memakai pendekatan informatif atau professional. Hal ini menyebabkan kesadaran nasib akan menjadi lebih kuat jika menyangkut tentang emansipasi walaupun informasi yang didapatkan belum tentu benar. Pertanyaannya sekarang adalah, dengan semakin majunya era digital yang tanpa batas, sampai sejauh mana kaum perempuan bisa mengelaborasikan hal tersebut dengan perjuangan emansipasi yang telah dirintis oleh R.A Kartini? Katalisasi Kodrat Perempuan Jawabannya adalah, karena perempuan mempunyai sifat dan karakteristik yang khusus, mereka akan terus bisa memperjuangkan gerakan emansipasi sampai kapanpun dengan memanfaatkan era digitalisasi, tetapi yang harus menjadi pedoman bahwa digitalisasi juga mempunyai ‘sisi gelap’ yang harus diwaspadai, jangan sampai apa yang telah dicita-citakan R.A Kartini untuk membawa kaumnya terlepas dari belenggu sistem patrilineal malah membawa perempuan ke sistem belenggu baru bernama digitalisasi. Seperti yang sudah diutarakan diatas bahwa dengan berkembangnya era digitalisasi, penyampaian informasi hanya membutuhkan waktu beberapa detik untuk sampai kepada penerima, jika perempuan memainkan perannya tanpa landasan yang kuat, mereka akan berubah fungsi dari subyek digitalisasi menjadi obyek digitalisasi. Atas nama perkembangan digitalisasi, perempuan menjadi sumber yang bisa dieksploitasi, contohnya bisa lihat di banyaknya jejaring sosial dimana perempuan terbuai oleh sistem digitalisasi. Dalih kebebasan berekspresi ternyata malah membuat mereka tereksploitasi secara fisik dan pemikiran sehingga acapkali melanggar norma dan etika Karena itulah, agar gerakan emansipasi tidak melenceng seperti yang dicita-citakan R.A Kartini, perempuan jangan sampai melupakan kodratnya. Dengan titik tekan bahwa perkembangan zaman tidak menghilangkan kodrat tersebut, tetapi mengkatalisasi agar bisa berjalanan beriringan dengan era digital. Kodrat sebagai fitrah alamiah yang melekat kepada perempuan semenjak lahir juga merupakan bagian dari penjaga harkat martabat gerakan feminisme yang sangat dibutuhkan bangsa dan negara untuk menjadi maju, untuk menciptakan generasi mendatang yang tangguh diperlukan peran perempuan untuk menjadi seorang ibu yang penuh kasih sayang, mendidik anak-anak yang telah dilahirkan agar menjadi sosok pribadi yang berbudi pekerti dan bertanggungjawab. Katalisasi kodrat disini adalah bagaimana mengajari anak mereka agar bisa memanfaatkan perkembangan digital untuk keajuan bangsa dan negara, lewat peran seorang ibu, ilmu pengetahuan akan terus diwariskan kepada generasi mendatang, karena itulah peran seorang perempuan tidak hanya lagi terbatas pada urusan rumah tangga, tetapi sudah berkembang pesat melampaui zamannya. Peran perempuan sebagai ibu dan istri yang hanya dijadikan bahan eksploitasi pada zaman R.A Kartini sudah mengalami perluasan karena mereka juga mendidik generasi yang beradab, generasi yang melek era digital dengan segala macam problematikanya. Hal inilah yang membuat mereka dimuliakan agar bisa mendapatkan argumentasi ketika menyampaikan pemikirannya kepada orang lain, sehingga. Gerakan feminisme menjadi lebih komprehensif ketika tidak hanya disampaikan lewat kata-kata semata, tetapi lewat pembuktian kepada keluarganya. Husein Muhammad dalam Islam Agama Ramah Perempuan tahun 2005 mengatakan bahwa kodrat bukan membatasi aktivitas perempuan, tetapi lebih kepada penghargaan kepada mereka untuk terus memperjuangkan nasibnya, karena itulah perempuan juga harus mencari ilmu untuk mewujudkan kemandirian agar bisa berkontribusi kepada masyarakat. Kodrat sebagai sifat alamiah akan selalu menjadi pedoman kaum perempuan jika mereka tidak ingin terjebak dalam ‘sisi gelap’ digitalisme. Perjuangan R.A Kartini dalam mendidik kaumnya dengan cara sederhana dengan segala keterbatasan harus bisa lebih dikembangkan oleh kaum perempuan dengan memanfaatkan sebaik mungkin era digitalisasi tanpa harus melupakan kodratnya jika ingin mewujudkan kedaulatan bangsa dan negara. Akhirnya selamat hari Kartini, Maju terus perempuan-perempuan Indonesia. Bangga dan percayalah pada diri kalian sendiri dengan berbagai sifat dan karakteristik yang muncul semenjak lahir. Karena sesungguhnya nasib generasi mendatang berada dalam belaian kasih sayang yang muncul dari kodrat kalian.


