Opini

550

Koordinasi Optimal, PDPB Maksimal

Oleh : Hastin Atas Asih   Butuh ketelatenan, keseriusan, koordinasi, kerja sama, kreativitas dan inovasi dalam melaksanakan kegiatan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan (PDPB). Dalam melaksanakan kegiatan yang bertujuan memperbarui data pemilih guna mempermudah proses pemutakhiran data pemilih pada pemilu/pemilihan ini memang membutuhkan kerja ekstra penyelenggara pemilu. Karena, kegiatan ini dilaksanakan di luar tahapan pemilu/pemilihan (post election) di mana pada masa itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten/Kota sedang tidak memiliki badan ad hoc baik di tingkat kecamatan maupun desa/kelurahan. PDPB merupakan salah satu sistem penyusunan daftar pemilih di Indonesia yang dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu dengan cara memperbarui data pemilih hasil pemilu/pemilihan sebelumnya secara berkelanjutan. Sistem ini dikenal dengan istilah continuous list, dan mulai diterapkan sejak tahun 2017.  Pelaksanaan sistem ini mengacu pada Pasal 204 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang berbunyi “KPU Kabupaten/Kota melakukan pemutakhiran data Pemilih berdasarkan daftar pemilih tetap Pemilu terakhir yang dimutakhirkan secara berkelanjutan”. Di Undang-Undang tentang Pemilu tersebut juga diatur tentang kewajiban bagi KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk melaksanakan pemutakhiran dan memelihara data pemilih secara berkelanjutan dengan memperhatikan data kependudukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara berurutan aturan tersebut termaktub pada pasal 14 huruf (l), pasal 17 huruf (l), dan pasal 20 huruf (l). Terkait teknis pelaksanaan PDPB awalnya diatur dalam Surat Dinas KPU RI Nomor 132/PL.02-SD/01/KPU/II/2021 perihal Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan Tahun 2021 sebagaimana telah diubah dengan Surat Dinas KPU Nomor 366/PL.02-SD/01/KPU/IV/2021. Dalam surat dinas tersebut disebutkan bahwa PDPB dilakukan secara berkala dengan instansi-instansi terkait, di antaranya instansi pemerintah daerah yang menangani administrasi kependudukan, kematian/pemakaman, TNI/Polri, pengadilan setingkat dan pada layanan data pemilih di tingkat kabupaten/kota. Kemudian KPU menetapkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan.  Penetapan PKPU ini pada intinya mempertegas surat dinas sebelumnya, dan secara teknis diatur lebih rinci. Pada PKPU 6 Tahun 2021 diatur bahwa pelaksanaan PDPB berjenjang dilakukan dengan cara memutakhirkan dan memelihara data pemilih secara berkesinambungan dengan memperhatikan data kependudukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam proses pelaksanaan PDPB dilaksanakan rapat koordinasi dengan lembaga terkait seperti Bawaslu, Kementrian/Lembaga/Instansi lain (instansi pemerintah daerah yang menangani administrasi kependudukan, kematian/pemakaman), TNI, dan POLRI. Rapat koordinasi ini dilaksanakan secara berkala minimal enam bulan sekali untuk KPU dan KPU Provinsi, dan minimal tiga bulan sekali untuk KPU Kabupaten/Kota. Pengaturan tentang perlu dilaksanakannya kegiatan rapat koordinasi adalah hal yang sangat penting. Karena pada kegiatan tersebut akan disampaikan hasil rekapitulasi PDPB serta akan disampaikan masukan terkait data-data yang dibutuhkan untuk PDPB. Seperti masukan pemilih baru yang dapat berasal dari pemilih pemula di mana yang bersangkutan pada saat pendataan sudah memasuki usia 17 tahun, maupun pemilih pemula karena alih status dari TNI/POLRI menjadi pensiunan. Begitu pula untuk pemilih tidak memenuhi syarat (TMS) karena meninggal dunia, pemilih yang berubah status menjadi anggota TNI atau POLRI, serta pemilih yang dicabut hak pilihnya. Selain itu, pemilih yang pindah domisili. Di PKPU Nomor 6 Tahun 2021 juga diatur tentang rekapitulasi PDPB tingkat KPU kabupaten/kota. Dijelaskan di Pasal 22 ayat 2 bahwa KPU Kabupaten/Kota menyampaikan data rekapitulasi PDPB dalam rapat koordinasi PDPB setiap tiga bulan. Sedangkan di Pasal 27 ayat 1 disebutkan bahwa KPU Provinsi melakukan rekapitulasi PDPB tingkat provinsi setiap bulan berdasarkan rekapitulasi PDPB dari KPU Kabupaten/Kota. Artinya, Rekapitulasi hasil PDPB dilaksanakan KPU Kabupaten/Kota setiap bulan dan selanjutnya dilaporkan ke KPU Provinsi untuk direkap di tingkat provinsi. Kemudian setiap tiga bulan dilakukan rekapitulasi kembali untuk disampaikan dalam rapat koordinasi yang dihadiri instansi-instansi terkait, di antaranya instansi pemerintah daerah yang menangani administrasi kependudukan, kematian/pemakaman, TNI/POLRI, pengadilan setingkat dan pada layanan data pemilih di tingkat kabupaten/kota. Tak Semua Data Lengkap Teknis pelaksanaan PDPB yang diatur oleh KPU sudah sangat komprehensif. Seperti perlunya rapat koordinasi dengan instansi terkait untuk mendapatkan masukan data sebagai bahan PDPB. Pengaturan ini memang sangat dibutuhkan. Namun dalam pelaksanaannya tentu saja tidak selalu mulus. Memang beberapa lembaga atau instansi responsif dalam memberikan data yang dibutuhkan. Namun tak jarang pula beberapa instansi justru sebaliknya karena merasa kesulitan untuk memenuhi kelengkapan elemen data yang dibutuhkan KPU. Ada pula beberapa lembaga yang karena faktor kesibukan serta minimnya SDM tidak bisa memenuhi data yang dibutuhkan. Pasal 201 ayat (8) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebenarnya cukup memberikan kelonggaran bagi KPU untuk mendapatkan data sebagai bahan PDPB. Disebutkan di pasal tersebut bahwa Pemerintah memberikan data kependudukan yang dikonsolidasikan setiap enam bulan kepada KPU sebagai bahan tambahan dalam pemutakhiran data pemilih. Artinya, KPU akan mendapatkan tambahan data untuk bahan PDPB dari instansi yang menangani kependudukan setiap enam bulan. Memang rentang waktu yang diatur dalam undang-undang tersebut cukup jauh dibandingkan pelaksanaan rekapitulasi PDPB yang dilaksanakan KPU Kabupaten/Kota. Di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 disebutkan bahwa instansi yang menangani kependudukan memberikan data yang dikonsolidasikan setiap enam bulan, sedangkan KPU Kabupaten/Kota melaksanakan PDPB setiap satu bulan. Meskipun rentang waktunya cukup lama, namun apabila data tersebut disampaikan tepat waktu sebenarnya cukup membantu KPU Kabupaten/Kota dalam melaksanakan PDPB. Tetapi fakta di lapangan tak semudah itu. Alih-alih tersampaikan tepat waktu, terkadang data tersebut tidak bisa didapatkan karena ada beberapa hal yang menjadi alasan. Banyak Jalan Menuju Roma Berbagai kendala sangat berkemungkinan terjadi dalam kegiatan PDPB. Namun hal tersebut tak seharusnya membuat patah arang penyelenggara. Banyak jalan menuju roma. Kreasi, inovasi, serta gagasan perlu dicetuskan agar PDPB bisa tetap berjalan. Dengan begitu data pemilih tetap terpelihara meski tidak dalam masa tahapan pemilu/pemilihan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan di antaranya adalah dengan membentuk relawan PDPB baik di tingkat desa maupun kecamatan. Relawan PDPB tersebut dapat berasal dari mantan badan penyelenggara ad hoc pemilu/pemilihan maupun sekretariat badan penyelenggara ad hoc pemilu/pemilihan yang mayoritas berasal dari perangkat desa dan pegawai kecamatan dan biasanya langsung bersentuhan dengan lembaga yang menguasai data di wilayahnya.  Pendekatan lebih progresif juga bisa dilakukan ke beberapa lembaga, untuk memberikan pemahaman terkait data yang dibutuhkan serta membantu secara teknis apabila memang dibutuhkan. Koordinasi dengan lembaga pendidikan (SMA/SMK/MA sederajat), atau instansi yang menaungi lembaga pendidikan seperti Dinas Pendidikan atau Kementerian Agama juga perlu dilakukan karena basis pemilih pemula banyak berasal dari lembaga tersebut. Koordinasi lainnya juga bisa dilakukan ke pondok pesantren, partai politik maupun organisasi kemasyarakatan. KPU Kabupaten/Kota juga bisa melakukan sosialisasi melalui pemanfaatan papan pengumuman, website, media sosial, media massa cetak dan elektronik. Kerja sama sosialisasi PDPB dengan pemerintah daerah juga dapat dilaksanakan, seperti pengintegrasian sosialisasi PDPB dengan kegiatan yang diselenggarakan pemerintah daerah baik secara tatap muka maupun melalui media online, seperti website dan media sosial milik pemerintah daerah. Solusi Masalah DPT PDPB merupakan salah satu upaya KPU untuk menyelesaikan akar masalah Daftar Pemilih Tetap. Dengan PDPB diharapkan data pemilih dapat dipastikan kualitasnya tetap baik meskipun tidak dalam penyelenggaraan pemilu/pemilihan. Jika data pemilih hasil PDPB baik dan dibuat berdasarkan prinsip komprehensif, akurat dan mutakhir, maka ke depan akan mempermudah proses pemutakhiran data dan penyusunan daftar pemilih pada pemilu/pemilihan berikutnya. Karena itu seyogyanya kegiatan PDPB digarap secara serius dan telaten. Penguatan koordinasi juga sangat penting, karena keberhasilan PDPB tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh KPU yang notabene tidak memiliki badan penyelenggara ad hoc karena sedang tidak menyelenggarakan pemilu/pemilihan. (Penulis adalah Anggota KPU Kabupaten Demak Divisi Hukum dan Pengawasan)


Selengkapnya
474

TAK ADA LAGI YANG TERSERAK (JDIH Mewadahi)

