Opini

453

MELAMPAUI SPIRIT PERJUANGAN KARTINI

oleh Siti Ulfaati (Anggota KPU Kabupaten Demak)   Sudah mahfum bagi bangsa Indonesia, bahwa setiap tanggal 21 April diperingati sebagai hari Kartini. Sosok Kartini begitu penting – terutama bagi kaum perempuan Indonesia – karena perjuangannya sebagai perempuan dalam meraih kesempatan hak-hak yang sama dengan kaum laki-laki. Paling penting adalah perjuangan Kartini agar kaum perempuan dapat memperoleh akses yang sama dalam bidang pendidikan sebagaimana mudahnya laki-laki mendapatkan pendidikan pada saat itu. Kartini memutuskan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan melalui tulisannya, yang terkenal adalah "Habis Gelap Terbitlah Terang" dan "Surat-surat Kartini". Dalam tulisannya, Kartini mengungkapkan keinginannya untuk membuka akses pendidikan bagi perempuan Indonesia, sehingga mereka dapat belajar dan memperoleh kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam hal pekerjaan dan kesetaraan di dalam masyarakat. Selain itu, Kartini juga memperjuangkan hak perempuan untuk berbicara dan berekspresi secara bebas. Kartini dianggap sebagai tokoh penting dalam sejarah perjuangan perempuan di Indonesia karena gagasannya mengenai pendidikan dan kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki diadopsi oleh banyak orang pada masa itu dan mempengaruhi gerakan emansipasi perempuan di Indonesia. Seiring perkembangan zaman, spirit perjuangan kartini juga meluas dalam bidang politik dengan gerakan emansipasi politik perempuan Indonesia. Mewujudkan Afirmative Action Secara penuh Emansipasi perempuan dalam bidang politik merupakan proses pembebasan dan pemberdayaan perempuan untuk berpartisipasi secara aktif dan merata dalam bidang politik. Hal ini meliputi hak-hak perempuan untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, serta berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik dan pengambilan kebijakan. Di beberapa negara, emansipasi perempuan dalam bidang politik telah terwujud dan perempuan memiliki peran yang sama dengan laki-laki dalam politik. Contohnya, di Negara kawasan Skandinavia seperti Norwegia dan Islandia, perempuan memiliki representasi yang seimbang dengan laki-laki di parlemen dan kabinet pemerintah. Bahkan di beberapa negara, perempuan menjadi kepala negara seperti di Jerman, Taiwan, dan Selandia Baru. Hal ini menunjukkan bahwa emansipasi politik perempuan tidak hanya diwujudkan secara konstitusional dalam peraturan perundang-undangan saja (secara yuridis) akan tetapi juga dapat diwujudkan dalam praktik politik nyata. Di Indonesia sendiri, untuk dapat mewujudkan emansipasi politik perempuan ini telah diakomodir dalam kebijakan yang dikenal dengan affirmative action. Meskipun dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak terdapat ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai afirmative action, akan tetapi pengaturan Pasal 28I Ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa "setiap orang bersamaan kedudukannya di depan hukum dan dalam masyarakat, berhak atas perlindungan diri dan kekayaan, hak atas pekerjaan yang layak dan hak atas penghidupan yang baik bagi kemanusiaan”. Pasal tersebut mengandung makna bahwa setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di depan hukum dan dalam masyarakat. Dalam konteks afirmative action, hal ini dapat diartikan sebagai hak setiap orang untuk memperoleh perlakuan yang sama dalam hal akses dan kesempatan, termasuk di antaranya dalam hal akses dan kesempatan politik Meskipun tidak secara khusus mengatur tentang afirmative action, Pasal 28I Ayat (2) UUD Tahun 1945 dapat diinterpretasikan sebagai landasan konstitusional bagi afirmative action dalam hal emansipasi politik perempuan. Dalam hal ini, afirmative