Selengkapnya
95

Kartini: Inspirasi bagi Wanita Indonesia untuk Berani Bermimpi

Siti Ulfaati, S.Pd.I,. M.S.I (Ketua KPU Kabupaten Demak 2023-2028)   Raden Ajeng Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, dalam bangsawan Jawa yang konservatif. Setelah menikah dengan R.A. Joyodiningrat yang merupakan Bupati Rembang pada usia 24 tahun namanya menjadi Raden Ayu Kartini. Ia berasal dari keluarga ningrat, tepatnya dari keluarga Bupati Jepara. Ayahnya bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang bangsawan Jawa dari keturunan ningrat dan Ibunya bernama M.A. Ngasirah. Meski terlahir dari kalangan priyayi, Kartini tidak serta-merta menikmati kebebasan. Justru sebaliknya, ia mengalami berbagai pembatasan yang dikenakan pada perempuan kala itu, termasuk larangan melanjutkan sekolah setelah usia tertentu dan pengurungan dalam masa pingitan. Namun, keterbatasan tidak memadamkan semangat belajarnya. R.A Kartini bukan hanya memikirkan nasib perempuan, tetapi juga kondisi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Ia menolak penindasan, kebodohan, dan ketidakadilan. Ia bermimpi tentang Indonesia yang bebas, setara, dan beradab. Kartini adalah sosok yang menginspirasi perempuan Indonesia untuk berani bermimpi dan mewujudkan cita-cita, harapan dalam gelap, dan suara yang tak pernah padam meski terlahir di masa yang membungkam perempuan. Melalui pemikirannya yang dituangkan dalam surat-suratnya, Kartini memperjuangkan kesetaraan hak perempuan, terutama dalam bidang pendidikan. Ia percaya bahwa perempuan memiliki potensi besar untuk berkembang dan berkontribusi bagi bangsa. Ia menunjukkan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari keberanian untuk berpikir dan menyuarakan pendapat. Meski hidup dalam kungkungan adat, Kartini memilih untuk melawan dengan pena, dengan gagasan. Kartini mengajarkan bahwa perempuan harus berani bermimipi, menjadi inspirasi, penggerak perubahan. Ia terus hidup dalam semangat perempuan-perempuan Indonesia. Seperti yang dikatakan dalam salah satu kutipan, "Jadilah perempuan yang tidak hanya berani bermimpi, tetapi juga berani mengambil langkah nyata". Berani Bermimpi Berani bermimpi berarti berani melawan rasa takut, ketidaksetaraan, dan stereotip (perempuan yang dianggap konco wingking yang memiliki tugas macak, masak, manak). Dan dalam konteks ini, Kartini tetap menjadi inspirasi yang tak lekang oleh waktu. Sebab dari Bangsawan Jawa yang konservatif adalah sebutan bagi golongan ningrat (bangsawan) di masyarakat Jawa yang sangat memegang teguh nilai-nilai tradisi, adat istiadat, dan norma budaya lama, terutama yang bersifat patriarkal dan hierarkis. Bangsawan Jawa adalah kelompok elit atau kelas atas dalam masyarakat Jawa yang berasal dari keturunan keluarga kerajaan atau pejabat tinggi, seperti bupati, adipati, atau sultan. Mereka memiliki Status sosial tinggi, Pengaruh dalam pemerintahan lokal, Akses terhadap pendidikan & kekuasaan, tetapi sering terbatas pada laki-laki. Sedangkan onservatif artinya berpegang pada nilai-nilai lama dan cenderung menolak perubahan, khususnya dalam hal peran gender (perempuan harus di rumah), sistem pendidikan terbatas untuk Perempuan dan pelestarian adat seperti pingitan atau perjodohan mimpinya yang sederhana untuk perempuan bisa belajar dan berpikir bebas lahir gelombang harapan baru bagi perempuan Indonesia Perjuangan masih belum usai. Masih banyak perempuan di berbagai pelosok negeri ini (Indonesia) yang belum mendapatkan akses pendidikan atau terjebak dalam budaya yang membatasi pilihan hidup mereka. Di sinilah semangat Kartini harus terus disuarakan: bukan sekadar diperingati setiap 21 April, tetapi dijadikan energi untuk terus mendorong perubahan nyata, menjadi obor bagi perempuan Indonesia untuk melangkah maju. Kartini Masa Kini Istilah "Kartini Masa Kini" adalah bentuk penghargaan dan simbolisme terhadap peran perempuan Indonesia dalam memperjuangkan kesetaraan, keadilan, dan keterlibatan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sosok perempuan yang inspiratif dan memiliki kontribusi besar dalam ranah sosial, politik, dan budaya. Kartini Masa Kini adalah perempuan-perempuan Indonesia yang melanjutkan semangat dan perjuangan R.A. Kartini dalam memperjuangkan kesetaraan gender, pendidikan, dan hak perempuan. Namun, perjuangan mereka tidak hanya terbatas pada pendidikan, tapi juga harus mengambil peran penting di berbagai lini kehidupan misalnya dunia