Oleh: Hastin Atas Asih   Perkembangan teknogi dewasa ini semakin menunjukkan perkembangan yang sangat signifikan. Meski tak selalu menguntungkan karena dampak negatif juga banyak mewarnai, namun di sisi lain berkembangnya teknologi juga bermanfaat besar bagi kehidupan manusia. Hampir seluruh aktivitas manusia saat ini tersentuh teknologi. Seperti sarana komunikasi, pendidikan, sarana medis, ekonomi, dan dokumentasi. Pun demikian untuk kegiatan penyimpanan arsip juga tak lepas dari sentuhan teknologi dan nyatanya memang inovasi teknologi memberikan kemudahan dan sangat membantu manusia dalam menjalankan aktivitas. Berbicara mengenai pengaruh perkembangan teknologi khususnya terhadap penataan, penyimpanan maupun pengarsipan dokumen keberadaannya memang benar-benar dirasakan. Sejenak kita menilik proses penataan, penyimpanan dan mekanisme pencarian dokumen pada era dahulu. Semuanya membutuhkan ruang dengan kapasitas besar, pencariannya pun membutuhkan waktu yang cukup lama. Itupun tidak bisa dipastikan berapa lama dokumen yang dicari tersebut dapat ditemukan. Bahkan bisa-bisa dokumen yang dicari tersebut tidak dapat ditemukan. Belum lagi adanya gangguan lain seperti jamur, serangga, bahkan bencana/musibah yang sangat berkemungkinan merusak atau menghilangkan dokumen. Kondisi tersebut sekarang sudah sangat berbeda. Perkembangan teknologi dengan berbagai inovasi mampu menjadi alternatif lain dalam pengelolaan dokumen. Ruang memang masih dibutuhkan untuk penataan serta penyimpanan dokumen yang berupa hard. Namun kekhawatiran dokumen hilang, rusak, atau terbakar sudah dapat diatasi dengan adanya teknologi yang berkembang saat ini. Begitupula dalam pencarian dokumen, tinggal klik saja dokumen yang dicari langsung bisa ditemukan. Perkembangan teknologi informasi direspon baik oleh berbagai pihak, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam menata dokumen hukum, KPU membentuk dan mengembangkan sistem informasi Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH). Pada dasarnya pengelolaan dokumen hukum dengan pembentukan JDIH di Lingkungan KPU merupakan tindaklanjut dari amanat Pasal 86 ayat 3 huruf b Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Di pasal tersebut disebutkan bahwa Sekretariat Jenderal KPU wajib mengelola arsip dan dokumen pemilu termasuk dokumen hukum. Tak hanya itu, pembentukan JDIH di Lingkungan KPU juga merupakan wujud pelaksanaan Pasal 5 ayat 1 Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2012 tentang Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional. Di pasal tersebut ditegaskan bahwa Pimpinan instansi wajib membentuk organisasi JDIH di lingkungannya. Anggota JDIH wajib melakukan pengelolaan dokumentasi dan informasi hukum dengan menyediakan sarana prasarana, serta SDM dan anggaran. Sementara yang dimaksud JDIH di Peraturan Presiden tersebut adalah wadah pendayagunaan bersama atas peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum lainnya secara tertib, terpadu dan berkesinambungan serta merupakan sarana pemberian pelayanan informasi hukum secara mudah, cepat, dan akurat. Sejarah Menurut sejarah, gagasan tentang pentingnya pembentukan JDIH sebenarnya telah dikemukanan lama, yaitu pada Seminar Hukum Nasional III tahun 1974 di Surabaya. Mengingat pentingnya keberadaan dokumen dan perpustakaan hukum adalah hal yang mutlak untuk pembinaan hukum di Indonesia, gagasan tersebut kemudian direspons positif oleh Badan Pembina Hukum Nasional. Menindaklanjati gagasan tersebut kemudian dilaksanakan lokakarya-lokakarya di beberapa daerah. Selang tiga tahun kemudian tepatnya pada tahun 1978 dalam sebuah lokakarya yang diselenggarakan di Jakarta, telah menghasilkan suatu kesepakatan bahwa Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) sebagai Pusat JDIH berskala nasional. Sedangkan yang menjadi anggota JDIH adalah Biro-Biro Hukum Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara. Setelah kegiatan jaringan dokumentasi dan informasi hukum berjalan lebih dari dua puluh tahun, pada tahun 1999 Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 91 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 135) tentang Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional. Keputusan Presiden inilah yang kemudian dijadikan sebagai dasar hukum untuk lebih meningkatkan dan mengembangkan JDIH ke arah yang lebih baik, lebih maju untuk kepentingan bangsa dan negara. Program pengembangan Sistem JDIH terus berkembang, maka pada 2012 Presiden telah menetapkan kembali tentang Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional melalui Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2012. (jdih.lipi.go.id) Di Lingkungan KPU, JDIH mulai dibentuk pada tahun 2013 atau selang satu tahun pasca JDIH ditetapkan Presiden melalui Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2012. Di tahun tersebut pengembangan JDIH yang dilakukan berupa mackup dan dummy website. Kemudian pengembangan terus diupayakan, dan tahun 2014 dilakukan dengan trial hosting, dimana JDIH terhubung dengan website utama KPU sebagai link pencarian produk hukum. Tahun 2016 KPU meresmikan JDIH KPU melalui Keputusan KPU Nomor 134/Kpts/KPU/Tahun 2016 tentang Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum. Di tahun 2019 KPU mulai melakukan pembentukan JDIH pada 34 satuan kerja KPU Provinsi di Indonesia.  Untuk pengembangan JDIH di Lingkungan KPU kabupaten/kota dilakukan secara bertahap. Pada tahun 2020, pengembangan dilakukan di 370  kabupaten/kota, sedangkan tahun 2021 dilakukan di 144 KPU kabupaten/kota yang tersisa. Perhatikan Komponen Dalam membangun sistem informasi perundang-undangan (JDIH), ada beberapa komponen yang perlu diperhatikan, yaitu hardware, software, brainware dan content.  Sistem informasi membutuhkan perangkat (hardware) yang mumpuni antara lain computer server, jaringan internet, dan storage (ruang penyimpanan). Aplikasi antar muka (software) yang digunakan untuk mengoperasikan sistem informasi juga harus friendly. Sumberdaya pengelola JDIH juga harus memiliki keahlian dalam mengoperasikan aplikasi dan memahami perundang-undangan. Selain itu data dan informasi yang disajikan dalam JDIH merupakan dokumen perundang-undangan dan informasi produk hukum. Untuk informasi hukum yang disajikan pada JDIH juga harus memenuhi beberapa kriteria, di antaranya adalah mudah diakses oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun, memenuhi konsep dasar informasi, yaitu valid, relevan, akurat, mutakhir dan tepat waktu, serta mudah dipahami oleh pembaca dan tidak membuat pembaca kesulitan. Perlu Ruang JDIH Dalam pengelolaan dokumen hukum tentu saja tidak hanya fokus pada pegembangan sistem informasi saja. Penyediaan ruang yang representatif juga sangat dibutuhkan untuk menunjang pengelolaan JDIH, karena hard dokumen juga harus diarsipkan dengan baik. Ruang JDIH tersebut selain sebagai tempat penyimpanan dokumen juga dapat menjadi ruang baca, ruang diskusi, serta perpustakaan dokumen hukum.   Penataan dokumen hukum (hard) dapat dilakukan dengan cara menata dokumen yang sudah kemudian disimpan pada rak arsip dengan penataan yang sistematis dan tidak memakan tempat. Klasifikasi dokumen serta penyediaan daftar dokumen juga perlu dilakukan untuk memudahkan dalam pencarian dokumen. Terkait pembentukan ruang JDIH, pengelola perlu memperhatikan luasan ruangan, sarana prasarana serta sistem penataannya. Ruangan sebaiknya dilengkapi sarana prasarana yang memadai seperti meja baca, internet, komputer dan sebagainya. Kenyamanan pengunjungpun perlu diperhatikan agar nyaman dan betah di ruangan JDIH. Sosialisasi dan Koordinasi Pembangunan JDIH yang baik tentu saja sangat memberi banyak manfaat untuk lembaga maupun publik. Namun begitu, sesuatu yang baik ini akan sangat disayangkan jika keberadaannya tidak diketahui oleh publik. Karena itu sosialisasi tentang keberadaan JDIH juga merupakan prioritas agar masyarakat tahu dan merasakan manfaat atas keberadaan JDIH. Untuk meningkatkan aksesibilitas JDIH, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Diantaranya adalah dengan memanfaatkan platform media sosial, yaitu dengan memberikan informasi kepada pembaca mengenai telah terbitnya produk hukum, substansi penting dalam produk hukum, serta informasi hukum lainnya. Selain itu sosialisasi JDIH dengan metode tatap muka, memanfaatkan radio atau televisi juga penting dilakukan. Koordinasi antar pengelola JDIH juga perlu untuk saling menguatkan dalam pengembangan JDIH lembaga masing-masing. Koordinasi tersebut bisa memunculkan kesepakatan utuk memasukkan link JDIH lembaga lain pada website JDIH yang dikelola, dan sebaliknya. Dengan terkelolanya JDIH dengan baik maka fungsi JDIH sebagai media penyuluhan perundang-undangan, penyediaan sarana pembangunan bidang hukum, memudahkan pencarian dokumen hukum, dan meningkatkan penyebarluasan dan pemahaman pengetahuan hukum dapat terwujud. Dengan adanya JDIH yang baik, dokumen hukum benar-benar terwadahi, dan tak ada lagi dokumen yang terserak. (Anggota KPU Kabupaten Demak Divisi Hukum dan Pengawasan)