action dapat dianggap sebagai upaya yang diperlukan untuk memastikan bahwa hak-hak perempuan diakui dan dilindungi, termasuk hak untuk berpartisipasi secara merata dalam politik. Dalam praktiknya, afirmative action dalam konteks emansipasi politik perempuan telah diimplementasikan melalui berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan, seperti kuota perempuan dalam pemilihan umum atau pemberian dukungan finansial dan teknis bagi perempuan yang ingin terlibat dalam politik. Meskipun demikian, implementasi afirmative action dalam praktik masih menghadapi berbagai kendala dan tantangan, seperti perlawanan dari kelompok konservatif dan kebijakan yang belum memadai. Perjuangan Tanpa Henti Api perjuangan emansipasi politik perempuan yang telah dikobarkan oleh Kartini sejak 119 tahun yang lalu haruslah terus dikobarkan oleh perempuan-perempuan Indonesia masa kini. Perjuangan politik dalam mewujudkan kesetaraan dan kebebasan politik perempuan. Perjuangan ini tentu bukan sebagai ajang balas dendam kaum perempuan atas ketidakadilan serta penindasan politik yang dilakukan oleh laki-laki. Perjuangan ini juga bukan bertujuan untuk melawan laki-laki, akan tetapi melawan budaya patriarkhi yang menimbulkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan dengan berbagai macam stigmatisasinya terhadap kaum perempuan. Perjuangan ini, merupakan perjuangan untuk mewujudkan affirmative action secara nyata dalam praktik politik di Indonesia, dimana melalui affirmative action ini dapat menjamin adanya kesetaraan politik antara perempuan dan laki-laki. Afirmative action digunakan dalam konteks emansipasi politik perempuan, di mana tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih merata bagi perempuan dalam partisipasi politik. Affirmative action dalam konteks emansipasi politik perempuan dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain dengan penyediaan akses yang lebih merata terhadap pendidikan dan pelatihan politik untuk perempuan, Pengenalan sistem kuota untuk perempuan dalam pemilihan umum atau posisi politik tertentu, sehingga terdapat jaminan bagi perempuan untuk terpilih dan terlibat dalam politik, Pengenalan sistem penghargaan dan insentif bagi partai politik dan organisasi politik yang menghasilkan kader dan pimpinan perempuan yang sukses, Penyediaan dukungan finansial dan teknis untuk perempuan yang ingin terlibat dalam politik, seperti dukungan untuk kampanye politik atau akses terhadap jaringan dan sumber daya politik yang diperlukan. Hal-hal tersebut dapat dilakukan untuk dapat membuka jalan serta sarana perjuangan politik tanpa henti bagi perempuan Indonesia dalam mewujudkan affirmative action. Affirmative action dapat membantu perempuan untuk memperoleh akses dan kesempatan yang sama dalam politik, sehingga tercipta keberagaman dan representasi yang lebih merata dalam pengambilan keputusan politik. Dengan adanya affirmative action, perempuan dapat menjadi pemimpin yang kuat dan terlibat dalam proses pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan politik, sehingga terjadi emansipasi politik perempuan yang lebih merata. Momentum pelaksanaan Pemilu Serentak Tahun 2024 adalah medan perjuangan tanpa henti kaum perempuan Indonesia. Sehingga partisipasi aktif politik perempuan pada Pemilu Serentak 2024 sangat dibutuhkan dalam rangka melanjutkan perjuangan politik Kartini. Bila Kartini telah melaksanakan tugasnya dengan baik dengan menyalakan api perjuangan perempuan pada zamannya, kini saatnya kita perempuan-perempuan Indonesia masa kini, harus mampu melampaui perjuangan Kartini, minimal kita bukan menjadi barisan yang memadamkan api perjuangan Kartini itu. Bangkit perempuan Indonesia, dan Selamat Mengobarkan Perjuangan Kartini.