politik, kesehatan, teknologi, kewirausahaan, dan sosial kemanusiaan. Perempuan yang berpendidikan dan berpikiran terbuka, mandiri secara ekonomi dan emosional, berperan aktif dalam komunitas atau organisasi, menginspirasi perubahan positif di lingkungan sekitar dan tentunya menjunjung nilai-nilai budaya dan keluarga. Hari Kartini menjadi momentum yang sangat penting bagi kaum Perempuan untuk terus memupuk keberanian dalam meraih mimpi dan menunjukkan peran penting di tengah masyarakat. Semangat ini terus menjadi sumber motivasi bagi perempuan masa kini untuk berkembang, berani berpendapat, dan menjadi agen perubahan yang membawa dampak positif. Di era arus modernisasi dan globalisasi yang diwarnai dengan persaingan, perempuan harus aktif dalam partai politik, parlemen, atau organisasi lainnya, menjadi bagian pembuat kebijakan atau advokat bagi isu-isu sosial, menyuarakan keadilan, kesetaraan, dan hak asasi manusia, berani melawan ketidakadilan, korupsi, dan diskriminasi dan menjunjung tinggi nilai demokrasi dan keberagaman. Sudah banyak contoh Tokoh Kartini Masa Kini misalnya saja Megawati Soekarnoputri yang merupakan presiden perempuan pertama dalam sejarah Indonesia yang menembus dominasi politik laki-laki di level tertinggi. Puan Maharani, perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI sepanjang sejarah Indonesia yang juga menjadi simbol perempuan yang mampu bertahan dan bersinar di dunia politik yang kompetitif. Sri Mulyani Indrawati selaku Menteri Keuangan RI yang merupakan simbol perempuan profesional dan intelektual. Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur yang aktif memperjuangkan hak perempuan dan anak. Najwa Shihab, perempuan muda, seorang Jurnalis yang berfikir kritis, partisipatif, vokal menyuarakan isu sosial dan politik. Menggunakan media untuk menyuarakan keadilan, demokrasi, dan edukasi publik. Dan masih banyak lagi contoh Perempuan hebat di Indonesia yang berkarya dan berjuang sesuai dengan keahliannya. Di Pemilu 2024 (Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota) yang di helat Rabu 14 Februari menjadi momentum yang snagat penting bagi perempuan Indonesia untuk meneladani semangat R.A Kartini dalam memperjuangkan kesetaraan dan hak perempuan untuk berpendidikan serta berpartisipasi dalam kehidupan publik. Semangat ini relevan dalam konteks demokrasi modern, di mana partisipasi aktif perempuan sangat dibutuhkan. Dalam konteks demokrasi modern Perempuan bisa menjadi penyelenggara pemilu KPU, Bawaslu atau DKPP. Perempuan juga bisa berperan sebagai kontestan politik. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa perempuan Indonesia semakin percaya diri dan aktif dalam mengambil peran kepemimpinan, membuktikan bahwa mereka bukan hanya "konco wingking" tetapi juga pemimpin yang kompeten yang bisa mengambil kebijakan. Dalam Pasal 28I Ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa "setiap orang bersamaan kedudukannya di depan hukum dan dalam masyarakat, berhak atas perlindungan diri dan kekayaan, hak atas pekerjaan yang layak dan hak atas penghidupan yang baik bagi kemanusiaan”. Pasal tersebut mengandung makna bahwa setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di depan hukum dan dalam masyarakat. Dalam konteks afirmative action, hal ini dapat diartikan sebagai hak setiap orang untuk memperoleh perlakuan yang sama dalam hal akses dan kesempatan, termasuk di antaranya dalam hal akses dan kesempatan politik. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menetapkan bahwa partai politik wajib mencalonkan minimal 30% perempuan dalam daftar calon legislatif (caleg). Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong kesetaraan gender dan memperkuat representasi perempuan dalam lembaga legislatif. Dari data KPU RI yang direlease bahwa jumlah Caleg Perempuan bahwa dari total 10.323 bakal caleg DPR RI, sebanyak 3.896 atau sekitar 37,7% adalah Perempuan. Sedangkan Hasil Pemilu, dari 580 kursi DPR RI, hanya 128 kursi atau sekitar 22,1% yang berhasil diraih oleh Perempuan. Pada Pemilu Legislatif Kabupaten Demak ada 519 Daftar Calon Tetap (DCT) yang tersebar di 5 Dapil, 249 Desa, 14 Kecamatan dengan Jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) 896.901 orang dengan rincian laki-laki 448.962 perempuan 447.939 dan 3.658 Tempat pemungutan suara (TPS). Dari jumlah DCT tersebut jumlah caleg laki- laki 308 dan perempuan 211. Ironisnya dari jumlah DCT Perempuan yang lebih dari 