Selengkapnya
308

Teladan dan Komitmen Faktor Penting Suksesnya SPIP

Oleh: Hastin Atas Asih   Sistem pengendalian manajemen merupakan sesuatu yang sangat penting bagi sebuah organisasi, perusahaan maupun lembaga pemerintahan. Dengan dijalankannya sistem ini, maka akan berdampak terhadap berkembangnya suatu organisasi, lembaga maupun perusahaan. Begitu pula sebaliknya, jika sistem pengendalian tak berjalan dengan baik, maka sangat berkemungkinan mengancam keberlangsungan perkembangan organisai, lembaga maupun perusahaan tersebut. Di lingkungan pemerintahan, penyelenggaraan sistem pengendalian intern dilaksanakan secara menyeluruh. Pasal 58 ayat 1 Undang-Undang 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Keuangan Negara, menyebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan Negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan Pemerintah secara menyeluruh. Selanjutnya, ketentuan mengenai penyelenggaraan sistem pengendalian intern tersebut ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) itu sendiri adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Mengingat pentingnya SPIP bagi keberlangsungan pengelolaan pemerintahan, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, Pemerintah mewajibkan kepada menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota untuk melakukan pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. Hal tersebut tegas diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah yang berbunyi “untuk mencapai pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel, menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati /walikota wajib melakukan pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan.” Kewajiban tersebut tentu sangat beralasan, karena dengan terkelolanya keuangan Negara yang baik, maka akan berimbas terhadap tercapainya tujuan penyelenggaraan pemerintahan. Jika merunut dasar hukum penyelenggaraan SPIP, pada dasarnya kegiatan SPIP lebih berkaitan dengan aktivitas keuangan. Namun dalam pelaksanaannya, aktivitas keuangan sangat berhubungan erat dengan seluruh kegiatan yang diselenggarakan oleh suatu lembaga. Karena itu pelaksanaan kegiatan pengendalian ditujukan untuk semua kegiatan yang akan dilaksanakan oleh suatu lembaga. Dengan kata lain kegiatan pengendalian merupakan sebuah langkah mitigasi risiko atas empat tujuan SPIP yang meliputi terlaksananya kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaannya, mitigasi risiko dilakukan secara berkala serta dievaluasi untuk memastikan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut masih relevan dan efektif. Penyelenggaraan SPIP di KPU Empat tahun setelah Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 ditetapkan, KPU sebagai salah satu lembaga Negara di Indonesia menetapkan SPIP dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 17 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah di Lingkungan Sekretariat Jenderal KPU, Sekretariat KPU Provinsi, dan Sekretariat KPU/Kabupaten/Kota. Penetapan PKPU tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan pelaksanaan SPIP di Lingkungan KPU yang lebih efektif dan efisien. Secara teknis, KPU pun menetapkan Keputusan KPU Nomor 443/Kpts/KPU/Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah di Lingkungan KPU. Pedoman teknis tersebut digunakan sebagai acuan bagi pejabat/pimpinan yang berwenang dalam penyelenggaraan SPIP di Lingkungan KPU serta digunakan sebagai panduan bagi Inspektorat yang merupakan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), dalam melaksanakan pengawasan intern dan penilaian penerapan Sistem Pengendalian Intern di Lingkungan KPU. Penyelenggaran SPIP di lingkungan KPU tak hanya dilaksanakan di tingkat pusat. Di level provinsi dan kabupaten/kota pun SPIP diterapkan, bahkan waktu demi waktu penguatan terhadap sistem ini semakin nampak di semua tingkatan. Aktivitasnya pengendaliannya pun tak hanya di ranah keuangan namun melekat pada tugas segari-hari. Dalam pelaksanaan kegiatan pengendalian, KPU mempedomani lima unsur SPIP yang terdiri dari lingkungan pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi, serta pemantauan pengendalian intern. Kelima unsur pengendalian intern tersebut merupakan unsur yang terjalin erat satu dengan yang lainnya. Lingkungan pengendalian. Lingkungan pengendalian merupakan dasar dari semua komponen pengendalian intern lainnya yang membuat organisasi menjadi lebih disiplin dan terstruktur.  Unsur lingkungan pengendalian memiliki delapan sub unsur yang meliputi integritas dan nilai etika, kompetensi,  kepemimpinan yang kondusif , sesuai dengan kebutuhan, pemberian tugas dan tanggung jawab kepada pegawai dengan tepat, pembinaan sumber daya manusia, aparat pengawasan intern pemerintah (APIP), dan hubungan kerja sama yang baik. Pengembangan implementasi sub unsur pembangunan integritas dan nilai etika di tiap jenjang dan satuan kerja KPU tentu beragam. Namun secara keseluruhan substansi target kegiatannya sama. Di KPU Kabupaten Demak misalnya, implementasi sub unsur pembangunan integritas dan nilai etika dilakukan seluruh pimpinan dan pegawai dengan membuat sebuah komitmen agar dalam melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan lembaga, para pegawai berpedoman dengan integritas dan nilai etika. Hal ini diawali dengan penyampaian informasi yang dilakukan melalui kegiatan pembinaan pegawai pada berbagai momentum. Diantaranya saat apel pagi, rapat internal, serta kegiatan keagamaan yang dikemas dengan khataman Al Qur’an. Tujuannya agar seluruh pegawai mengetahui regulasi yang ditetapkan, sehingga dalam menjalankan tugas selalu sepenuh hati, mengedepankan integritas, dan nilai etika. Komitmen terhadap integritas dan nilai etika dalam melaksanakan tugas dituangkan dalam sebuah pakta integritas atau perjanjian kinerja. Perjanjian kinerja dilakukan oleh sekretaris kepada ketua, dan kasubbag kepada sekretaris. Kegiatan ini merupakan agenda tahunan, dan biasanya dilaksanakan di awal tahun anggaran. Pada perjanjian kinerja tersebut dicantumkan pula sasaran strategis, indikator kinerja, serta target yang hendak dicapai. Untuk Implementasi sub unsur kompetensi dilaksanakan dengan peningkatan kompetensi pegawai yaitu melalui penyelenggaraan kegiatan bimtek yang dilaksanakan secara berkala. Di KPU Kabupaten Demak, kegiatan dilaksanakan dengan melibatkan seluruh unsur pegawai. Pelaksanaannya pun dikemas dengan berbagai macam kegiatan. Tujuan kegiatan ini adalah menambah knowledge pegawai, meningkatkan hard skill maupun soft skill, serta memunculkan ide atau gagasan baru yang kesemuanya bermanfaat bagi perkembangan kinerja pegawai. Sub unsur ketiga pada unsur lingkungan pengendalian yaitu kepemimpinan yang kondusif yang diartikan sebagai situasi dimana pemimpin selalu mengambil keputusan dengan mendasarkan pada data hasil penilaian risiko. Sub unsur ini juga berkaitan dengan keteladanan seorang pemimpin yang jika diterapkan akan mampu menjadi energi positif bagi sebuah lembaga. Keteladanan tersebut dapat ditularkan ke semua pegawai sehingga akan tercipta etos kerja yang baik. Selanjutnya, sub unsur sesuai dengan kebutuhan dapat diimplementasi dengan langkah merancang struktur organisasi sesuai kebutuhan lembaga. Jika struktur lembaga yang saat ini berjalan sudah perlu dilakukan perubahan mengingat beban pekerjaan yang teramat padat untuk suatu bagian, maka perlu segera dilakukan perubahan. Rancangan struktur organisasi pun harus disesuaikan dengan kebutuhan. Sementara itu, untuk sub unsur pemberian tugas dan tanggung jawab kepada pegawai dengan tepat juga penting diperhatikan karena sangat berdampak terhadap keberhasilan lembaga. Sebagaimana diketahui kompetensi pegawai tentu saja beragam, dan porsi tugas dan tanggung jawabnya juga perlu perlu disesuaikan. Untuk implementasi sub unsur pembinaan sumber daya yang tepat juga menjadi hal penting agar tujuan lembaga dapat tercapai. Keberadaan pengawas juga sangat memiliki peran untuk mengubah budaya kerja pegawai. Hal lainnya yang perlu dibangun dalam penyelenggaraan lingkungan pengendalian yang baik adalah menciptakan hubungan kerja sama yang baik (baik intern maupu ekstern). Penilaian risiko. Tahap penilaian rsiko merupakan tahap awal dalam pembangunan infrastruktur pengendalian. Melalui penilaian resiko dapat diketahui risiko yang dihadapi unit kerja, untuk kemudian ditetapkan kebijakan respon terhadap risiko, serta kegiatan pengendalian yang diperlakukan. Terdapat dua unsur penilaian risiko yaitu identifikasi risiko dan analisis risiko. Identifikasi risiko merupakan suatu proses yang secara sistematis dan terus menerus dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan timbulnya risiko. Proses identifikasi risiko dilakukan dengan pemetaan terhadap hal-hal yang berpotensi menghambat tercapainya tujuan. Setelah