Selengkapnya
537

Pemilu dan Senyuman

Oleh Hastin Atas Asih   “Hadapi pemilu dengan senyuman, dan buatlah Indonesia tersenyum”. Mungkin kalimat tersebut dapat menggambarkan sebuah pesan yang disampaikan Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari saat menyampaikan sambutan dalam acara Peluncuran Tahapan Pemilu 2024 yang dilaksanakan Selasa (14/6/2022). Pesan agar segenap jajaran KPU se-Indonesia senantiasa tersenyum itu, disebutnya sebagai quality control dalam memberikan pelayanan publik.  Pada kesempatan tersebut, Hasyim Asy’ari tak segan untuk meminta kepada peserta, pemilih, stakeholder, dan seluruh masyarakat Indonesia untuk melaporkan kepadanya apabila terdapat personil KPU di Indonesia yang tidak tersenyum saat memberikan pelayanan. Meski terdengar sederhana, namun pesan bijak Ketua KPU RI tersebut memiliki makna mendalam. Betapa tidak, senyum sebagai bentuk ekspresi wajah yang terjadi akibat timbulnya suatu gerakan di bibir dan sekitar mata ini akan memberikan pengaruh yang luar biasa apabila dilakukan dengan tulus. Senyum mampu membuat suasana lebih menyenangkan dan membahagiakan. Senyum juga mampu mengubah mood orang yang diajak tersenyum menjadi lebih baik, lebih positive thinking, dan merasa lebih akrab dengan lawan bicara. Tak hanya itu, dengan tersenyum wajah juga akan terlihat lebih berbinar dan memesona, stres memudar, hidup pun terasa lebih enjoy. Atas kondisi tersebut tentunya berdampak terhadap penyelesaian pekerjaan yang lebih cepat dan lebih baik. Benar saja senyum sangat penting dilakukan oleh setiap penyelenggara pemilu. Pasalnya, dengan banyaknya tahapan yang harus dilalui serta segunung persoalan yang berpotensi terjadi, sangat mungkin akan membuat seorang penyelenggara pemilu menjadi lupa tersenyum. Padahal semua pelaksanaan tahapan tak ada yang luput dari yang namanya melayani publik. Karena itu, penyelenggara pemilu harus mampu mengelola permasalahan dengan baik, serta tak pernah lupa senyum dalam memberikan pelayanan meski dalam kondisi apapun.  Salah satu kegiatan yang harus dilaksanakan oleh jajaran KPU adalah sosialisasi. Kegiatan yang dilaksanakan mulai awal hingga akhir tahapan ini tentu saja menguras tenaga. Namun begitu, senyum tetap harus mengembang agar publik merasa terlayani dengan baik. Dalam penyampaian sosialisasi tatap muka misalnya, senyum menjadi hal wajib yang harus disunggingkan ketika bertemu dengan para pemilih. Dengan cara ini, suasana akan terasa lebih hangat dan menyenangkan sehingga informasi mengenai berbagai hal tentang pemilu tersampaikan dengan baik. Dengan penyampaian yang dibalut senyum, masyarakat dapat tergerak untuk berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pemilu. Partisipasi tersebut dapat diwujudkan melalui keikutsertaan masyarakat dalam mengawal setiap tahapan pemilu serta datang ke TPS pada hari pemungutan suara. Pun demikian pada tahapan-tahapan lainnya. Misalnya pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara yang dimungkinkan banyak terjadi konflik pada pelaksanaannya. Seperti kejadian tertukarnya surat suara, kesalahan dalam penghitungan suara, maupun ketidakpuasan peserta pemilu yang berpotensi menimbulkan keributan. Pada kondisi ini, secara psikologis hampir setiap orang pasti akan merasa galau dan khawatir. Namun, obat yang mujarab untuk mengatasi persoalan dan meredam emosi adalah senyum. Dengan senyum pikiran akan jernih dan solusi-solusi akan bermunculan. Dengan begitu satu persatu persoalan dapat terselesaikan dengan baik. “Ibadah tanpa rupiah” yang dipesankan Ketua KPU RI ini mungkin hanya akan menjadi buah bibir saja apabila tidak dikelola dengan baik. Jika itu terjadi tentu sangat disayangkan, karena pada dasarnya jika dikelola dengan baik, budaya senyum dapat mengakar dalam pelaksanaan aktivitas harian di lingkungan KPU se-Indonesia. Beberapa upaya pengelolaan yang dapat dilakukan diantaranya, pertama dengan membuat aturan kegiatan sehari-hari melalui sebuah Standar Opresianal Prosedur (SOP). Pada setiap SOP yang bersifat pelayanan, dapat dimasukkan keterangan kewajiban untuk “senyum” dalam memberikan pelyanan publik. Agar lebih lengkap lagi bisa ditambahkan “senyum, sapa, salam” (3S). Kedua, memasang tulisan imbauan, atau motto yang mencantumkan kewajiban “senyum” di setiap sudut ruangan dan arena publik. Ketiga, Memberikan pelatihan terkait tata cara memberikan pelayanan prima kepada publik dengan penekanan “senyum” sebagai budaya yang wajib diterapkan. Keempat, melakukan penilaian terhadap pelayanan publik yang telah dilakukan. Kelima, memberikan reward kepada pegawai yang telah memberikan pelayanan terbaik, serta teguran untuk pegawai yang belum memenuhi standar dalam memberikan pelayanan. Keenam, melakukan evaluasi secara berkala terhadap pelayanan publik yang telah dilakukan. Budaya senyum yang dikelola dengan baik sebagai upaya meningkatkan pelayan tentu saja akan menjadi sebuah spirit bagi KPU dan jajaran dalam memberikan pelayanan terbaik bagi peserta pemilu, pemilih, pemerintah, dan seluruh elemen masyarakat. Upaya tersebut diharapkan juga mampu menjawab permasalahan birokrasi sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Desain Reformasi Birokrasi, yang berbunyi bahwa pelayanan publik belum dapat mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat dan belum memenuhi hak-hak dasar warga Negara/penduduk. Dengan seruan budaya “senyum” yang disampaikan Ketua KPU RI dalam mengawali Tahapan Pemilu 2024, harapannya KPU tak hanya mampu menjawab tantangan pelayanan publik tersebut, namun juga mampu memberikan kepuasan lebih dari apa yang diharapkan masyarakat. Semoga Pemilu 2024 terselenggara dengan sukses dan seluruh masyarakat Indonesia tersenyum bahagia. (Penulis adalah Anggota KPU Kabupaten Demak Divisi Hukum dan Pengawasan)