50 persen dan dari 50 Kursi DPRD ternyata hanya diwakili oleh 5 (lima) perempuan yang terpilih untuk periode 2024–2029 atau sekitar 10 persen dari kursi yang ada. Padahal dari jumlah DPT perempuan dan lelaki relatif berimbang. Pada pemilu 2024, walaupun dalam prakteknya, afirmative action dengan konteks emansipasi politik perempuan telah diimplementasikan melalui berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan, seperti kuota perempuan dalam pemilihan umum atau pemberian dukungan finansial dan teknis bagi perempuan yang ingin terlibat dalam politik nyata. Hal ini tentunya masih jauh dari kuota keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen yang diamanahkan dalam Undang-Undang untuk bisa mempengaruhi kebijakan publik. Fenomena semacam inilah yang menjadi hambatan dan tantangan bagi kaum perempuan di Kabupaten Demak untuk bisa memperjuangkan nasibnya sendiri. implementasi afirmative action dalam pemilu 2024 di Kabupaten Demak menunjukkan bahwa hanya 10 persen caleg perempuan yang melenggang di kursi DPRD, selebihnya didominasi kaum adam. Artinya, perjuangan perempuan di kancah politik masih menghadapi berbagai kendala dan tantangan, seperti keyakinan dan keberanian dalam bersaing, perlawanan dari kelompok konservatif, kebijakan yang belum memadai dan lain sebagainya. Disisi lain dalam Pemilihan Serentak 2024 yang berlangsung pada Rabu, 27 November 2024, KPU Kabupaten Demak menetapkan dua pasangan calon untuk berlaga, berkompetisi mendapatkan dukungan suara rakyat yaitu no 1 Edi Sayudi, S.T., M.H., dan Drs. H. Eko Pringgolaksito, M.Si., dan no 2 dr. Hj. Eisti’anah S.E., dan Muhammad Badruddin M.Pd. Adapun pasangan Eisti'anah dan Muhammad Badruddin (Gus Bad) berhasil meraih kemenangan yang ditetapkan pada 9 Januari 2025 dengan perolehan 353.209 suara atau sekitar 54,33% dari total suara sah mengalahkan rivalnya paslon no 1 dengan perolehan suara 296.948 suara​. Pada Pilkada 2024 di Jawa Tengah, tercatat sebanyak 20 perempuan berhasil memenangkan kontestasi politik di tingkat kabupaten/kota. 9 perempuan terpilih sebagai Bupati atau Wali kota, sementara 11 lainnya menjabat sebagai Wakil Bupati atau Wakil Wali Kota. Kemenangan para perempuan ini mencerminkan peningkatan partisipasi dan representasi perempuan dalam politik lokal di Jawa Tengah. Meskipun demikian, jumlah ini masih menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan dalam posisi kepala daerah belum mencapai proporsi yang seimbang, mengingat total jumlah kabupaten/kota di Jawa Tengah adalah 35. Kemenangan perempuan dalam Pilkada merupakan fakta penting yang menunjukkan kemajuan kesetaraan gender dan perubahan persepsi publik terhadap kepemimpinan Perempuan serta menunjukkan sistem demokrasi Indonesia mulai memberi ruang lebih luas bagi perempuan untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan. Tantangan dan Harapan Meski kemajuan sudah dicapai, perjuangan belum selesai dan tantangan tetap ada. Perempuan masih menghadapi patriarki yang masih mengakar, keterbatasan akses di wilayah terpencil, stereotip yang membatasi peran Perempuan, diskriminasi, kekerasan, dan minimnya representasi di tingkat pengambilan keputusan. Namun dengan semangat Kartini yang diwariskan, serta keberanian ala Srikandi, harapan akan kesetaraan dan keadilan bisa terus dijaga. Dukungan terhadap keterlibatan perempuan di semua lini harus menjadi agenda bersama. Bukan hanya demi keadilan gender, tetapi juga demi kemajuan bangsa yang inklusif dan beradab. Demokrasi memberikan ruang bagi setiap warga negara, tanpa memandang jenis kelamin, untuk terlibat dalam pengambilan keputusan publik Oleh karena itu, demokrasi harus terus diperkuat dengan menjamin inklusivitas dan keberpihakan terhadap kelompok rentan, termasuk perempuan. Di luar politik formal, Kartini masa kini bisa bergerak, menyuarakan aspirasinya melalui berbagai platform media sosial, komunitas, dan organisasi masyarakat. Menyakinkan diri sendiri bahwa sebagai perempuan bukanlah keterbatasan, tapi kekuatan. Suara perempuan pantas untuk didengar, ide-ide perempuan layak untuk diperhitungkan, dan mimpi perempuan tidak kalah besar dibanding siapa pun. Dengan keyakinan diri dan kekuatan jejaring, perempuan tidak hanya bisa bermimpi, tapi juga bisa menciptakan perubahan. Maka, jangan ragu untuk memulai dari diri sendiri. Yakini dirimu, bangun koneksi, dan mari bergerak bersama. Selamat Hari Kartini. Bangga Jadi Perempuan Indonesia.  