dilakukan identifikasi risiko, selanjutnya dilakukan analisis risiko untuk mengukur dan mengidentifikasi variable yang bisa mengancam atau mencederai sebuah tujuan lembaga. Kegiatan pengendalian adalah tindakan yang diperlukan untuk mengatasi risiko serta penetapan dan pelaksanaan kebijakan dan prosedur untuk memastikan bahwa tindakan telah dilaksanakan dengan baik. Sub unsur kegiatan pengendalian meliputi reviu kinerja instansi Pemerintah, pembinaan SDM, pengendalian pengelolaan system informasi, pengendalian fisik asset, penetapan dan reviu indikator dan ukuran kinerja, pemisahan fungsi, otorisasi transaksi dan kejadian penting, pencatatan akurat dan tepat waktu, pembatasan akses sumber daya, akuntabilitas sumber daya, dan dokumentasi system pengendalian. Informasi dan Komunikasi. Komunikasi atas informasi wajib diselenggarakan secara efektif, dalam hal ini lembaga sekurang-kurangnya menyediakan dan memanfaatkan berbagai bentuk dan sarana komunikasi. Unsur informasi dan komunikasi terdiri dari dua sub unsur yaitu sarana komunikasi dan manajemen sistem informasi. Pemantauan Pengendalian Intern. Unsur SPIP yang satu ini merupakan proses penilaian atas mutu kinerja sistem pengendalian intern dan proses yang memberikan keyakinan bahwa bahwa temuan audit dan evaluasi lainnya segera ditindaklanjuti. Pemantauan pengendalian internal dilaksanakan dalam tiga sub unsur, yaitu pemantauan berkelanjutan, evaluasi terpisah, dan tindak lanjut. Imlementasi pemantauan berkelanjutan dapat dilaksanakan melalui kegiatan pengelolaan rutin, supervisi, perbandingan, rekonsiliasi, dan tindakan lain yang terkait dengan pelaksanaan tugas. Evaluasi terpisah dapat dilakukan melalui penilaian sendiri, reviu dan pengujian efektivitas system pengendalian intern yang dapat dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah atau pihak eksternal. Sedangkan tindaklanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya harus segera diselesaikan dan dilaksanakan sesuai dengan mekanisme rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya yang ditetapkan. Penerapan lima unsur SPIP dengan beberapa sub unsurnya dalam sebuah lembaga selayaknya dilaksanakan secara menyeluruh dan saling terkait. Kegiatan pengedalian idealnya juga tidak hanya dilakukan dalam satu waktu tertentu, tetapi secara terus menerus oleh pimpinan dan pegawai. Perencanaan kegiatan menjadi hal yang wajib dilakukan, sehingga lembaga berjalan tak salah arah, baik dari segi anggaran maupun regulasi. Dari rencana yang telah ditetapkan, ditindaklanjuti dengan penyelenggaraan pengendalian. Penerapan SPIP dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu persiapan, pelaksanaan dan pelaporan. Pada tahap pelaksanaan dapat dimaknai sebagai tahap pemahaman SPIP ke seluruh jajaran pegawai melalui kegiatan sosialisasi yang dilaksanakan oleh Pengarah Satgas SPIP. Dengan sosialisasi tersebut diharapkan seluruh SDM memahami arti penting SPIP, dan menerapkannya dalam pelaksanaan tugas. Setelah tersosialisasi, satgas SPIP melakukan pemetaan terhadap proses managemen, proses yang perlu dikendalikan, potensi resiko dalam proses, unsur dan sub unsur SPIP yang diperlukan untuk pengendalian, serta infrastruktur yang dibutuhkan. Tahap kedua adalah tahapan pelaksanaan yang merupakan tindaklanjut dari pemetaan yang meliputi pembangunan infrastruktur dan internalisasi. Pembangunan infrastruktur merupakan syarat mutlak sebelum dilaksanakan implementasi unsur-unsur SPIP. Pada tahapan ini, peta sistem SPIP dibahas sehingga dapat diperoleh umpan balik mengenai rencana tindak penerapan SPIP. Pembangunan infrastruktur menghasilkan kebijakan dan prosedur untuk masing-masing unsur dan sub unsur SPIP. Selanjutnya hasil kebijakan tersebut dilanjutkan dengan tahap internalisasi.  Yakni suatu proses untuk membuat kebijakan dan prosedur menjadi sebuah kegiatan operasional sehari-hari dan ditaati oleh seluruh pejabat dan pegawai. Pada tahapan ini dilakukan implementasi unsur-unsur SPIP yang diawali dari pengembangan terhadap unsur-unsur SPIP dengan mengacu kepada hasil pemetaan SPIP pada tahap pembangunan infrastruktur. Tahap ketiga adalah pelaporan dan perkembangan lanjutan. Pelaporan ini dilaksanakan secara periodik dan terus menerus. Laporan merupakan hasil kompilasi dan analisis dari dokumen penyelenggaraan semua sub unsur dalam suatu kurun waktu tertentu. Terdapat dua jenis pelaporan dalam penyelenggaraan SPIP, yaitu yang bersifat laporan penyelenggaraan dan laporan maturitas. Di Lingkungan KPU sendiri, dalam pelaporan penyelenggaran SPIP dibagi dua, yaitu pelaporan kartu kendali SPIP yang dilengkapi data dukung yang dilaporkan setiap bulan, serta laporan SPIP tahunan yang dilaporkan di akhir tahun. Pelaporan diawali dengan penyusunan kartu kendali SPIP dan data dukungnya yang rutin dilaporkan ke KPU RI. Pelaporan kartu kendali ini merupakan upaya untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang tertib, efektif, efisien, akuntabel dan transparan. Meskipun laporan kartu kendali merupakan bentuk pengendalian minimal, namun dengan pelaporan kartu kendali ini dapat dapat diidentifikasi apakah kegiatan telah terlaksana secara efektif, efisien, trnasparan dan akuntabel. Kartu kendali SPIP bulanan terdiri dari kartu kendali kepegawaian, keuangan, pengadaan, persediaan dan asset BMN, dan kartu kendali SAKIP. Untuk kartu kendali kepegawaian, dilengkapi dengan data dukung yang meliputi rekap absensi, rekap perjalanan dinas, rekap SKP, daftar urut kepangkatan, dan rekap arsip kepegawaian (dorsir).  Kartu kendali keuangan dilengkapi dengan data dukung LRA APBN, BAP Kas APBN, BKU APBN, LRA APBD, BAP Kas APBD, BKPU APBD, BP Kas APBD, BKPU APBD, BP Kas APBD, Rekap Badan Laporan Pokja/Kegiatan, Laporan Keuangan, dan Calk dan ADK SAIBA. Kartu kendali pengadaan terdiri dari dokumen pengadaan APBN dibawah 200 juta, dokumen pengadaan APBN diatas 200 juta, dokumen pengadaan APBD dibawah 200 juta dan dokumen pengadaan diatas 200 juta. Untuk kartu kendali persediaan dan asset BMN terdiri dari laporan persediaan, BA stock opname persediaan, BA rekon KPKNL, BA kondisi barang, BA stock opname asset BMN, dan Calk dan ADK SIMAK BMN. Kemudian kartu kendali SAKIP dilengkapi data dukung renstra, indikator kinerja utama, rencana kinerja tahunan, perjanjian kinerja, rencana aksi kinerja, dan laporan kinerja. Selain laporan bulanan, tiap satker di Lingkungan KPU juga diwajibkan menyampaikan laporan SPIP tahunan. Laporan tahunan SPIP dapat menjadi gambaran penyelenggaraan SPIP di suatu satker, karena memuat tahapan pemetaan, penilaian risiko, pembangunan infrastruktur, dan internalisasi/implementasi yang dilaksanakan selama satu tahun. Pada pelaksanaan kegiatan pengendalian yang dilaksanakan masing-masing sub bagian juga dilaporkan beberapa kegiatan pengendalian, hambatan, serta bentuk pengendalian yang telah dilaksanakan. Laporan juga dilengkapi uraian risiko, penyebab serta usulan/pengendalian, usulan rencana pengendalian serta table kemajuan SPIP. Banyak manfaat yang diperoleh apabila penyelenggaraan SPIP dilaksanakan dengan baik. Diantaranya adalah meningkatnya suasana lingkungan yang nyaman yang akan menimbulkan kepedulian, solidaritas dan keikutsertaan seluruh pegawai, yang kesemuanya akan berdampak meningkatnya etos kerja yang baik sehingga tujuan lembaga bisa tercapai. Karena sejatinya SPIP bukan hanya untuk membentuk mekanisme administratif saja tetapi juga upaya melakukan perubahan sikap dan perilaku (soft factor). Untuk mencapai penyelenggaraan SPIP yang baik, keteladanan (tone at the top) dari unsur pimpinan atau pejabat struktural adalah faktor yang sangat penting. Teladan dapat diartikan memberikan contoh yang baik dari berbagai aspek. Seorang pemimpin harus mampu memberikan teladan dari hal-hal yang sangat sederhana hingga hal-hal yang rumit. Misalnya saja berkaitan dengan kedisiplinan, cara bersikap, bertutur dan sebagainya. Lebih penting lagi adalah seorang pemimpin harus memiliki jiwa pemimpin yang sesungguhnya. Tak selalu merasa benar namun mau mengakui kesalahan apabila telah melakukan kesalahan, serta mau menerima masukan dari bawahan. Hal–hal tersebut sangat sederhana, namun sesuatu yang sangat sederhana ini sesungguhnya sangat diperhatikan oleh pegawai. Dari sikap tersebut akhirnya mereka mencontoh dan menjadikannya sebagai sebuah kebiasaan. Suksesnya penyelenggaraan SPIP yang bermuara terhadap terwujudnya tujuan lembaga pada prinsipnya mudah saja dicapai. Semua tergantung tekad dan komitmen dari masing-masing personil di lembaga tersebut baik pimpinan maupun pegawai. Mau dibawa kemana lembaga ini? Semua dikembalikan ke si “penghuni” lembaga. (Penulis adalah Anggota KPU Kabupaten Demak Divisi Hukum dan Pengawasan)


Selengkapnya
394

Tantangan SDM di Tengah Pandemi “Capaian Keberhasilan Pilbup Demak 2020”