Selengkapnya
465

Sebelum Kartini Menangis Kembali

Oleh: Siti Ulfaati “Pergilah, Laksanakan cita-citamu. Kerjalah untuk hari depan. Kerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham palsu tentang mana yang baik dan mana yangg buruk” (Surat R.A Kartini kepada Ny. Van Kool, dirangkum dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang) Mungkin salah satu penyesalan terbesar RA Kartini selama hidup adalah bagaimana sampai akhir hayat dirinya belum bisa mengubah sistem primordialisme yang selama ini menganggap perempuan yang hanya dianggap sebagai kasta kedua dalam sistem sosial di zamannya. Istilah sumur, dapur, dan kasur bisa dianggap sebagai penggambaran bahwa kehidupan mereka  sangat dibatasi, tidak ada ruang untuk bisa memperjuangkan nasib diri sendiri. Bagaimanapun juga, Kartini sangat iri dengan kakaknya, RMP Sasrokartono yang bisa menempuh pendidikan tinggi sampai ke TU Delft di negeri Belanda hanya karena terlahir sebagai seorang laki-laki. Kartini berpendapat bahwa adat istiadat yang ada di masyarakat saat  itu  hanya  menguntungkan laki-laki. Sistem demokrasi yang memperjuangkan emansipasi perempuan masih jauh dari harapan. Perjalanan hidup RA Kartini bisa menjelaskan bahwa cita-citanya untuk menempuh pendidikan tinggi harus kandas karena dilarang oleh ayahnya sendiri R.M.A.A. Sosroningrat, bahkan di usia yang masih muda, sekitar  24 tahun, ayahnya lebih memilih untuk menikahkan dirinya dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang notabene sudah memiliki tiga istri. Untunglah suaminya masih mengerti tentang pemikiran RA Kartini sehingga dirinya diberi keleluasaan untuk mendirikan sekolah rakyat bagi kaum perempuan. Butuh waktu 104 tahun agar pemikiran RA Kartini tentang emansipasi perempuan mendapat pengakuan yuridis dengan ditetapkannya UU Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD tentang  kuota 30 % pengurus partai harus berasal dari kaum perempuan agar dapat mengikuti pemilu. Hal ini menjadi angin segar bagi kaum perempuan sebagai jalan untuk bisa berpartisipasi merumuskan kebijakan. Memasuki era millenium  keterwakilan perempuan dalam ranah legistatif di DPR RI pun masih naik turun. Menurut  data BPS, dalam Pemilu tahun 2004 berjumlah 65 orang atau 11 %, tahun 2009 naik menjadi 100 orang (17%),  kemudian turun menjadi 97 orang (17%) dalam pemilu 2014, terakhir naik lagi pada pemilu 2019 menjadi 118 orang (20%). Walaupun hasilnya belum bisa memenuhi kuota 30% tetapi perempuan sudah menjadi salah satu bagian penting dalam merumuskan kebijakan sehingga perempuan bisa terus aktif untuk menjalankan demokrasi secara prosedural. Setelah pemerintah menjamin keterlibatan perempuaan melalui kebijakan kuota 30%, bagaimana dengan pencapaian demokrasi substansial yang juga diimpikan oleh RA Kartini. Sistem demokrasi substansial yang lebih menekankan kepada kedaulatan yang dimiliki oleh  perempuan untuk bisa menentukan nasibnya sendiri dalam segala hal sangat berhubungan dengan pola pikir mereka sendiri, apakah bisa menjadi subjek yang menginspirasi