Selengkapnya
468

PATRIARKI POLITIK KARTINI

oleh Siti Ulfaati, Anggota KPU Kabupaten Demak Sudah 119 tahun sejak R.A Kartini meninggal dunia dengan segala ide dan gagasannya. Dalam kurun waktu tersebut perjuangannya tentang emansipasi wanita telah berdiaspora di segala bidang. Hampir di setiap lini kita bisa melihat bahwa wanita mampu mempunyai konsep dan pemikiran berdikari sehingga menduduki jabatan-jabatan strategis. Di dalam pemerintahan tersendiri, sebanyak 6 menteri  dari total 34 menteri dijabat oleh perempuan, yaitu I Gusti Ayu Bintang darmawanti sebagai menteri PPPA, Ida Fauziyah menjabat Menaker, Retno Marsudi sebagai Menteri LN, Siti Nurbaya Bakar menjabat Menteri LH dan Kehutanan, Sri Mulyani sebagai Menkeu dan Tri Rismaharini menjabat Mensos. Sementara itu di bidang legistatif, yaitu DPR RI, dari 575 anggota yang dilantik, 117 orang diwakili oleh perempuan (20,5%). Walaupun belum mencapai jumlah ideal kuota keterwakilan perempuan sebanyak 30% yang diamanatkan dalam UU No 13 tahun 2003, tetapi jumlah tersebut meningkat 22% dari pemilu 2014 dimana 97 orang perempuan yang menduduki parlemen. Kentalnya budaya patriarki politik yang terjadi pada zaman RA. Kartini ternyata  masih menjadi penghambat hingga saat ini walaupun teknologi sudah berkembang pesat. Budaya patriarki selalu berpendapat bahwa perempuan adalah kaum lemah dalam percaturan politik. Mereka sulit memperoleh legitimasi mandiri untuk bisa menghimpun kekuatan. Ranah perempuan selalu diidentikkan dengan urusan domestik sehingga mereka sulit untuk menjalin relasi dengan pihak luar. Jikapun terjadi komunikasi eksternal, peran perempuan tak lebih dari Brand Ambasador untuk media perkenalan kelompok tersebut, sehingga perilaku dan pemikirannya sudah disetting untuk kepentingan kelompok tersebut. Untuk penentu pengambilan keputusan kaum laki-laki masih dominan. Kalau dulu perempuan disimbolkan sebagai kasur, dapur dan sumur maka saat ini mengalami perluasan makna menjadi biologis dan historis. Di dalam diri wanita yang berdikari pasti masyarakat akan menganggap kesuksesan tersebut ada embel-embel berasal dari laki-laki yang mempunyai pengaruh besar, makna peyoratif seringkali menjadi melekat pada perjuangan perempuan tersebut. Megawati Soekarnoputri adalah contoh nyata patriarki politik masih terjadi secara nyata di Indonesia. Perempuan kelahiran 23 Januari 1947 tersebut mempunyai berbagai pengalaman menjadi Presiden Indonesia ke 5 pada tahun 2001-2004, kemudian wakil presiden Indonesia ke 8 pada tahun 1999-2001 dan saat ini menjabat ketua umum partai terbesar di negeri ini, yaitu PDIP sejak tahun 1999. Sungguh bagaimanapun Megawati berjuang sekuat tenaga untuk bisa mencapai posisi tersebut, tetapi masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa tanpa embel-embel Soekarno sebagai founding father, Megawati tidak bisa mencapai berbagai posisi tersebut. Hal ini tentunya menjadi pakem subyektif di masyarakat yang akan menghambat karier perempuan di Indonesia dan tentu saja menjadi semacam stigma negatif bagi Megawati itu sendiri. Hal ini dikarenakan secara biologis, megawati adalah putri pasangan Soekarno dengan Fatmawati merupakan suatu kebetulan karena dia tidak bisa memilih dari rahim mana dia dilahirkan, selain itu politik merupakan pilihan rasional Megawati. Konsistensinya sudah sangat teruji ketika memimpin PDIP selama 24 tahun. Tentunya hal tersebut bukan perkara yang mudah, apalagi ketika orde baru dimana PDI yang dipimpinnya dianggap ‘musuh’ oleh pemerintahan Soeharto selalu berusaha dihilangkan. Puncaknya ketika tanggal 27 Juli 1996 dimana masa yang dipimpin oleh Soerjadi menyerbu sekretariat PDI di jalan diponegoro yang mengakibatkan 5 orang tewas, 149 luka-luka dan 23 orang dinyatakan hilang. Waktu itu keberanian Megawati untuk memimpin PDI walaupun  digempur berbagai pihak merupakan bukti nyata perjuangan perempuan di bidang politik, bukan karena keturunan dari Soekarno Dalam diskursus perjuangan RA. Kartini, dirinya masih menerapkan komunikasi sederhana dengan mengajarkan membaca dan menulis kepada wanita pribumi dengan harapan kelak di kemudian hari mereka bisa mempunyai pemikiran tersendiri, tetapi seiring dengan perkembangan zaman yang semakin komplek dimana berbagai tantangan dan hambatan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin rumit, tentunya budaya-budaya primitif seperti patriarki yang membelenggu kaum perempuan bisa dikikis karena akan menghambat kemajuan bangsa untuk bisa bersaing dengan negara lain. Dalam konsep liberalisme yang saat ini dianut oleh sebagian besar negara-negara di dunia, peradaban sebuah bangsa ditentukan oleh pemikiran-pemikiran yang terhimpun dalam pasar bebas tanpa memandang ciri-ciri fisik. Hal itulah yang seharusnya bisa menjadi contoh nyata untuk dijadikan sebagai poros perjuangan bangsa. Bahkan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia sudah mengatur tentang persamaan hak asasi manusia dalam sila ke 2 yaitu ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’ khususnya pengamalan nomor 2 sila ke 2 yaitu ‘mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya’ Jangan sampai di masa depan, perempuan-perempuan muda kita hanya mengenal emansipasi RA. Kartini hanya sebatas  mata pelajaran sejarah yang wajib dibaca pada saat sekolah dan tanggal 21 April sebagai hari kartini diperingati dengan memakai kebaya semata, karena ketika mereka memasuki usia dewasa dihadapkan dengan budaya patriarki yang masih sangat kental, kita semua harus memaknai bahwa perjuangan RA. Kartini harus mengikuti perkembangan zaman, semakin maju zaman berkembang, semakin banyak pula tantangan yang harus dihadapi kaum perempuan. Saat ini sudah saatnya perempuan diberi ruang tersendiri untuk menentukan nasibnya di bidang politik. Selamat hari Kartini