Oleh: Siti Ulfaati (Anggota KPU Kabupaten Demak) Indonesia adalah Negara yang berdasar hukum (rechtstaat), bukan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Hal ini, tercantum dalam Konstitusi Negara UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 1 ayat (3). Maka, segala penyelengaraan kehidupan bernegara harus patuh dan tunduk pada hukum. Baik dalam ranah ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan serta sosial budaya semua diatur dengan hukum yang diwujudkan dalam undang-undang. Hukum adalah kekuasaan tertinggi dalam negara (rule of law). Ciri-ciri negara hukum adalah pertama, adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Kedua, adanya pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi tersebut. Ketiga, pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan dan keempat, adanya Peradilan yang independen. Selain sebagai negara hukum, Indonesia juga telah memilih sistem demokrasi dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Sistem demokrasi di Indonesia ini terwujud di dalam kedaulatan negara yang berada di tangan rakyat. Dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dituangkan dalam pasal 1 ayat (2) dimana menyebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar. Wujud Indonesia sebagai negara hukum demokrasi tersebut, dalam pengangkatan pemimpin negara dilaksanakan dengan adanya mekanisme pemilihan umum yang dilakukan oleh rakyat, sebagai bentuk partisipasi masyarakat. Berkaitan dengan Indonsia sebagai negara hukum tersebut, segala hubungan antar warga negara sebagai subjek hukum, harus tunduk dan taat dengan aturan hukum yang berlaku. Termasuk diantaranya adalah berkaitan bagaimana aturan main dalam pelaksanaan pemilihan umum. Pemilihan Umum di Indonesia dibagi dalam Pemilihan Umum yang sifatnya nasional, yaitu untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, DPR RI dan DPD dan Pemilihan Umum yang sifatnya Kedaerahan, yaitu untuk memilih Gubernur-Wakil Gubernur, Walikota atau Bupati. Pengaturan berkaitan dengan Pemilihan Kepala Daerah pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahn 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diadakan Pilkada secara langsung pertama kali pada tanggal 1 Juni 2005. Selanjtnya Pengaturan Pilkada diatur dalam Undang-Undang Nomor UU 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur bahwa Pilkada dilakukan oleh DPRD Provinsi dan DPRD Kab/kota. Akan tetapi Undang-Undang ini banyak ditolak oleh masyarakat karena merupakan langkah mundur demokratisasi di Indonesia. Penolakan atas Undang-Undang Nomor UU 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, kemudian melahirrkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang mengembalikan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat. Perppu ini lahir berdasarkan Putusan MK No 138/PUU-VII/2009, yang menganggap bahwa pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD meupakan pemilihan yang tidak demokratis. Perrppu Nomor 1 Tahun 2014 ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pengesahan Perrpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Akan tetapi pada bulan Maret 2015, terjadi perubahan dalam aturan Pemilihan Kepala Daerah sehingga melahikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun  2015. Selanjutnya, perubahan kembali terjadi dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah ini terkait dengan desain pemilihan kepala Daerah Serentak secara nasional yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Dalam Undang-Undang ini Pemilihan Kepala Daerah di Tahun 2020 dilaksanakan pada Bulan September 2020. Menjelang tahun 2020, negara di dunia digemparkan dengan munculnya sebuah wabah dari Kota Wuhan, Tiongkok. Wabah penyakit yang disebabkan oleh virus ini dikenal dengan CoronaVirus Disease 2019 (COVID-19). Covid-19 dengan cepat mewabah ke penjuru dunia, yang kemudian oleh WHO ditetapkan sebagai Pandemi Global. Hingga pada awal bulan Maret 2020, virus Covid-19 pertama kali terkonfirmasi di Indonesia di Kota Depok Jawa Barat. Dengan cepat, penyebaran virus Covid-19 menjalar ke berbagai Kota di Indonesia. Akibat, pandemi Covid ini Pesiden Joko Widodo mengeluarkan Keppres Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan Keppres Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nasional Non Alam. Selanjutnya, Presiden Joko Widodo membuat kebijakan dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Keputusan tersebut sebagai bentuk reaksi cepat pemerintah pusat untuk dapat menginstruksikan dan mengkonsolidasikan jajaran Kementerian dan Lembaga, serta Kepala Daerah dalam hal penanganan COVID-19. Percepatan penanganan COVID-19 diperlukan langkah-langkah cepat, tepat, fokus, terpadu, dan sinergis antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah Dengan adanya kebijakan penegakan Protokol Kesehatan yang dikeluarkan pemerintah sebagai tindak lanjut dalam pencegahan penyebaran Virus Covid-19, akan berdampak pada aktivitas masyarakat dan penyelenggaraan pelanyanan publik. Salah satu yang berdampak adalah penyelenggaraan Tahapan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2020. Dampak Pandemi Covid-19 telah berpengaruh terhadap kegiatan sosial, ekonomi dan interaksi sosial pada masyarakat, dengan adanya Kebijakan Protokol Kesehatan yang membatasi kegiatan masyarakat. Hal ini juga berdampak pada Proses Tahapan Pilkada Serentak Tahun 2020 yang menunda hari pemungutan suara tanggal 23 September 2020 (Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) 15/2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2020). Tepat tanggal 21 Maret 2020 KPU RI melakukan penundaan Tahapan Pilkada Serentak 2020 dengan mengeluarkan Keputusan KPU RI Nomor 179/PL.02- Kpt/01/KPU/III/2020 tentang Penundaan Tahapan Pemilihan Gubernur dan  Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020 dalam Upaya Pencegahan Penyebaran COVID-19. Penundaan tahapan yang dimaksud adalah sebagai berikut: Pelantikan PPS 22 Maret 2O2O dan Masa Kerja Panitia Pemungutan Suara: 23 Maret s.d. 23 No ovember 2O2O. Segala kegiatan persiapan dan pelaksanaan Tahapan Pembentukan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih dengan masa Kerja Petugas Pemutakhiran Data Pemilih. Segala kegiatan persiapan dan pelaksanaan Pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih. Tahapan Pencalonan Perseorangan (Verifikasi Faktual). Kondisi tersebut diatas, membuat Pemerintah mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati pada tanggal 4 Mei 2020. Pada dasarnya Perppu Nomor 2 ini mengatur mengenai perubahan proses Pilkada Serentak 2020 mulai dari Tahapan sampai pada pemungutan suara. Perppu ini juga mengatur berkaitan dengan penegakan protokol kesehatan selama menjalankan tahapan Pilkada Serentak di masa Darurat Kesehatan Masyarakat. Sebagai lembaga penyelenggara Pemilihan Umum di Indonesia, termasuk di dalamnya adalah Pemilihan Kepala Daerah, peran KPU dan Bawaslu sangat penting dalam mewujudkan demokratisasi di Indonesia. Terkait dengan Pilkada Serentak 2020 di masa darurat kesehatan masyarakat ini, walaupun banyak desakan agar pelaksanaannya ditunda, termasuk dua organisasi besar di Indonesia yaitu Nahdlotul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Akan tetapi Pemerintah, DPR, KPU dan Bawaslu telah bersepakat bila pelaksanaan Pemungutan Suara Piilkada Serentak Lanjutan Tahun 2020 tetap dilakukan pada tanggal 9 Desember 2020. Hal ini, tentu saja tak lepas dari telah ditetapkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 yang menjadi dasar yuridis pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. KPU RI melalui PKPU Nomor 5 Tahun 2020 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020 tanggal 12 Juni 2020 menetapkan hari pemungutan suara yang awalnya 23 September 2020 menjadi 9 Desember 2020 dan melalui Keputusan KPU Nomor 258|PL.O2- Kpt/ 01/KPU/VI/2020 tentang Penetapan Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Tahun 2020 tanggal 15 Juni 2020 menetapkan Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Tahun 2020, dimulai dari tahapan yang tertunda meliputi Pelantikan dan Masa Kerja Panitia Pemungutan Suara, Verifikasi Syarat Dukungan Pasangan Calon Perseorangan, Pembentukan dan Masa Kerja Petugas Pemutakhiran Data Pemilih dan Pemutakhiran dan Penyusunan Daftar Pemilih. Tahapan Pilkada Serentak Lanjutan 2020 dilaksanakan dengan catatan dengan menerapkan protokol Covid -19 yang diatur dalam PKPU Nomor 13 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Wali Kota Dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Tantangan SDM 2020, antara harapan dan Realitas Tantangan SDM dalam pelaksanaan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Demak Tahun 2020 di tengah Pandemi Covid-19 adalah terlihat ketika pembentukan badan ad hoc baik di tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Selain itu juga terlihat ketika pembentukan Petugas Ketertiban TPS (Gastib) dan juga Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP). Persyaratan yang ketat menjadi salah satu tantangan dalam pembentukan badan ad hoc diantaranya adalah terkait batas usia minimal 20 tahun dan maksimal 50 tahun, kewajiban melaksanakan rapid test/swab bagi penyelenggara dan tidak memiliki penyakit kormobid (penyerta) termasuk didalamnya tidak diperbolehkan hamil. Hal diatas menjadi sebuah kendala bagi KPU Kabupaten Demak. Pertama, persyaratan tersebut memang khusus diperuntukkan ketika di masa pandemic covid-19 mengingat di masa tersebut kondisi tubuh, atau imun harus benar-benar terjaga sehingga terkait usia sangat mempengaruhi, akan tetapi fakta di lapangan tidak semulus seperti teori. Ada beberapa calon badan ad hoc di tingkat KPPS yang usianya di atas 50 tahun yang sudah diproyeksikan oleh Kepala Desa/Kelurahan tidak bisa menjadi KPPS. Sehingga ada PPS yang mendapatkan intimidasi dan tidak difasilitasi oleh pemerintah Desa/ Kelurahan. Berdasarkan fakta tersebut PPS dan KPU Demak harus bekerja extra lebih keras dalam perekutan KPPS. Komunikasi vertical maupun horizontal dilakukan KPU Kabupaten Demak agar pembentukan badan ad hoc bisa berjalan lancar dan sesuai dengan tahapan. Kendala yang kedua adalah terkait diwajibkannya pelaksanaan Rapid test/ Swab bagi badan ad hoc. Rapid test/ Swab dilakukan untuk badan ad hoc yang sudah mendapatkan SK (Surat Keputusan). Pelaksanaan Rapid test/ Swab adalah sebagai upaya atau ihtiar pencegahan penyebaran Covid-19. Ini merupakan penggambaran bentuk kesiapan pihak penyelenggara dalam menyelenggarakan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Demak pada tanggal 9 Desember 2020. Rapid test/ Swab itu sendiri bukan hanya diperuntukkan untuk badan ad hoc melainkan untuk semua penyelenggara, baik Anggota KPU Kabupaten Demak dan sekretariat KPU Kabupaten Demak setiap melakukan tahapan Pilbup Demak 2020.  Misalkan saja Rapid test/ Swab  yang dilakukan PPDP, adalah sebagai persiapan sebelum pelaksanaan pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih, sedangkan pelaksanaan Rapid test/ Swab  oleh KPPS adalah sebelum bertugas pada pemungutan suara. Hal tersebut adalah untuk mencegah terbentuknya klaster baru. Karena prinsip dasar dari pelaksanaan Pilkada dalam kondisi pandemi Covid-19 ialah dengan mengutamakan dan memastikan keselamatan dan kesehatan baik penyelenggara, peserta dan pemilih dengan tidak mengabaikan kualitas demokrasi yang sudah menjadi ketentuan undang-undang. Walaupun tujuan pelaksanaan Rapid test/ Swab  adalah untuk menjaga keselamatan dan kesehatan, akan tetapi fakta pelaksanaannya di lapangan tidak semudah yang kita bayangkan. a. Pelaksanaan Rapid test/ Swab  di tingkat PPK, PPS Sekretariat PPK dan Sekretariat PPS Pelaksanaan Rapid test/ Swab di tingkat PPK dan PPS masih sangat terkendali. Mereka masih bersedia melaksanakan sesuai dengan penjadwalan yang ada dan bagi yang dinyatakan reaktif melakukan isolasi sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan. Tetapi untuk Sekretariat PPK dan Sekretariat PPS yang notabene kebanyakan berusia lanjut (diatas 50 tahun), banyak diantara mereka yang memiliki penyakit kormobid/ penyerta. Sebagian memilih untuk menugundurkan diri dan meminta untuk diganti. Karena kekhawatiran dan ketakutan akan hasil Rapid test/ Swab Reaktif dan nantinya diminta melakukan isolasi. Permintaan Pengunduran diri diatas tentunya tidak bisa diamini oleh KPU Demak, dikarenakan terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di Kecamatan atau Desa/Kelurahan. Kebijakan yang diambil KPU Demak adalah dengan memberikan kelonggaran waktu bagi sekretariat PPK dan PPS untuk melakukan Rapid test/ Swab. KPU Demak melakukan pendekatan, dialog “dari hati ke hati” dengan berkunjung ke masing-masing sekretariat yang tidak berkenan melakukan Rapid test/ Swab. Di antara beberapa sekretariat yang dinyatakan reaktif, diminta untuk melakukan Swab dan hasilnya menunjukkan Positif Covid. Sehingga mereka harus dilakukan karantina/ isolasi oleh pihak rumah sakit atau puskesmas setempat. Bahkan ada pula yang harus melakukan isolasi lama/ lebih dari sebulan dikarenakan yang bersangkutan memiliki penyakit kormobid/ penyerta. Sehingga penyembuhannya membutuhkan waktu yang sangat lama. Belum lagi setelah dilakukan traching, ternyata ada beberapa keluarga yang terkonfirmasi virus covid-19. Setelah isolasi selesai mereka akan diminta untuk melakukan Rapid test/ Swab kembali dan ketika hasilnya dinyatakan non reaktif/ negatif, yang bersangkutan akan diberikan surat keterangan sehat dan bisa melanjutkan kembali tugas dan kewajibannya sebagai sekretariat PPK atau Sekretariat PPS Pelaksanaan Rapid test/Swab ini memang diwajibkan bagi penyelenggara dan merupakan sebuah persyaratan yang harus dilakukan. Karena ketentuannya sangat jelas. Bagi yang tidak