orang lain ataukah malah menjadi objek seperti di masa lampau. Globalisasi seakan-akan menjadi pisau bermata dua bagi kaum perempuan. Saat ini kaum perempuan bisa dengan mudah mengakses segala macam informasi yang bisa memperkuat pemikiran, tetapi di sisi lain, jika tidak diimbangi dengan sikap yang tegas, maka perempuan akan kembali manjadi komoditas untuk bisa ‘diperjualbelikan’. Dalam budaya barat yang menjunjung kapitalisme, perempuan mempunnyai value lebih untuk menjadi komoditas tersendiri. Penggambaran kesempurnaan perempuan sangat berkaitan dengan fashion dan perawatan tubuh serta teknologi yang dipakai sehingga bisa menjadi sosok perempuan yang ideal. Jika tidak disikapi dengan serius hal ini bisa menjadi bumerang tersendiri, karena banyak sekali budaya  barat yang bertentangan dengan norma-norma yang ada di Indonesia. Salah satu buktinya  adalah pengesahan Undang-Undang tindak pidana kekerasan sosial yang baru disahkan pada tahun 2022, padahal rancangannya sudah ada sejak tahun 2012 atau butuh waktu 10 (sepuluh) tahun untuk membahas undang-undang tersebut, sungguh memakan waktu yang lama. Seharusnya dengan adanya era globalisasi di mana teknologi sudah berkembang pesat juga harus diiringi dengan penguatan demokrasi substansial bagi kaum perempuan, salah satu caranya  dengan penguatan lembaga-lembaga di tingkatan gras root untuk bisa menjamin perempuan bisa dan berani berbicara politik. Organisasi perempuan seperti Fatayat di NU, Aisyiah di Muhammadiyah, Kohati di HMI atau Lembaga keperempuanan lainnya diharapkan bisa membuka lebih banyak ruang bagi perempuan untuk berbicara politik, bahkan jika perlu mereka bisa memperjuangkan kader-kader terbaiknya untuk terjun ke dunia politik. Bagaimanapun juga jika demokrasi prosedural sudah dijamin oleh pemerintah tetapi tidak diimbangi dengan demokrasi substansial hanya akan membawa perempuan menjadi korban perbudakan modern oleh paham kapitalisme, mereka hanya akan dieksploitasi terus menerus tanpa punya waktu untuk bisa mengubah nasibnnya sendiri. Jika itu terjadi, maka kondisi kaum perempuan di Indonesia serupa dengan kondisi yang dialami pada saat RA  Kartini masih hidup. Suatu kondisi yang membuat RA Kartini menangis setiap hari karena melihat perempuan hanya dianggap sebagai barang pemuas atas nama adat istiadat dan budaya. Karena itu dengan memanfaatkan momentum Hari Kartini, marilah kaum perempuan tetap berjuang untuk mengubah nasibnya sendiri lewat penguatan demokrasi substansial, semangat emansipasi perempuan yang telah dirintis oleh RA Kartini harus bisa menjadi pondasi semangat bagi kaum perempuan untuk bisa bersaing dalam segala bidang, jangan sampai  RA Kartini menangis kembali karena kondisi perempuan masih tetap dalam belenggu penjajahan. Jika dulu dijajah atas nama adat istiadat, sekarang kembali dijajah atas nama kecanggihan teknologi karena pada dasarnya adalah sebuah kesalahan besar jika seorang perempuan gigih memperjuangkan emansipassi tetapi gagap memberikan kontribusi. Jayalah terus kaum perempuan Indonesia!