Selengkapnya
437

MELAMPAUI SPIRIT PERJUANGAN KARTINI

oleh Siti Ulfaati (Anggota KPU Kabupaten Demak)   Sudah mahfum bagi bangsa Indonesia, bahwa setiap tanggal 21 April diperingati sebagai hari Kartini. Sosok Kartini begitu penting – terutama bagi kaum perempuan Indonesia – karena perjuangannya sebagai perempuan dalam meraih kesempatan hak-hak yang sama dengan kaum laki-laki. Paling penting adalah perjuangan Kartini agar kaum perempuan dapat memperoleh akses yang sama dalam bidang pendidikan sebagaimana mudahnya laki-laki mendapatkan pendidikan pada saat itu. Kartini memutuskan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan melalui tulisannya, yang terkenal adalah "Habis Gelap Terbitlah Terang" dan "Surat-surat Kartini". Dalam tulisannya, Kartini mengungkapkan keinginannya untuk membuka akses pendidikan bagi perempuan Indonesia, sehingga mereka dapat belajar dan memperoleh kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam hal pekerjaan dan kesetaraan di dalam masyarakat. Selain itu, Kartini juga memperjuangkan hak perempuan untuk berbicara dan berekspresi secara bebas. Kartini dianggap sebagai tokoh penting dalam sejarah perjuangan perempuan di Indonesia karena gagasannya mengenai pendidikan dan kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki diadopsi oleh banyak orang pada masa itu dan mempengaruhi gerakan emansipasi perempuan di Indonesia. Seiring perkembangan zaman, spirit perjuangan kartini juga meluas dalam bidang politik dengan gerakan emansipasi politik perempuan Indonesia. Mewujudkan Afirmative Action Secara penuh Emansipasi perempuan dalam bidang politik merupakan proses pembebasan dan pemberdayaan perempuan untuk berpartisipasi secara aktif dan merata dalam bidang politik. Hal ini meliputi hak-hak perempuan untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, serta berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik dan pengambilan kebijakan. Di beberapa negara, emansipasi perempuan dalam bidang politik telah terwujud dan perempuan memiliki peran yang sama dengan laki-laki dalam politik. Contohnya, di Negara kawasan Skandinavia seperti Norwegia dan Islandia, perempuan memiliki representasi yang seimbang dengan laki-laki di parlemen dan kabinet pemerintah. Bahkan di beberapa negara, perempuan menjadi kepala negara seperti di Jerman, Taiwan, dan Selandia Baru. Hal ini menunjukkan bahwa emansipasi politik perempuan tidak hanya diwujudkan secara konstitusional dalam peraturan perundang-undangan saja (secara yuridis) akan tetapi juga dapat diwujudkan dalam praktik politik nyata. Di Indonesia sendiri, untuk dapat mewujudkan emansipasi politik perempuan ini telah diakomodir dalam kebijakan yang dikenal dengan affirmative action. Meskipun dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak terdapat ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai afirmative action, akan tetapi pengaturan Pasal 28I Ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa "setiap orang bersamaan kedudukannya di depan hukum dan dalam masyarakat, berhak atas perlindungan diri dan kekayaan, hak atas pekerjaan yang layak dan hak atas penghidupan yang baik bagi kemanusiaan”. Pasal tersebut mengandung makna bahwa setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di depan hukum dan dalam masyarakat. Dalam konteks afirmative action, hal ini dapat diartikan sebagai hak setiap orang untuk memperoleh perlakuan yang sama dalam hal akses dan kesempatan, termasuk di antaranya dalam hal akses dan kesempatan politik Meskipun tidak secara khusus mengatur tentang afirmative action, Pasal 28I Ayat (2) UUD Tahun 1945 dapat diinterpretasikan sebagai landasan konstitusional bagi afirmative action dalam hal emansipasi politik perempuan. Dalam hal ini, afirmative action dapat dianggap sebagai upaya yang diperlukan untuk memastikan bahwa hak-hak perempuan diakui dan dilindungi, termasuk hak untuk berpartisipasi secara merata dalam politik. Dalam praktiknya, afirmative action dalam konteks emansipasi politik perempuan telah diimplementasikan melalui berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan, seperti kuota perempuan dalam pemilihan umum atau pemberian dukungan finansial dan teknis bagi perempuan yang ingin terlibat dalam politik. Meskipun demikian, implementasi afirmative action dalam praktik masih menghadapi berbagai kendala dan tantangan, seperti perlawanan dari kelompok konservatif dan kebijakan yang belum memadai. Perjuangan Tanpa Henti Api perjuangan emansipasi politik perempuan yang telah dikobarkan oleh Kartini sejak 119 tahun yang lalu haruslah terus dikobarkan oleh perempuan-perempuan Indonesia masa kini. Perjuangan politik dalam mewujudkan kesetaraan dan kebebasan politik perempuan. Perjuangan ini tentu bukan sebagai ajang balas dendam kaum perempuan atas ketidakadilan serta penindasan politik yang dilakukan oleh laki-laki. Perjuangan ini juga bukan bertujuan untuk melawan laki-laki, akan tetapi melawan budaya patriarkhi yang menimbulkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan dengan berbagai macam stigmatisasinya terhadap kaum perempuan. Perjuangan ini, merupakan perjuangan untuk mewujudkan affirmative action secara nyata dalam praktik politik di Indonesia, dimana melalui affirmative action ini dapat menjamin adanya kesetaraan politik antara perempuan dan laki-laki. Afirmative action digunakan dalam konteks emansipasi politik perempuan, di mana tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih merata bagi perempuan dalam partisipasi politik. Affirmative action dalam konteks emansipasi politik perempuan dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain dengan penyediaan akses yang lebih merata terhadap pendidikan dan pelatihan politik untuk perempuan, Pengenalan sistem kuota untuk perempuan dalam pemilihan umum atau posisi politik tertentu, sehingga terdapat jaminan bagi perempuan untuk terpilih dan terlibat dalam politik, Pengenalan sistem penghargaan dan insentif bagi partai politik dan organisasi politik yang menghasilkan kader dan pimpinan perempuan yang sukses, Penyediaan dukungan finansial dan teknis untuk perempuan yang ingin terlibat dalam politik, seperti dukungan untuk kampanye politik atau akses terhadap jaringan dan sumber daya politik yang diperlukan. Hal-hal tersebut dapat dilakukan untuk dapat membuka jalan serta sarana perjuangan politik tanpa henti bagi perempuan Indonesia dalam mewujudkan affirmative action. Affirmative action dapat membantu perempuan untuk memperoleh akses dan kesempatan yang sama dalam politik, sehingga tercipta keberagaman dan representasi yang lebih merata dalam pengambilan keputusan politik. Dengan adanya affirmative action, perempuan dapat menjadi pemimpin yang kuat dan terlibat dalam proses pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan politik, sehingga terjadi emansipasi politik perempuan yang lebih merata. Momentum pelaksanaan Pemilu Serentak Tahun 2024 adalah medan perjuangan tanpa henti kaum perempuan Indonesia. Sehingga partisipasi aktif politik perempuan pada Pemilu Serentak 2024 sangat dibutuhkan dalam rangka melanjutkan perjuangan politik Kartini. Bila Kartini telah melaksanakan tugasnya dengan baik dengan menyalakan api perjuangan perempuan pada zamannya, kini saatnya kita perempuan-perempuan Indonesia masa kini, harus mampu melampaui perjuangan Kartini, minimal kita bukan menjadi barisan yang memadamkan api perjuangan Kartini itu. Bangkit perempuan Indonesia, dan Selamat Mengobarkan Perjuangan Kartini.