berkenan dilakukan Rapid test/ Swab mereka harus mundur. Akan tetapi mengingat terbatasnya SDM yang ada di lapangan, ada hal-hal lain yang memang harus disikapi dengan bijak. Berikut hasil Rapid test/ Swab KPU Kabupaten Demak, PPK, PPS, Sekretariat PPK dan Sekretariat PPS. b. Pelaksanaan Rapid test/ Swab  di tingkat Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) PPDP adalah petugas yang diangkat oleh KPU Demak untuk melakukan Pencocokan dan Penelitian (Coklit) data pemilih. Sebelum melakukan tahapan coklit PPDP harus melakukan pemeriksaan Rapid test/ Swab. PPDP yang dinyatakan sehat dan non Reaktif bisa terus melakukan tugasnya. Akan tetapi PPDP yang dinyatakan reaktif harus diganti selain mereka juga harus melakukan isolasi mandiri. PPDP dalam melakukan coklit harus turun di lapangan dan bertemu langsung dengan pemilih. Oleh karena itu sebelum melakukan tahapan PPDP harus benar- benar dalam keadaan sehat dan terbebas dari covid-19. Mereka dibekali dengan face shild, sarung tangan, hand sanitizer. Sehingga melalui PPDP, KPU Demak meyakinkan masyarakat bahwa petugas yang mendatangi rumah mereka tidak akan membawa cluster penyebaran Covid-19. Adapun kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Rapid test/ Swab  di PPDP adalah, susahnya mencari SDM pengganti PPDP yang sudah ditetapkan yang dinyatakan reaktif. Dikarenakan ketentuan dalam regulasi dimana PPDP yang dinyatakan reaktif harus diganti. Hal tersebut membuat banyak masyarakat yang khawatir dan enggan menjadi PPDP. Dalam hal ini PPS memang dihadapkan pada situasi yang sulit karena di masa pandemic covid-19 yang sangat mencekam masyarakat masih sangat takut terkena ataupun menularkan virus covid-19. Akan tetapi oleh PPS, hal tersebut disikapi dengan bijak. Mereka melakukan komunikasi inten dengan pemerintah desa/kelurahan untuk membantu mereka mensosialisasikan dan meyakinkan masyarakat terkait pelaksanaan Rapid test/ Swab  adalah untuk kebaikan bersama dan untuk menditeksi dini virus covid-19 sehingga dapat mencegah penularan dan melakukan pengobatan dini kepada mereka yang terjangkit. Berikut ini data PPDP yang reaktif di Kabupaten Demak: Dari data di atas kebutuhan PPDP di Kabupaten Demak adalah sejumlah 2206 orang. Dilakukan penggantian sebanyak 88 orang dikarenakan hasil pemeriksaan Rapid test/ Swab reaktif. Sehingga total keseluruhan yang melakukan Rapid test/ Swab adalah sebanyak 2.294 orang. Data diatas belum termasuk PPDP yang mengundurkan diri sebelum pelaksanaan Rapid test/ Swab. c. Pelaksanaan Rapid test/ Swab  di tingkat KPPS dan Petugas Ketertiban TPS (Gastib) Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara atau KPPS adalah kelompok yang dibentuk oleh PPS untuk menyelenggarakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara. KPPS merupakan ujung tombak pelaksanaan Pilbup Demak 2020. Sedangan Gastib adalah adalah petugas yang dibentuk oleh PPS untuk menangani ketenteraman, ketertiban, dan keamanan di setiap Tempat Pemungutan Suara. Sebelum menyelenggarakan pemungutan suara, KPPS bertugas mendirikan Tempat pemungutan Suara serta menyiapkan berbagai hal yang berkaitan dengan pemungutan suara. Selain itu KPPS juga melakukan penghitungan suara sampai mengantarkan kotak suara ke PPK/ kecamatan. Dengan beban dan tanggung jawab yang luar biasa KPPS harus benar-benar dinyatakan sehat dan terbebas dari Covid-19. Begitu juga dengan Gastib. Oleh karena itu sebelum menyelenggarakan pemungutan suara KPPS dan Gastib harus melakukan pemeriksaan Rapid test/ Swab. Berbeda dengan PPDP apabila reaktif diganti. KPPS dan Gastib yang reaktif diminta untuk melakukan isolasi dan tidak diganti. Dikarenakan kebutuhan SDM KPPS dan Gastib yang sangat banyak. Dalam perjalanan pelaksanaan Rapid test/ Swab KPPS dan Gastib di Kabupaten Demak ada beberapa kendala diantaranya adalah KPPS dan Gastib merasa Keberatan melakukan Rapid test/ Swab karena mereka harus meluangkan waktu sehari untuk izin. KPPS dan Gastib yang terpilih kebanyakan mereka bekerja di pabrik, lembaga pendidikan dan swasta. Hal tersebut juga terjadi ketika calon KPPS harus memenuhi persyaratan pendaftaran dalam hal melampirkan surat keterangan kesehatan yang berasal dari puskesmas atau rumah sakit setempat. Bagi mereka meluangkan waktu sehari untuk melakukan pemeriksaan sama saja dengan dipotongnya gaji mereka selama sehari pula. Kendala yang selanjutnya adalah minimnya antusias masyarakat untuk menjadi KPPS dan Gastib karena di masa Pandemic Covid-19 memunculkan ketakutan akan tertular Virus Corona-19. Sehingga dalam kasus KPPS tersebut, PPS melakukan upaya dengan jemput bola langsung ke rumah warga yang memenuhi persyaratan. PPS juga membantu menyiapkan berkas administrasi pendaftaran calon KPPS. Sedangkan dalam hal urusan Gastib, PPS melakukan komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah Desa/Kelurahan. Kasus yang terjadi di desa Gajah ada KPPS yang dinyatakan reaktif oleh Puskesmas setelah melakukan pemeriksaan Rapid test/ Swab, dan oleh petugas Puskesmas dilakukan penjemputan dengan menggunakan Ambulans dan Petugas menggukan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap. Hal ini membuat yang bersangkutan, keluarga dan masyarakat di sekitar heboh. Sehingga menjadikan ketakutan tersendiri oleh mereka dan tidak hanya itu, mereka menyalahkan KPU Demak karena dengan adanya pelaksanaan Rapid test/ Swab, mereka dijauhi oleh masyarakat, menjadi bahan gunjingan dan mengalami dampak ekonomi yang tidak diharapkan. Misalkan warungnya sepi dan tidak ada yang mau membeli. Mereka merasa dirugikan baik secara secara psikis ataupun sosial. Selain itu dampak lain dari pelaksanaan Rapid test/Swab adalah adanya intimidasi dan terror terhadap beberapa PPK dan PPS. Tidak sedikit yang mengancam memilih mundur baik satu TPS ataupun bahkan 1 Desa kalau masih dipaksa melakaukan Rapid test/Swab dan ada juga yang lebih memilih menjadi Tim Pemenangan. Disalah satu TPS di Mranggen ada Ketua KPPS yang melakukan bunuh diri dikarenakan mengalami tekanan mental pasca dinyatakan reaktif oleh puskesmas. Hal tersebut terjadi ketika yang bersangkutan dilakukan isolasi oleh Puskesmas di rumah kosong. Dari penuturan keluarga, sebelum bunuh diri yang bersangkutan merasa tertekan pasca dinyatakan reaktif. Berikut data jumlah KPPS dan Gastib KPU Kabupaten Demak yang dinyatakan reaktif . Selain beberapa dinamika diatas faktor media dalam membentuk opini masyarakat dan maraknya berita Hoaks juga menambah deretan permasalahn terkait pembentukan badan ad hoc. Belum lagi tahapan pembentukan badan ad hoc PPS yang beririsan dengan tahapan pencalonan perseorangan juga menambah deretan permasalahan di KPU Demak mengingat PPK saat itu belum dilantik, sedangkan SDM di KPU Demak sangat terbatas. Antisipasi Kecelakaan Kerja Pengalaman dari penyelenggaraan baik dari Pemilihan sebelumnya, para penyelenggara badan adhoc Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Demak Tahun 2020 sering menerima intimidasi dan tindak kekerasan, baik dari tim sukses atau simpatisan peserta Pemilihan maupun pihak lain, sehingga diperlukan santunan kecelakaan kerja untuk memberikan perlindungan sosial bagi penyelenggara Pemilihan yang mengalami tindak kekerasan fisik ketika bertugas dalam penyelenggaraan tahapan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Demak Tahun 2020. Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Demak Tahun 2020 diselenggarakan dalam suasana pandemi Covid-19. Selain itu juga mempertimbangkan situasi dan keamanan dalam pelaksanaan tugas-tugas penyelenggara Pemilihan serta pelaksanaan wewenang, tugas dan tanggung jawab penyelenggara Pemilihan yang sepenuh waktu diperlukan perhatian yang sungguh-sungguh atas setiap potensi risiko dan risiko yang terjadi dalam pelaksanaan tugas dimaksud. Selain itu, jangkauan wilayah penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Demak Tahun 2020  terbilang luas, untuk sebagian wilayah yang memiliki tantangan geografis dan tantangan lain akibat bencana alam atau kerusakan lingkungan ekologis yang berpotensi atas segala bentuk resiko bagi segenap badan adhoc Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Demak Tahun 2020 untuk dijangkau para Penyelenggara Pemilihan, sehingga risiko kecelakaan dijalan relative tinggi, karena Penyelenggara Pemilihan harus melakukan tugas penyelenggaraan tahapan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Demak Tahun 2020 yang membutuhkan mobilitas tinggi. Santunan kecelakaan kerja merupakan salah satu tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Demak kepada jajarannya yang ikut serta dalam mensukseskan pelaksanaan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Demak Tahun 2020 sehingga dapat berjalan demokratis sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 470/SDM.07.4-Kpt/05/X/2020 tentang Pedoman Teknis Pemberian Santunan kecelakaan Kerja dalam penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020 dan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Demak Nomor: 127/SDM.07.4-Kpt/3321/KPU-Kab/X/2020 tentang Pedoman Teknis Pemberian Santunan kecelakaan Kerja dalam penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020 memberikan santunan kepada badan ad hoc dengan kriteria sakit/ luka berat 6 orang, sakit/luka sedang 5 orang, meninggal 1 orang dan cacat 1 orang. Selain mendapatkan santunan dari KPU Kabupaten Demak badan adhoc yang mengalami kecelakaan kerja juga mendapatkan santunan dan BPJS Ketenagakerjaan. Menjawab Tantangan Pilbup Demak 2020: Jaminan Keamanan, Tingkat Partisipasi, dan Demokratisasi Tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Demak Tahun 2020 di tengah Pandemi Covid-19 adalah kekhawatiran akan tingkat Partisipasi Pemilih yang rendah. Hal ini, dikarenakan kondisi Pandemi Covid-19 yang belum berakhir, mengakibatkan masyarakat enggan menggunakan hak pilihnya pada tanggal 9 Desember 2020. Masyarakat masih dirundung ketakutan akan terjangkit Covid-19 ketika melakukan pencoblosan di TPS. Kondisi tersebut menjadi logis karena masih banyak warga yang kurang meyakini protocol kesehatan yang diterapkan dapat menjamin para pemilih bebas dari penularan Covid-19. KPU Kabupaten Demak, berusaha dengan pikran dan tenaga menyiapkan badan ad hoc Pilbup Demak yang berkualitas, sehat dan aman bagi setiap warga yang mengikuti proses Demokrasi. Yang kreatif, inovatif dalam menyusun strategi sosialisasi sehingga mampu meyakinkan warga Demak bahwa Pilbup Demak merupakan hal yang sangat menentukan kemajuan dan perkembangan Kabupaten Demak yang membutuhkan aspirasi (suara) masyarakat Demak dan semua tahapan diselenggarakan dengan mematuhi protocol kesehatan, mengutamakan keselamatan dan kesehatan semua pihak. Pembentukan badan ad hoc, selain telah diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan, juga merupakan hal penting dalam rangka mensukseskan pelaksanaan Pilbup Demak 2020. KPU Demak membentuk PPS, PPK dan Relawan Demokrasi dengan memfokuskan pada orang-orang yang mempunyai kretivitas, bekerja keras, cerdas dan mampu berkomunikasi dengan baik. Manajemen dalam pembentukan badan ad hoc ini dilakukan dengan prosedur yang ketat dan dengan kriteria-kriteria khusus yang dapat merepresentasikan semua lapisan masyarakat kabupaten Demak. Uji kelayakan anggota badan ad hoc KPU Demak dilakukan dengan standar yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh orang yang ahli, pakar dan professional. Orang-orang yang telah terpilih dalam lembaga ad hoc, mempunyai kualitas, kapasitas, kredibilitas dan integritas dalam membantu pelaksanaan Pilkada Kabupaten Demak dengan aman, jujur dan adil sesuai dengan prinsip demokrasi yang baik. Dengan manajemen pembentukan lembaga ad hoc yang baik, membuktikan bahwa KPU Demak mampu menjawab tantangan pelaksanaan Pilkada 2020 dengan sukses. Kesuksesan tersebut dapat diukur dengan angka Partisipasi Pemilih Kabupaten Demak yang naik dibandingkan dengan angka partisipasi Pemilih pada Pelaksanaan Pilkada sebelumnya. Tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada 2020 ini adalah sebesar 73,13%, sedangkan dalam pelaksanaan Pilkada Tahun 2015 partisipasi pemilih hanya sebesar 67,52%. Ada kenaikan partisipasi pemilih sebesar 5,61% pada tingkat partisipasi pemilih. Padahal, kekhawatiran awal, ketika pelaksanaan Pilkada di tengah Pandemi Covid-19, partisipasi pemilih akan sangat rendah. Selain angka partisipasi yang meningkat 5,61%, keberhasilan KPU Demak dalam menyelenggarakan Pilkada 2020 juga bisa dilihat dari tidak adanya cluster penyebaran covid-19, tidak adanya gugatan sehingga penetapan Paslon terpilih bisa dilakukan pada tanggal 21 Januari 2020 dan KPU Demak didaulat menjadi penyelenggara terbaik di Jawa Tengah dengan mendapatkan 4 penghargaan yaitu juara pertama Manajemen Pengelolaan Logistik Pemilihan Serentak 2020 Terbaik, juara pertama Manajemen Penyelenggaraan Pencalonan Pemilihan Serentak 2020 Terbaik, juara kedua Inovasi Sosialisasi Pendidikan Pemilih Pemilihan Serentak 2020 Terbaik dan juara kedua Pengelolaan Dana Kampanye Pemilihan Serentak 2020 Terbaik. Keberhasilan peningkatan angka partisipasi pemilih ini juga tidak dapat dilepaskan dari peran para anggota penyelenggata pemilu sendiri, baik KPU Demak maupun anggota lembaga ad hoc yang berhasil dalam melakukan pendekatan dan sosialisasi kepada warga Demak. Kualitas dari anggota lembaga ad hoc, yang mampu berkomunikasi dengan baik, mampu mempersuasi warga agar mau memberikan suara dan mampu meyakinkan warga Demak bahwa Pilkada akan berlangsung dengan aman dibawah Protokol Kesehatan yang ketat merupakan faktor pendukung dalam kesuksesan penyelenggaraan Pilkada 2020 di Kabupaten Demak. Kualitas anggota yang direkrut merupakan keberhasilan dari manajerial pola pembentukan badan ad hoc yang baik pula.