Selengkapnya
560

Koordinasi Optimal, PDPB Maksimal

Oleh : Hastin Atas Asih   Butuh ketelatenan, keseriusan, koordinasi, kerja sama, kreativitas dan inovasi dalam melaksanakan kegiatan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan (PDPB). Dalam melaksanakan kegiatan yang bertujuan memperbarui data pemilih guna mempermudah proses pemutakhiran data pemilih pada pemilu/pemilihan ini memang membutuhkan kerja ekstra penyelenggara pemilu. Karena, kegiatan ini dilaksanakan di luar tahapan pemilu/pemilihan (post election) di mana pada masa itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten/Kota sedang tidak memiliki badan ad hoc baik di tingkat kecamatan maupun desa/kelurahan. PDPB merupakan salah satu sistem penyusunan daftar pemilih di Indonesia yang dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu dengan cara memperbarui data pemilih hasil pemilu/pemilihan sebelumnya secara berkelanjutan. Sistem ini dikenal dengan istilah continuous list, dan mulai diterapkan sejak tahun 2017.  Pelaksanaan sistem ini mengacu pada Pasal 204 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang berbunyi “KPU Kabupaten/Kota melakukan pemutakhiran data Pemilih berdasarkan daftar pemilih tetap Pemilu terakhir yang dimutakhirkan secara berkelanjutan”. Di Undang-Undang tentang Pemilu tersebut juga diatur tentang kewajiban bagi KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk melaksanakan pemutakhiran dan memelihara data pemilih secara berkelanjutan dengan memperhatikan data kependudukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara berurutan aturan tersebut termaktub pada pasal 14 huruf (l), pasal 17 huruf (l), dan pasal 20 huruf (l). Terkait teknis pelaksanaan PDPB awalnya diatur dalam Surat Dinas KPU RI Nomor 132/PL.02-SD/01/KPU/II/2021 perihal Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan Tahun 2021 sebagaimana telah diubah dengan Surat Dinas KPU Nomor 366/PL.02-SD/01/KPU/IV/2021. Dalam surat dinas tersebut disebutkan bahwa PDPB dilakukan secara berkala dengan instansi-instansi terkait, di antaranya instansi pemerintah daerah yang menangani administrasi kependudukan, kematian/pemakaman, TNI/Polri, pengadilan setingkat dan pada layanan data pemilih di tingkat kabupaten/kota. Kemudian KPU menetapkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan.  Penetapan PKPU ini pada intinya mempertegas surat dinas sebelumnya, dan secara teknis diatur lebih rinci. Pada PKPU 6 Tahun 2021 diatur bahwa pelaksanaan PDPB berjenjang dilakukan dengan cara memutakhirkan dan memelihara data pemilih secara berkesinambungan dengan memperhatikan data kependudukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam proses pelaksanaan PDPB dilaksanakan rapat koordinasi dengan lembaga terkait seperti Bawaslu, Kementrian/Lembaga/Instansi lain (instansi pemerintah daerah yang menangani administrasi kependudukan, kematian/pemakaman), TNI, dan POLRI. Rapat koordinasi ini dilaksanakan secara berkala minimal enam bulan sekali untuk KPU dan KPU Provinsi, dan minimal tiga bulan sekali untuk KPU Kabupaten/Kota. Pengaturan tentang perlu dilaksanakannya kegiatan rapat koordinasi adalah hal yang sangat penting. Karena pada kegiatan tersebut akan disampaikan hasil rekapitulasi PDPB serta akan disampaikan masukan terkait data-data yang dibutuhkan untuk PDPB. Seperti masukan pemilih baru yang dapat berasal dari pemilih pemula di mana yang bersangkutan pada saat pendataan sudah memasuki usia 17 tahun, maupun pemilih pemula karena alih status dari TNI/POLRI menjadi pensiunan. Begitu pula untuk pemilih tidak memenuhi syarat (TMS) karena meninggal dunia, pemilih yang berubah status menjadi anggota TNI atau POLRI, serta pemilih yang dicabut hak pilihnya. Selain itu, pemilih yang pindah domisili. Di PKPU Nomor 6 Tahun 2021 juga diatur tentang rekapitulasi PDPB tingkat KPU kabupaten/kota. Dijelaskan di Pasal 22 ayat 2 bahwa KPU Kabupaten/Kota menyampaikan data rekapitulasi PDPB dalam rapat koordinasi PDPB setiap tiga bulan. Sedangkan di Pasal 27 ayat 1 disebutkan bahwa KPU Provinsi melakukan rekapitulasi PDPB tingkat provinsi setiap bulan berdasarkan rekapitulasi PDPB dari KPU Kabupaten/Kota. Artinya, Rekapitulasi hasil PDPB dilaksanakan KPU Kabupaten/Kota setiap bulan dan selanjutnya dilaporkan ke KPU Provinsi untuk direkap di tingkat provinsi. Kemudian setiap tiga bulan dilakukan rekapitulasi kembali untuk disampaikan dalam rapat koordinasi yang dihadiri instansi-instansi terkait, di antaranya instansi pemerintah daerah yang menangani administrasi