Selengkapnya
522

Pemilu dan Senyuman

Oleh Hastin Atas Asih   “Hadapi pemilu dengan senyuman, dan buatlah Indonesia tersenyum”. Mungkin kalimat tersebut dapat menggambarkan sebuah pesan yang disampaikan Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari saat menyampaikan sambutan dalam acara Peluncuran Tahapan Pemilu 2024 yang dilaksanakan Selasa (14/6/2022). Pesan agar segenap jajaran KPU se-Indonesia senantiasa tersenyum itu, disebutnya sebagai quality control dalam memberikan pelayanan publik.  Pada kesempatan tersebut, Hasyim Asy’ari tak segan untuk meminta kepada peserta, pemilih, stakeholder, dan seluruh masyarakat Indonesia untuk melaporkan kepadanya apabila terdapat personil KPU di Indonesia yang tidak tersenyum saat memberikan pelayanan. Meski terdengar sederhana, namun pesan bijak Ketua KPU RI tersebut memiliki makna mendalam. Betapa tidak, senyum sebagai bentuk ekspresi wajah yang terjadi akibat timbulnya suatu gerakan di bibir dan sekitar mata ini akan memberikan pengaruh yang luar biasa apabila dilakukan dengan tulus. Senyum mampu membuat suasana lebih menyenangkan dan membahagiakan. Senyum juga mampu mengubah mood orang yang diajak tersenyum menjadi lebih baik, lebih positive thinking, dan merasa lebih akrab dengan lawan bicara. Tak hanya itu, dengan tersenyum wajah juga akan terlihat lebih berbinar dan memesona, stres memudar, hidup pun terasa lebih enjoy. Atas kondisi tersebut tentunya berdampak terhadap penyelesaian pekerjaan yang lebih cepat dan lebih baik. Benar saja senyum sangat penting dilakukan oleh setiap penyelenggara pemilu. Pasalnya, dengan banyaknya tahapan yang harus dilalui serta segunung persoalan yang berpotensi terjadi, sangat mungkin akan membuat seorang penyelenggara pemilu menjadi lupa tersenyum. Padahal semua pelaksanaan tahapan tak ada yang luput dari yang namanya melayani publik. Karena itu, penyelenggara pemilu harus mampu mengelola permasalahan dengan baik, serta tak pernah lupa senyum dalam memberikan pelayanan meski dalam kondisi apapun.  Salah satu kegiatan yang harus dilaksanakan oleh jajaran KPU adalah sosialisasi. Kegiatan yang dilaksanakan mulai awal hingga akhir tahapan ini tentu saja menguras tenaga. Namun begitu, senyum tetap harus mengembang agar publik merasa terlayani dengan baik. Dalam penyampaian sosialisasi tatap muka misalnya, senyum menjadi hal wajib yang harus disunggingkan ketika bertemu dengan para pemilih. Dengan cara ini, suasana akan terasa lebih hangat dan menyenangkan sehingga informasi mengenai berbagai hal tentang pemilu tersampaikan dengan baik. Dengan penyampaian yang dibalut senyum, masyarakat dapat tergerak untuk berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pemilu. Partisipasi tersebut dapat diwujudkan melalui keikutsertaan masyarakat dalam mengawal setiap tahapan pemilu serta datang ke TPS pada hari pemungutan suara. Pun demikian pada tahapan-tahapan lainnya. Misalnya pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara yang dimungkinkan banyak terjadi konflik pada pelaksanaannya. Seperti kejadian tertukarnya surat suara, kesalahan dalam penghitungan suara, maupun ketidakpuasan peserta pemilu yang berpotensi menimbulkan keributan. Pada kondisi ini, secara psikologis hampir setiap orang pasti akan merasa galau dan khawatir. Namun, obat yang mujarab untuk mengatasi persoalan dan meredam emosi adalah senyum. Dengan senyum pikiran akan jernih dan solusi-solusi akan bermunculan. Dengan begitu satu persatu persoalan dapat terselesaikan dengan baik. “Ibadah tanpa rupiah” yang dipesankan Ketua KPU RI ini mungkin hanya akan menjadi buah bibir saja apabila tidak dikelola dengan baik. Jika itu terjadi tentu sangat disayangkan, karena pada dasarnya jika dikelola dengan baik, budaya senyum dapat mengakar dalam pelaksanaan aktivitas harian di lingkungan KPU se-Indonesia. Beberapa upaya pengelolaan yang dapat dilakukan diantaranya, pertama dengan membuat aturan kegiatan sehari-hari melalui sebuah Standar Opresianal Prosedur (SOP). Pada setiap SOP yang bersifat pelayanan, dapat dimasukkan keterangan kewajiban untuk “senyum” dalam memberikan pelyanan publik. Agar lebih lengkap lagi bisa ditambahkan “senyum, sapa, salam” (3S). Kedua, memasang tulisan imbauan, atau motto yang mencantumkan kewajiban “senyum” di setiap sudut ruangan dan arena publik. Ketiga, Memberikan pelatihan terkait tata cara memberikan pelayanan prima kepada publik dengan penekanan “senyum” sebagai budaya yang wajib diterapkan. Keempat, melakukan penilaian terhadap pelayanan publik yang telah dilakukan. Kelima, memberikan reward kepada pegawai yang telah memberikan pelayanan terbaik, serta teguran untuk pegawai yang belum memenuhi standar dalam memberikan pelayanan. Keenam, melakukan evaluasi secara berkala terhadap pelayanan publik yang telah dilakukan. Budaya senyum yang dikelola dengan baik sebagai upaya meningkatkan pelayan tentu saja akan menjadi sebuah spirit bagi KPU dan jajaran dalam memberikan pelayanan terbaik bagi peserta pemilu, pemilih, pemerintah, dan seluruh elemen masyarakat. Upaya tersebut diharapkan juga mampu menjawab permasalahan birokrasi sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Desain Reformasi Birokrasi, yang berbunyi bahwa pelayanan publik belum dapat mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat dan belum memenuhi hak-hak dasar warga Negara/penduduk. Dengan seruan budaya “senyum” yang disampaikan Ketua KPU RI dalam mengawali Tahapan Pemilu 2024, harapannya KPU tak hanya mampu menjawab tantangan pelayanan publik tersebut, namun juga mampu memberikan kepuasan lebih dari apa yang diharapkan masyarakat. Semoga Pemilu 2024 terselenggara dengan sukses dan seluruh masyarakat Indonesia tersenyum bahagia. (Penulis adalah Anggota KPU Kabupaten Demak Divisi Hukum dan Pengawasan)