Selengkapnya
83

Romansa PHPU

Dalam sebuah kehidupan, manusia disebut kuat apabila tahan terhadap ujian kehidupan. Istilah ini sepertinya selaras juga untuk memberikan sebutan kepada penyelenggara pemilu yang berhasil melewati berbagai permasalahan selama proses tahapan. Ujian bagi penyelenggara pemilu adalah berbagai permasalahan mulai dari tahapan persiapan, penyelenggaraan, hingga ada tidaknya sengketa, baik sengketa proses, pelanggaran pemilu dan sengketa hasil. Predikat penyelenggara tangguh, selayaknya patut disematkan kepada jajaran KPU Provinsi dan kabupaten/kota se-Jawa Tengah. Betapa tidak, dari banyaknya tahapan pemilu, semua terselesaikan dengan baik. Bahkan berbagai sengketa yang diperkarakan oleh berbagai pihak, mulai dari PHPU yang dialami KPU provinsi dan semua KPU kabupaten/kota se-Jawa Tengah, sengketa informasi publik yang dilayangkan kepada KPU Kabupaten Tegal, sengketa terkait Tata Usaha Negara, hingga aduan ke DKPP, semuanya dapat terselesaikan dengan baik. Yang membuktikan lagi adalah perselisihan hasil pemilu di Jawa Tengah, keseluruhan ditolak oleh MK.  Di Kabupaten Demak sengketa yang ada terkategori minimalis. Namun begitu, bukan berarti KPU nya tidak tangguh. Justru ketika sengketa itu minim, dapat diambil kesimpulan bahwa segala permasalahan dapat terselesaikan saat tahapan berlangsung. Bisa juga diartikan bahwa penyelenggara pemilu dari tingkat bawah benar-benar professional dalam melaksanakan tugas, sehingga tidak menyisakan permasalahan di belakang hari. Untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden perkara yang diajukan ke MK, dan yang harus dipersiapkan  oleh KPU Kabupaten Demak adalah permohonan yang berasal dari Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden (paslon) Nomor urut 2, yaitu Prabowo Subiyanto dan Sandiaga Uno. Untuk Pemilu DPRD Provinsi Jawa Tengah Dapil Jateng II terdapat permohonan perkara Partai Berkarya. Sedangkan untuk DPRD Kabupaten Demak Dapil 3 Demak permohonan perkara diajukan oleh Magdarini Okta Sumarno, caleg PDIP. PHPU Pilpres Permohonan Perselisihan Hasil Pemilu yang diajukan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor urut 2, Prabowo Subiyanto dan Sandiaga Uno cukup membuat sibuk KPU Kabupaten Demak dan KPU kabupaten/kota se-Indonesia. Betapa tidak, permohonan sebanyak 37 halaman itu bisa dibilang abstrak, karena locus gugatan tak jelas. Dengan begitu seluruh KPU Kabupaten/kota harus mempersiapkan untuk menjawab dalil pemohon. Di bab pendahuluan, ada tiga hal yang disampaikan pemohon. Pertama, berkaitan dengan Indonesia Negara hukum, yang didalamnya disebutkan pasal 22E ayat (1) UUD 45 yang dikaitkan dengan prinsip kejujuran dan keadilan yang substantif. Kedua, berkaitan dengan pemilu yang jujur dan adil sebagai syarat fundamental dalam menjamin eksistensi dan keberlanjutan Negara Hukum Republik Indonesia. Ketiga, Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) diharapkan mampu menjadi penegak dan pembuka pintu keadilan yang benar-benar mampu mengejawantahkan dirinya, sehingga memberikan harapan masa depan akan Negara dan bangsa bagi pencari keadilan. Pada point ini juga disampaikan idealnya seorang hakim konstitusi adalah insan yang sudah selesai dengan dirinya; insan yang megutamakan substansi, memiliki pengetahuan yang paripurna, wawasan seluas samudera, keteladanan yang tak tertandingi, kearifan di atas rata-rata manusia yang lain di Negara Indonesia. Adapun pokok permohonan yang diajukan ada 3 poin yang kemudian dijabarkan menjadi beberapa sub point. Point pertama berbicara mengenai MK adalah pengawal konstitusi sehingga perlu mengadili kecurangan. Dalam point ini disebutkan bahwa MK seharusnya tidak hanya sebagai “Mahkamah Kalkulator” yang hanya bertugas menentukan pemenang pemilu berdasarkan benar atau salahnya rekapitulasi suara. Karena sifatnya sebagai peradilan konstitusi, Mahkamah tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan procedural (procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice). MK juga diminta tidak terpasung oleh bunyi-bunyian undang-undang melainkan juga harus menggali rasa keadilan dengan tetap berpedoman pada makna substantif undang-undang itu sendiri. Point ke dua pada pokok permohonan Paslon nomor urut 2 adalah berkaitan dengan sistematis, terstruktur dan masif. Dijabarkan pada point ini yang dimaksud pelanggaran terstruktur adalah kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama. Pelanggaran sistematis adalah pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi. Sedangkan pelanggaran masif adalah dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan bukan hanya sebagian. Pada point ini disebutkan bahwa telah terjadi kecurangan TMS yang dilakukan oleh pasangan calon petahana, yaitu Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin. Bentuk pelanggarannya adalah penyalahgunaan Anggaran Belanja Negara dan/Program Kerja Pemerintah, ketidaknetralan aparat Negara (polisi dan intelejen), penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, pembatasan kebebasan media dan diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakan hukum. Menurut Paslon Nomor 2 ini, dari pelanggaran yang dilakukan Paslon nomor urut 1, sanksi yang dapat dijatuhkan adalah pembalasan sebagai pasangan calon dan diskualifikasi. Permohonan gugatan Prabowo dan Sandiaga Uno juga menyebutkan terkait argumentasi kecurangan kuantitatif dalam Pilpres 2019. Diantaranya terkait DPT yang tidak masuk akal dan kekacauan situng KPU dalam kaitannya dengan DPT. Terkait DPT yang tidak masuk akal disebutkan bahwa terdapat DPT yang tidak wajar berjumlah 17,5 juta yang terdiri dari tiga kelompok yakni, data kelahiran yang bertanggal 1 Juli sebanyak 9.817.003 orang, data kelahiran bertanggal 31 Desember sebanyak 5.377.401 orang dan data kelahiran bertanggal 1 Januari sebanyak 2.359.304 orang. Disebutkan pula ada beberapa TPS yang memuat lebih lebih 100 orang bahan 200 orang lebih yang mempunyai tanggal lahir sama dan ternyata setelah dicek di Dinduksapil yang bersangkutan tidak ber-KTP. Selain masalah tanggal kelahiran yang sama, diebutkan pula bahwa data di DPT 2019 menunjukkan pemilih berusia di bawah 17 tahun sekitar 20.475 orang. Padahal dibawah 17 tahun, peraturan tidak membolehkan untuk memilih. Selanjutnya ada pula data usia 90 tahun dengan kelahiran 1800 atau 1900 sebanyak 304.782. Berkaitan dengan kekacauan Situng dengan kaitannya DPT, disebutkan bahwa kekacauan tersebut antara lain meliputi banyaknya kesalahan input data pada Situng yang mengakibatkan terjadinya ketidaksesuaian data dengan data yang terdapat pada C1 yang dipindai KPU. Kemudian banyaknya kesalahan penjumlahan suara sah yang tidak sesuai dengan jumlah DPT/DPTb/DP dan banyaknya kesalahan data yang terdapat pada C1 yang dipindai. Dalam petitumnya, Paslon nomor urut 2 ini memohon kepada MK untuk mendiskualifikasi Paslon Presiden dan Wakil Presiden Nomor urut 1 Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai Peserta Pemilu, dan mentapkan Paslon Nomor Urut  2 Prabowo Subiyanto-Sandiaga Uno sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024, karena menurutnya telah berlaku curang dan KPU pun telah melakukan pelanggaran. Permohonan PHPU yang diajukan Paslon Nomor urut 2 yang “nggrambyang” ini memang perlu pengkajian khusus. Selain itu, perlengkapan untuk menjawab dalil pemohon ini juga banyak yang harus dipersiapkan. Namun begitu, hal ini tidak menjadi persoalan bagi KPU, karena semua yangberkaitan dengan permohonan pemohon dapat disediakan dengan mudah. Dalam menyiapkan jawaban atas dalil pemohon, KPU Kabupaten Demak melaksanakan beberapa hal, yang pertama membuat kronologi pelaksanaan tahapan penyusunan Daftar Pemilih mulai dari DPT pilgub menjadi DPS, hingga penyusunan DPTb dan DPK. Kemudian membuat kronologi terkait situng (adanya salah input atau salah jumlah dan salah perbaikannya, salah jumlah dalam C1 dan masih banyak yang lainnya. Selain itu KPU Kabupaten Demak juga menyiapkan kronologis umum tentang pelaksanaan pemungutan suara (termasuk di dalamnya kejadian Pemilu Lanjutan yang terjadi di TPS 16 Desa Wringinjajar dan TPS 11 Desa Candisari Kecamatan Mranggen), penghitungan suara di TPS, rekapitulasi di PPK dan rekapitulasi di tingkat kabupaten. Selain kronologi, daftar alat bukti dan alat bukti juga disiapkan untuk dihimpun dengan alat bukti KPU kabupaten kota se-Indonesia oleh KPU RI. PHPU Pileg Selain gugatan yang diajukan Paslon Nomor Urut 2, KPU Kabupaten Demak juga mendapatkan pengajuan gugatan dari Partai Berkarya dan Magdarini Okta Sumarno, Caleg DPRD Kabupaten Demak Dapil 3 Demak Partai PDIP. Dalam gugatan Partai Berkarya disebutkan bahwa KPU Kabupaten Demak telah salah dan keliru dalam melakukan perhitungan perolehan suara Partai Berkarya yang seharusnya sebanyak 50.000 suara, sehingga sangat mempengaruhi perolehan kursi Pemohon di DPR RI Dapil Jateng II. Atas pokok permohonan Partai Berkarya tersebut, KPU Kabupaten Demak pun menyiapkan kronologis yang membantah dalil pemohon tersebut. Karena faktanya perolehan suara Partai Berkarya di Dapil Jawa Tengah II sebanyak 14.207 suara dan khusus di Kabupaten Demak sebanyak 9.097 suara. Tak hanya itu, alat bukti berupa formulir model DB-1 juga disiapkan untuk menunjukkan bahwa dalil pemohon tersebut tidak benar. Segala kelengkapan untuk menghadapi gugatan Partai Berkarya sudah disiapkan KPU Kabupaten Demak, namun ternyata permohonan Partai Berkarya yang sudah masuk dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) ternyata dicabut. Atas pencabutan gugatan Partai Berkarya tersebut, proses PHPU selesai. BSelain Partai Berkarya, KPU Kabupaten Demak juga menerima pengajuan gugatan PHPU dari Magdarini Okta Sumarno, Caleg DPRD Kabupaten Dapil 3 Demak dari PDIP. Pemohon mendalilkan terkait hilangnya suara pemohon di Desa Bremi Kecamatan Mijen tanpa membuka kotak suara dan hilangnya suara di Desa Undaan Kidul Kecamatan Karanganyar. Selain itu, disebutkan pula terkait tidak adanya transparansi pemberitahuan data Formulir salinan C1 secara umum di Kantor Balaidesa Kedungwaru, Kecamatan Karanganyar dan Desa Tanjunganyar, Kecamatan Gajah. Atas dalil Pemohon (Magdarini Okta Sumarno) tersebut, KPU Kabupaten Demak menyiapkan kronologis dan alat bukti untuk membantah apa yang didalilkan pemohon. Terkait hilangnya suara di Desa Bremi Kecamatan Mijen tanpa membuka kotak suara misalnya, kejadian yang sebenarnya adalah pada saat rekap perolehan suara, di Formulir DA1 plano data telah sesuai dengan jumlah yang seharusnya. Memang ada kejadian ketika input data di aplikasi bantu yang ditampilkan di layar terjadi kesalahan input yaitu suara yang diperoleh Caleg PDIP atas nama Saiful Hadi, terinput di kolom pemohon yaitu Magdarini Okta Sumarno sebanyak 22 suara. Atas kejadian tersebut PPK telah melakukan pengecekan di Formulir Model DAA1 plano, formulir model C1 hologram TPS 02 Desa Bremi serta formulir salinan C1 dan foto formulir C1 plano Bremi yang dibawa oleh pengawas kecamatan. Perolehan suara Saiful Hadi di TPS 02 Desa Bremi benar berjumlah 22 sedangkan perolehan suara Magdarini berjumlah nol. Setelah dilakukan pengecekan, PPK Kecamatan Mijen terus melakukan pembetulan data pada aplikasi bantu dan Formulir Model DA1 Plano tanpa membuka kotak. Karena, dengan membuka formulir model DAA1, foto C1 plano TPS 02 Desa Bremi serta formulir salinan C1 sudah ditemukan jawabannya. Pada waktu itu pun tidak ada keberatan dari pengawas maupun saksi. Selanjutnya terkait dalil pemohon mengenai hilangnya perolehan suara di Desa Undaan Kidul Kecamatan Karanganyar.  Di kronologis yang dibuat KPU Demak dijelaskan bahwa pada saat rapat rekapitulasi perolehan suara di tingkat PPK Kecamatan Karanganyar, di formulir DAA1 plano data telah sesuai dengan jumlah yang seharusnya. Namun di dalam input data di aplikasi bantu yang ditampilkan di layar untuk TPS Undaan KIdul, terjadi kesalahan yaitu suara yang diperoleh Caleg PDIP Magdarini Okta Sumarno, terinput di kolom Caleg PDIP atas nama Pujiyati yaitu sebanyak empat suar. Atas kejadian tersebut PPK Kecamatan Karanganyar melakukan pengecekan di formulir model DAA1 plano, C1 hologram DPRD, serta salinan C1 DPRD yang dibawa oleh pengawas kecamatan. Dari pengecekan tersebut, diketahui bahwa suara Pujiyanti di TPS 08 Desa Undaan Kidul sebanyak nol, sedangkan suara Magdarini sebanyak empat suara. Selanjutnya dilakukan pembetulan oleh PPK pada aplikasi bantu. PPK Kecamatan Karanganyar tidak melakukan pembukaan kotak suara, karena dengan membuka Formulir DAA1 plano DPRD dan Formulir model C1 hologram DPRD sudah ditemukan jawaban. Kemudian terkait dalil pemohon yang menyatakan bahwa tidak adanya transparansi terkait pemberitahuan data Formulir Model C1 secara umum di Kantor Balaidesa Kedungwaru, dijelaskan bahwa Panitia Pemungutan Sauara Desa Kedungwaru Lor telah melakukan penempelan formulir model C1 di papan pengumuman balaidesa setempat pada tanggal 18 April 2019 Pukul 16.00 WIB.  Begitupula di Desa Kedungwaru Kidul Kecamatan Karanganyar dan Desa Tanjunganyar Kecamatan Gajah. Di Desa Kedungwaru Kidul Kecamatan Karanganyar, Panitia Pemungutan Suara telah melakukan penempelan formulir model C1 di papan pengumuman Balai desa setempat pada tanggal 20 April 2019 Pukul 14.00 WIB. Sedangkan PPS Desa Tnjunganyar Kecamatn Gajah juga telah melakukan penempelan formulir model C1 di papan pengumuman balaidesa setempat pada tanggal 18 April 2019 Pukul 09.15 WIB. Jadi, apa yang didalilkan pemohon adalah tidak benar. Bukti penempelan formulir C1 oleh PPS di tiga desa tersebut adalah dokumentasi pada saat kegiatan penempelan dilakukan. Kronologis dan alat bukti untuk menjawab permohonan Magdarini Okta Sumarno telah disiapkan jauh-jauh hari oleh KPU Kabupaten Demak pasca permohonan diajukan oleh pemohon. Permohonan Magdarini pun telah keluar di BRPK. Atas hal tersebut, KPU Kabupaten Demak telah siap untuk mengikuti sidang di MK sesuai jadwal yang ditentukan. Dalam masa menunggu jadwal sidang, ternyata KPU Kabupaten Demak mendapatkan informasi dari pemohon bahwa pihaknya telah mencabut gugatan sebelum keluarnya BRPK. Kemudian pemohon mengurus hal tersebut ke MK, dan hasilnya adalah permohonan pencabutan tersebut telah disetujui MK sebelum BRPK dikeluarkan, yakni tanggal 28 Juni 2019. Pencabutan gugatan PHPU atas nama Magdarini ini tentunya menjawab pertanyaan public bahwasanya kinerja KPU Kabupaten Demak dan penyelenggara di tingkat kecamatan, desa maupun TPS sudah sesuai aturan yang ada. Dapat diambil kesimpulan bahwa KPU Kabupaten Demak dan jajaran telah melaksanakan tugas secara dengan baik dengan berpedoman pada prinsip penyelenggara pemilu yaitu mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, professional, akuntabel, efektif dan efisien. Dari pengalaman yang pernah terjadi, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh penyelenggara pemilu agar dalam menghadapi PHPU tidak kalang kabut. Pertama, penyelenggara pemilu seyogyanya melaksanakan semua tahapan pemilu sesuai dengan regulasi yang ada. Jika ada beberapa hal yang dilanggar, kerepotan akan dirasakan di akhir. Kedua, menata dengan baik seluruh dokumen selama proses tahapan berlangsung. Ketiga, mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan PHPU dengan cara membaca gesture politik calon pemohon, kejadian yang mungkin disoal, atau daerah yang mungkin disoal. Keempat, membuat kronologi setiap proses tahapan yang bersifat krusial. Kelima, membuat daftar alat bukti. Keenam, menyiapkan alat bukti. Ketujuh, menyiapkan diri untuk mengikuti sidang di MK dengan bekal pemahaman dan pengetahuan terkait pokok pemahaman pemohon serta seluruh proses tahapan pemilu yang berlangsung. Jika semua dipesiapkan dengan baik, bukan tidak mungkin semua proses akan berjalan lancar, dan dali yang diajukan Pemohon terbantahkan. Dalam penyelenggaraan pemilu, Perselisihan Hasil Pemilu adalah sebuah proses yang harus dilalui dengan enjoy. Romansa PHPU akan menjadi cerita menarik karena suka duka dalam proses pelaksanaannya justru membuat kuat dan memperkokoh persatuan penyelenggara pemilu. Sebegitu menariknya perjalanan PHPU maka tak salah jika ada istilah “Rindu Terberat Adalah Mengingatmu PHPU 2019”. (Penulis adalah Anggota KPU Kabupaten Demak Divisi Hukum dan Pengawasan)