kependudukan, kematian/pemakaman, TNI/POLRI, pengadilan setingkat dan pada layanan data pemilih di tingkat kabupaten/kota. Tak Semua Data Lengkap Teknis pelaksanaan PDPB yang diatur oleh KPU sudah sangat komprehensif. Seperti perlunya rapat koordinasi dengan instansi terkait untuk mendapatkan masukan data sebagai bahan PDPB. Pengaturan ini memang sangat dibutuhkan. Namun dalam pelaksanaannya tentu saja tidak selalu mulus. Memang beberapa lembaga atau instansi responsif dalam memberikan data yang dibutuhkan. Namun tak jarang pula beberapa instansi justru sebaliknya karena merasa kesulitan untuk memenuhi kelengkapan elemen data yang dibutuhkan KPU. Ada pula beberapa lembaga yang karena faktor kesibukan serta minimnya SDM tidak bisa memenuhi data yang dibutuhkan. Pasal 201 ayat (8) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebenarnya cukup memberikan kelonggaran bagi KPU untuk mendapatkan data sebagai bahan PDPB. Disebutkan di pasal tersebut bahwa Pemerintah memberikan data kependudukan yang dikonsolidasikan setiap enam bulan kepada KPU sebagai bahan tambahan dalam pemutakhiran data pemilih. Artinya, KPU akan mendapatkan tambahan data untuk bahan PDPB dari instansi yang menangani kependudukan setiap enam bulan. Memang rentang waktu yang diatur dalam undang-undang tersebut cukup jauh dibandingkan pelaksanaan rekapitulasi PDPB yang dilaksanakan KPU Kabupaten/Kota. Di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 disebutkan bahwa instansi yang menangani kependudukan memberikan data yang dikonsolidasikan setiap enam bulan, sedangkan KPU Kabupaten/Kota melaksanakan PDPB setiap satu bulan. Meskipun rentang waktunya cukup lama, namun apabila data tersebut disampaikan tepat waktu sebenarnya cukup membantu KPU Kabupaten/Kota dalam melaksanakan PDPB. Tetapi fakta di lapangan tak semudah itu. Alih-alih tersampaikan tepat waktu, terkadang data tersebut tidak bisa didapatkan karena ada beberapa hal yang menjadi alasan. Banyak Jalan Menuju Roma Berbagai kendala sangat berkemungkinan terjadi dalam kegiatan PDPB. Namun hal tersebut tak seharusnya membuat patah arang penyelenggara. Banyak jalan menuju roma. Kreasi, inovasi, serta gagasan perlu dicetuskan agar PDPB bisa tetap berjalan. Dengan begitu data pemilih tetap terpelihara meski tidak dalam masa tahapan pemilu/pemilihan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan di antaranya adalah dengan membentuk relawan PDPB baik di tingkat desa maupun kecamatan. Relawan PDPB tersebut dapat berasal dari mantan badan penyelenggara ad hoc pemilu/pemilihan maupun sekretariat badan penyelenggara ad hoc pemilu/pemilihan yang mayoritas berasal dari perangkat desa dan pegawai kecamatan dan biasanya langsung bersentuhan dengan lembaga yang menguasai data di wilayahnya.  Pendekatan lebih progresif juga bisa dilakukan ke beberapa lembaga, untuk memberikan pemahaman terkait data yang dibutuhkan serta membantu secara teknis apabila memang dibutuhkan. Koordinasi dengan lembaga pendidikan (SMA/SMK/MA sederajat), atau instansi yang menaungi lembaga pendidikan seperti Dinas Pendidikan atau Kementerian Agama juga perlu dilakukan karena basis pemilih pemula banyak berasal dari lembaga tersebut. Koordinasi lainnya juga bisa dilakukan ke pondok pesantren, partai politik maupun organisasi kemasyarakatan. KPU Kabupaten/Kota juga bisa melakukan sosialisasi melalui pemanfaatan papan pengumuman, website, media sosial, media massa cetak dan elektronik. Kerja sama sosialisasi PDPB dengan pemerintah daerah juga dapat dilaksanakan, seperti pengintegrasian sosialisasi PDPB dengan kegiatan yang diselenggarakan pemerintah daerah baik secara tatap muka maupun melalui media online, seperti website dan media sosial milik pemerintah daerah. Solusi Masalah DPT PDPB merupakan salah satu upaya KPU untuk menyelesaikan akar masalah Daftar Pemilih Tetap. Dengan PDPB diharapkan data pemilih dapat dipastikan kualitasnya tetap baik meskipun tidak dalam penyelenggaraan pemilu/pemilihan. Jika data pemilih hasil PDPB baik dan dibuat berdasarkan prinsip komprehensif, akurat dan mutakhir, maka ke depan akan mempermudah proses pemutakhiran data dan penyusunan daftar pemilih pada pemilu/pemilihan berikutnya. Karena itu seyogyanya kegiatan PDPB digarap secara serius dan telaten. Penguatan koordinasi juga sangat penting, karena keberhasilan PDPB tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh KPU yang notabene tidak memiliki badan penyelenggara ad hoc karena sedang tidak menyelenggarakan pemilu/pemilihan. (Penulis adalah Anggota KPU Kabupaten Demak Divisi Hukum dan Pengawasan)