Selengkapnya
455

Sebelum Kartini Menangis Kembali

Oleh: Siti Ulfaati “Pergilah, Laksanakan cita-citamu. Kerjalah untuk hari depan. Kerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham palsu tentang mana yang baik dan mana yangg buruk” (Surat R.A Kartini kepada Ny. Van Kool, dirangkum dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang) Mungkin salah satu penyesalan terbesar RA Kartini selama hidup adalah bagaimana sampai akhir hayat dirinya belum bisa mengubah sistem primordialisme yang selama ini menganggap perempuan yang hanya dianggap sebagai kasta kedua dalam sistem sosial di zamannya. Istilah sumur, dapur, dan kasur bisa dianggap sebagai penggambaran bahwa kehidupan mereka  sangat dibatasi, tidak ada ruang untuk bisa memperjuangkan nasib diri sendiri. Bagaimanapun juga, Kartini sangat iri dengan kakaknya, RMP Sasrokartono yang bisa menempuh pendidikan tinggi sampai ke TU Delft di negeri Belanda hanya karena terlahir sebagai seorang laki-laki. Kartini berpendapat bahwa adat istiadat yang ada di masyarakat saat  itu  hanya  menguntungkan laki-laki. Sistem demokrasi yang memperjuangkan emansipasi perempuan masih jauh dari harapan. Perjalanan hidup RA Kartini bisa menjelaskan bahwa cita-citanya untuk menempuh pendidikan tinggi harus kandas karena dilarang oleh ayahnya sendiri R.M.A.A. Sosroningrat, bahkan di usia yang masih muda, sekitar  24 tahun, ayahnya lebih memilih untuk menikahkan dirinya dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang notabene sudah memiliki tiga istri. Untunglah suaminya masih mengerti tentang pemikiran RA Kartini sehingga dirinya diberi keleluasaan untuk mendirikan sekolah rakyat bagi kaum perempuan. Butuh waktu 104 tahun agar pemikiran RA Kartini tentang emansipasi perempuan mendapat pengakuan yuridis dengan ditetapkannya UU Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD tentang  kuota 30 % pengurus partai harus berasal dari kaum perempuan agar dapat mengikuti pemilu. Hal ini menjadi angin segar bagi kaum perempuan sebagai jalan untuk bisa berpartisipasi merumuskan kebijakan. Memasuki era millenium  keterwakilan perempuan dalam ranah legistatif di DPR RI pun masih naik turun. Menurut  data BPS, dalam Pemilu tahun 2004 berjumlah 65 orang atau 11 %, tahun 2009 naik menjadi 100 orang (17%),  kemudian turun menjadi 97 orang (17%) dalam pemilu 2014, terakhir naik lagi pada pemilu 2019 menjadi 118 orang (20%). Walaupun hasilnya belum bisa memenuhi kuota 30% tetapi perempuan sudah menjadi salah satu bagian penting dalam merumuskan kebijakan sehingga perempuan bisa terus aktif untuk menjalankan demokrasi secara prosedural. Setelah pemerintah menjamin keterlibatan perempuaan melalui kebijakan kuota 30%, bagaimana dengan pencapaian demokrasi substansial yang juga diimpikan oleh RA Kartini. Sistem demokrasi substansial yang lebih menekankan kepada kedaulatan yang dimiliki oleh  perempuan untuk bisa menentukan nasibnya sendiri dalam segala hal sangat berhubungan dengan pola pikir mereka sendiri, apakah bisa menjadi subjek yang menginspirasi orang lain ataukah malah menjadi objek seperti di masa lampau. Globalisasi seakan-akan menjadi pisau bermata dua bagi kaum perempuan. Saat ini kaum perempuan bisa dengan mudah mengakses segala macam informasi yang bisa memperkuat pemikiran, tetapi di sisi lain, jika tidak diimbangi dengan sikap yang tegas, maka perempuan akan kembali manjadi komoditas untuk bisa ‘diperjualbelikan’. Dalam budaya barat yang menjunjung kapitalisme, perempuan mempunnyai value lebih untuk menjadi komoditas tersendiri. Penggambaran kesempurnaan perempuan sangat berkaitan dengan fashion dan perawatan tubuh serta teknologi yang dipakai sehingga bisa menjadi sosok perempuan yang ideal. Jika tidak disikapi dengan serius hal ini bisa menjadi bumerang tersendiri, karena banyak sekali budaya  barat yang bertentangan dengan norma-norma yang ada di Indonesia. Salah satu buktinya  adalah pengesahan Undang-Undang tindak pidana kekerasan sosial yang baru disahkan pada tahun 2022, padahal rancangannya sudah ada sejak tahun 2012 atau butuh waktu 10 (sepuluh) tahun untuk membahas undang-undang tersebut, sungguh memakan waktu yang lama. Seharusnya dengan adanya era globalisasi di mana teknologi sudah berkembang pesat juga harus diiringi dengan penguatan demokrasi substansial bagi kaum perempuan, salah satu caranya  dengan penguatan lembaga-lembaga di tingkatan gras root untuk bisa menjamin perempuan bisa dan berani berbicara politik. Organisasi perempuan seperti Fatayat di NU, Aisyiah di Muhammadiyah, Kohati di HMI atau Lembaga keperempuanan lainnya diharapkan bisa membuka lebih banyak ruang bagi perempuan untuk berbicara politik, bahkan jika perlu mereka bisa memperjuangkan kader-kader terbaiknya untuk terjun ke dunia politik. Bagaimanapun juga jika demokrasi prosedural sudah dijamin oleh pemerintah tetapi tidak diimbangi dengan demokrasi substansial hanya akan membawa perempuan menjadi korban perbudakan modern oleh paham kapitalisme, mereka hanya akan dieksploitasi terus menerus tanpa punya waktu untuk bisa mengubah nasibnnya sendiri. Jika itu terjadi, maka kondisi kaum perempuan di Indonesia serupa dengan kondisi yang dialami pada saat RA  Kartini masih hidup. Suatu kondisi yang membuat RA Kartini menangis setiap hari karena melihat perempuan hanya dianggap sebagai barang pemuas atas nama adat istiadat dan budaya. Karena itu dengan memanfaatkan momentum Hari Kartini, marilah kaum perempuan tetap berjuang untuk mengubah nasibnya sendiri lewat penguatan demokrasi substansial, semangat emansipasi perempuan yang telah dirintis oleh RA Kartini harus bisa menjadi pondasi semangat bagi kaum perempuan untuk bisa bersaing dalam segala bidang, jangan sampai  RA Kartini menangis kembali karena kondisi perempuan masih tetap dalam belenggu penjajahan. Jika dulu dijajah atas nama adat istiadat, sekarang kembali dijajah atas nama kecanggihan teknologi karena pada dasarnya adalah sebuah kesalahan besar jika seorang perempuan gigih memperjuangkan emansipassi tetapi gagap memberikan kontribusi. Jayalah terus kaum perempuan Indonesia!


Selengkapnya