Selengkapnya
68

Refleksi SDM atas Pemilu Serentak 2019

(Siti Ulfaati, Divisi SDM KPU Kabupaten Demak)   Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 merupakan putusan yang mendasari pelaksanaan Pemilu Serentak (DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden) di Indonesia Tahun 2019. Amanat putusan MK tersebut, kemudian dibuat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum untuk menyelenggarakan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden pada waktu yang bersamaan. Pemilu Serentak 2019 merupakan sebuah momentum untuk dapat mewujudkan Pemilu yang lebih baik dan membentuk sebuah Pemerintahan yang sehat antara Eksekutif dan Legislatif. Selain itu, Pemilu Serentak 2019 bertujuan untuk meminimalkan pembiayaan negara dalam pelaksanaan Pemilu, meminimalisir politik biaya tinggi bagi peserta pemilu, serta politik uang yang melibatkan pemilih, penyalahgunaan kekuasaan atau mencegah politisasi birokrasi, dan merampingkan skema kerja pemerintah. Pemilu serentak akan mempengaruhi komitmen penguatan partai politik dalam koalisi permanen untuk memperkuat basis kekuatan mereka di lembaga-lembaga negara yang tinggi sehingga dengan Pemilu Serentak diharapkan bisa memfasilitasi pembenahan Sistem Presidensial di Indonesia (Ratnia Sholihah, 2018:73). Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 masih menimbulkan berbagai permasalahan yang harus segera dievaluasi untuk memperbaiki kualitas Pemilu di Indonesia ke depannya. diantaranya adalah terkait rumitnya pelaksanaan Pemilu Serentak 2019, sehingga berdampak pada banyaknya korban jiwa yang berjatuhan, panjang dan lama proses penyelengggaraan Pemilu Serentak 2019, serta kerumitan dalam rekapitulasi hasil Pemilu. Refleksi Pemilu 2019: Harapan dan Realitas Indonesia telah melaksanakan Pemilihan Umum Serentak Pileg dan Pilpres untuk pertama kalinya pada tanggal 17 April 2019. Sebagaimana amanat dan pertimbangan-pertimbangan yang telah disebutkan dalam Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 yang mendasari Pemilu Serentak 2019, bahwa ada harapan, dengan Pemilu Serentak dapat mewujudkan Pemilu Sederhana dan Biaya murah serta Pemerintahan yang lebih sehat serta demokratis. Akan tetapi, pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 malah memunculkan berbagai catatan yang harus diperbaiki dalam pelaksanaan sistem Pemilu ke depan. Pemilu serentak 2019 masih meninggalkan berbagai macam catatan yang harus diperbaiki. Banyaknya kasus petugas KPPS yang sakit dan meninggal dunia baik dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), maupun personel Polri merupakan dampak dari proses Pemilu yang 2019 yang rumit dan  melelahkan. Dari data yang ada petugas KPPS yang meninggal mencapai 554 orang, baik dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), maupun personel Polri.  Jumlah tersebut belum termasuk dengan jumlah petugas yang sakit sebanyak 3778 orang (cnnindonesia.com, 7 Mei 2019). Banyaknya petugas yang menjadi korban kemudian menimbulkan dugaan bahwa petugas terlalu lelah dalam melaksanakan seluruh proses Pemilu 2019 terutama pada tahap rekapitulasi suara. Karena berdasarkan penjelasan Komisioner KPU RI, pemungutan suara harus sudah selesai  pada  hari yang sama dengan hari pemungutan suara hingga pukul 24.00 waktu setempat, dan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi jika  penghitungan  suara belum selesai hingga pukul 24.00, maka  dilanjutkan  tanpa jeda. Oleh karena itu, Sistem Pemilu Serentak ini menyebabkan kelelahan yang luar biasa pada penyelenggara Pemilu di tingkat bawah. (nasional.kompas.com, 23 April 2019). Banyaknya korban dari penyelenggara Pemilu 2019 baik yang meninggal maupun yang sakit merupakan dampak dari beratnya beban yang ditanggung oleh KPU. Hal ini terlihat bahwa KPU harus menyiapkan perangkat penyelenggara Pemilu 2019 mulai dari KPU Pusat, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, Bawaslu dan Panwaslu, Panwascam sejumlah 5,61 juta orang. KPU juga harus mendistribusikan sekitar 700 juta surat suara, 4,65 juta kotak surat suara di 813.350 TPS. Selain beban fisik tersebut KPU juga harus membuat peraturan KPU yang menjadi landasan bagi setiap kegiatan teknis Penyelenggaraan Pemilu di TPS-TPS sampai pada rekapitulasi di tingkat KPU Pusat. Semua beban di KPU menjadikan Pemilu 2019 menjadi semakin kompleks. Berdasarkan penelitian dari lembaga Indonesia Institute menyatakan bahwa Pemilu Serentak 2019 di Indonesia merupakan Pemilu yang paling rumit di dunia, melebihi rumitnya Pemilu 2019 di India atau Afrika Selatan. Rumitnya sistem Pemilu di Indonesia ditunjukkan dengan proses yang panjang mulai tahap pendaftaran peserta, verifikasi berkas peserta, sampai pada tahap kampanye yang memakan waktu hingga 8 bulan. Selain itu, terkait Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang banyak masalah, para pemilih yang harus mencoblos lima surat suara, pelaksanaan perhitungan suara yang panjang sehingga banyak memakan korban jiwa dari pihak PPS dan PPK serta masih lemahnya sistem pengawasan terhadap pelanggaran-pelanggaran Pemilu merupakan hal yang harus dievaluasi dari pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 di Indonesia. Padahal, harapan dengan diadakannya Pemilu Serentak dengan menggabungkan waktu pelaksanaan Pileg dan Pilpres akan memudahkan dan menyederhanakan proses Pemilu di Indonesia. Pemilu yang mudah dan sederhana ini akan meningkatkan partisipasi politik masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Tingginya tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilu ini akan mewujudkan Pemerintahan yang legitimate. Di sisi lain, argumen-argumen yang menjadi pertimbangan dalam melaksanaan Pemilu Serentak 2019 ternyata tidak sesuai dengan harapan. Misalnya saja, dalam pertimbangannya Pelaksanaan Pemilu Serentak akan dapat menghemat anggaran penyelenggaraan Pemilu sampai 40 persen dari pada penyelenggaraan Pemilu yang terpisah. Namun faktanya, biaya pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 menghabiskan dana sebesar 24,8 triliun rupiah atau lebih mahal 700 milyar rupiah dari pada pelaksanaan Pemilu 2014 yang menghabiskan biaya sebanyak 24,1 triliun rupiah (www.kpu.go.id). Pemilu Serentak 2019 juga belum dapat meminimalisir biaya Politik yang dikeluarkan oleh Peserta Pemilu. Tingginya biaya politik ini ditunjukkan dengan masih masifnya politik uang yang terjadi selama pelaksanaan Pemilu Serentak 2019. Harapan lain, dengan pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 adalah terwujudnya kestabilan dan kondisifitas kehidupan politik masyarakat, mengurangi konflik dalam masyarakat serta dapat memperkuat sistem presidensial. Akan tetapi pada realitanya, setelah pelaksanaan Pemilu Serentak 2019, kehidupan politik masyarakat menjadi tidak kondusif akibat adanya polarisasi dalam masyarakat – muncul istilah cebong dan kampret – yang memicu kegaduhan di media sosial  dan masyarakat. Kegaduhan tersebut memunculkan rasa saling curiga terhadap proses pelaksanaan Pemilu yang dianggap curang atau tidak netral yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu (KPU). Dalam pelaksanaan Pemilu Serentak 2019, perubahan sistem Pemilu dari Pemilu bertahap menjadi Pemilu Serentak membawa dampak teknis bagi penyelenggaraan pemilu. Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 membutuhkan energi yang besar dari para penyelenggara pemilu.  Rentang waktu persiapan penyelenggaraan pemilu menjadi lebih panjang. Aspek teknis penyelenggaraan pemilu menjadi lebih rumit serta logistik pemilu menjadi lebih banyak. Hal ini, menyebabkan harapan-harapan terkait pelaksanaan Pemilu serentak 2019 dapat menghemat biaya dan lebih mudah dilaksanakan malah menjadi paradoks dengan banyaknya permasalahan Pemilu Serentak 2019. Pelaksanaan Pemilu Serentak juga belum tentu akan berdampak positif terhadap penguatan sistem presidensial multipartai seperti di Indonesia. Karena dengan sistem pemerintahan ceck and balances yang dianut di Indonesia posisi parlemen juga masih sangat kuat dengan adanya sistem koalisi antar partai dalam parlemen. Hal ini dapat menjadikan posisi parlemen (DPR) bisa sangat kuat dari pada Presiden apabila mayoritas koalisi di parlemen tidak mendukung kebijakan dari presiden (D. Hanan, 2016). SDM Pemilu 2019 Selain untuk mencerminkan kedaulatan rakyat, pelaksanaan Pemilu merupakan sarana bagi rakyat dalam menyalurkan hak asasi manusia yang sangat prinsipil yakni hak politik. Oleh karenanya, dalam rangka menjamin hak asasi itu, maka pemerintah wajib menyelenggarakan Pemilu yang jujur, adil, bebas dan berkepastian hukum baik bagi peserta Pemilu maupun pemilih sebagai sebuah perwujudan kehidupan yang demokratis. Pelaksanaan sistem Pemilu harus dilaksanakan oleh SDM yang berkualitas, berintegritas dan mumpuni. Sepanjang sejarah, Pemilu Serentak 2019 adalah Pemilu dengan jumlah badan adhoc terbanyak, dikarenakan adanya perubahan jumlah pemilih yang awalnya 500 menjadi maksimal 300 pemilih per TPS. Di KPU Kabupaten Demak sendiri ada sebanyak 37.756 SDM badan adhoc yang bertugas di 14 Kecamatan, 249 Desa/Kelurahan dan 3.615 Tempat Pemungutan Suara (TPS). Dari jumlah tersebut 70 diantaranya Anggota PPK, 42 sekretariat PPK, 747 Anggota PPS, 747 Sekretariat PPS, 3.615 Petugas Pemutakhiran Data Pemilih, 25.305 KPPS di 3.615 TPS dan 7.230 Petugas Ketertiban TPS. Dalam perjalanannya banyak dinamika yang mewarnai pembentukan badan adhoc pada Pemilihan Umum Kabupaten Demak Tahun 2019, salah satunya adalah pengunduruan diri. Untuk data Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yang melakukan Penggantian Antarwaktu sebanyak 5 (lima) orang. Di tingkat Panitia Pemungutan suara (PPS) sebanyak 35 orang dan di tingkat Sekretaris dan Staf Sekretariat PPK sebanyak 4 orang. Pahlawan Demokrasi Pemilu 2019 meninggalkan banyak cerita dan juga luka. Di Kabupaten Demak petugas badan adhoc yang meninggal dunia sebanyak 7 orang dan 20 orang yang sakit. Adapun faktor yang menyebabkan badan adhoc meninggal ataupun sakit, diantaranya adalah Pemilu dan Pilpres pada Tahun 2019 digelar secara serentak untuk memilih Presiden, DPR, DPRD, dan DPD. Hal ini berpengaruh pada tenaga, waktu, hingga pikiran serta beban badan adhoc. Walaupun honor yang diterima sama saja dengan beban pekerjaan lebih banyak. Selain itu, realilitas Badan adhoc yang bekerja selama tahapan Pemilu saja membuat mereka belum memahami sistem kerja learning by doing, belum lagi terkait periodesasi badan adhoc yang tidak membolehkan mereka yang sudah 2 periode mengikuti atau mendaftarkan diri. Dengan beban kerja yang berat dan jam kerja yang tidak rasional banyak badan adhoc yang memilih mengundurkan diri. Banyak pula yang memilih menjadi tim pemenangan salah satu paslon atau caleg. Di Kabupaten Demak sendiri, pada saat Pemilu Serentak 2019 melakukan fasilitasi antara petugas badan adhoc dengan BPJS Ketenagakerjaan untuk bekerjasama dalam keikutsertaan keanggotaan BPJS Ketenagakerjaan dengan iuran mandiri oleh badan adhoc. Hal tersebut merupakan bagian ihtiar yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Demak mengingat beban kerja atau resiko saat Pemilu Serentak 2019 yang tidak bisa diprediksi. Dan ternyata fakta di lapangan menunjukkan ada 7 (tujuh) petugas demokrasi yang meninggal dunia dan 20 (dua puluh) yang mengalami sakit dan lain-lain. Melalui BPJS Ketenagakerjaan petugas badan adhoc yang meninggal mendapatkan santunan kematian sebesar 24 Juta Rupiah dan petugas yang kecelakaan mendapatkan santuan kecelakaan. Adapun besarannya variatif. Perlu diketahui bahwa KPU Kabupaten Demak merupakan satu-satunya KPU di Indonesia yang melakukan fasilitasi kerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan. Selain santunan BPJS Ketenagakerjaan, petugas badan adhoc yang meninggal mendapatkan santunan dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Jawa Tengah sebesar 10 Juta Rupiah yang diserahkan langsung oleh Gubernur Jawa Tengah Bapak Ganjar Pranowo di kantor Gubernur Provinsi Jawa Tengah Jl. Pahlawan No.9, Mugassari, Kec. Semarang Selatan Kota Semarang, Jawa Tengah. KPU RI melalui Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 926/KU.03.2-Kpt/05/KPU/IV/2019 tentang Pedoman Teknis Pemberian Santunan Kecelakaan Kerja Bagi Anggota dan Sekretariat Panitia Pemilihan Kecamatan, Sekretariat Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, Sekretariat Panitia Pemungutan Suara, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, dan Petugas Ketertiban Tempat Pemungutan Suara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2019, juga memberikan santunan kepada badan adhoc. Di Kabupaten Demak sendiri dari 20 (dua puluh) orang yang sakit dan 7 (tujuh) orang yang meninggal hanya 6 orang yang mendapatkan santunan dengan alasan sakit. Melalui Keputusan Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 471/KU.03.2-Kpt/05/SJ/VIII/2019, 6 (enam) petugas badan adhoc yang mendapatkan santunan adalah Suryo Warsito (KPPS), Asih Priyati (KPPS), Irwanto (KPPS), Yolanda Aprilia Savitri (PPS), Abdur Rouf (PPS) dan Sri Surati (KPPS). Dari data tersebut banyak sekali badan adhoc yang tidak mendapatkan snatunan merasa kecewa mengingat proses untuk mendapatkan santunan dari KPU RI sangat rijit dan rumit. Bahkan, badan adhoc di tingkat PPK dan PPS menjadi bulan-bulanan atau tempat pelampiasan kekecewaan dan kekesalan. Ahli waris atau korban mempertanyakan komitmen dari KPU terkait santunan tersebut. Mereka merasa di-PHP atau diberikan janji kosong. Harapannya di Pemilu atau Pilkada mendatang KPU RI bisa lebih prepare atau memberikan sosialisasi yang lebih masiv kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota mengenai santunan. Mengingat ketika proses tahapan identifikasi, penentuan dan pemberian santunan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota tidak bisa mengakses bagaimana proses, alasan kenapa badan adhoc yang sudah mengajukan tidak mendapatkan dan sejauh mana perkembangannya. Ini menjadikan kebingungan yang luar biasa dikarenakan KPU Kabupaten/Kota menjadi tempat bertanya, mencari atau mengakses informasi oleh masyarakat, korban atau ahli waris yang meninggal. KPU Kabupaten Demak sangat menghargai dan memberikan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada badan adhoc atas dedikasi, perjuangan, pengorbanan dan keihlasan terlebih kepada pahlawan demokrasi yang gugur di saat bertugas. Santunan tersebut tidak mampu menggantikan atas apa yang sudah mereka berikan kepada demokrasi kita, akan tetapi semoga bisa menjadi pengobat dan rasa terimakasih KPU Kabupaten Demak kepada petugas badan adhoc. Kesuksesan Badan adhoc Pemilu Serentak 2019 di Kabupaten Demak telah berakhir dengan ditandai penetapan hasil rekapitulasi perolehan dan penghitungan suara oleh KPU Kabupaten Demak pada hari Senin, tanggal 22 Juli 2019 di Hotel Amantis Demak. Beberapa catatan yang bisa diambil adalah tingkat partisipasi pemilih khusus di Kabupaten Demak meningkat melebihi target yang ditetapkan oleh KPU RI (77,5 %) disemua tingkat Pemilihan yaitu 82,45% untuk partisipasi pemilih di tingkat Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI 83,38%, DPD 83,43%, DPRD Provinsi 83,39% dan DPRD Kabupaten 83,36%. Tingkat Partisipasi Pemilih yang meningkat ini bisa terwujud karena adanya kerjakeras dan kerjasama berbagai pihak baik penyelenggara pemilu, peserta pemilu, stakeholder, dan masyarakat. Dan khususnya dari badan adhoc. Berkat kerja keras seluruh pihak dan juga badan adhoc yang ada di Kabupaten Demak, Pemilu Serentak 2019 berjalan lancar tanpa adanya gugatan. Ini merupakan prestasi yang luar biasa mengingat Pemilu 2019 adalah Pemilu Serentak yang dilakukan pertama kali di Indonesia. Dengan berbagai dinamika yang terjadi.


Selengkapnya