Selengkapnya
489

TAK ADA LAGI YANG TERSERAK (JDIH Mewadahi)

Oleh: Hastin Atas Asih   Perkembangan teknogi dewasa ini semakin menunjukkan perkembangan yang sangat signifikan. Meski tak selalu menguntungkan karena dampak negatif juga banyak mewarnai, namun di sisi lain berkembangnya teknologi juga bermanfaat besar bagi kehidupan manusia. Hampir seluruh aktivitas manusia saat ini tersentuh teknologi. Seperti sarana komunikasi, pendidikan, sarana medis, ekonomi, dan dokumentasi. Pun demikian untuk kegiatan penyimpanan arsip juga tak lepas dari sentuhan teknologi dan nyatanya memang inovasi teknologi memberikan kemudahan dan sangat membantu manusia dalam menjalankan aktivitas. Berbicara mengenai pengaruh perkembangan teknologi khususnya terhadap penataan, penyimpanan maupun pengarsipan dokumen keberadaannya memang benar-benar dirasakan. Sejenak kita menilik proses penataan, penyimpanan dan mekanisme pencarian dokumen pada era dahulu. Semuanya membutuhkan ruang dengan kapasitas besar, pencariannya pun membutuhkan waktu yang cukup lama. Itupun tidak bisa dipastikan berapa lama dokumen yang dicari tersebut dapat ditemukan. Bahkan bisa-bisa dokumen yang dicari tersebut tidak dapat ditemukan. Belum lagi adanya gangguan lain seperti jamur, serangga, bahkan bencana/musibah yang sangat berkemungkinan merusak atau menghilangkan dokumen. Kondisi tersebut sekarang sudah sangat berbeda. Perkembangan teknologi dengan berbagai inovasi mampu menjadi alternatif lain dalam pengelolaan dokumen. Ruang memang masih dibutuhkan untuk penataan serta penyimpanan dokumen yang berupa hard. Namun kekhawatiran dokumen hilang, rusak, atau terbakar sudah dapat diatasi dengan adanya teknologi yang berkembang saat ini. Begitupula dalam pencarian dokumen, tinggal klik saja dokumen yang dicari langsung bisa ditemukan. Perkembangan teknologi informasi direspon baik oleh berbagai pihak, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam menata dokumen hukum, KPU membentuk dan mengembangkan sistem informasi Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH). Pada dasarnya pengelolaan dokumen hukum dengan pembentukan JDIH di Lingkungan KPU merupakan tindaklanjut dari amanat Pasal 86 ayat 3 huruf b Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Di pasal tersebut disebutkan bahwa Sekretariat Jenderal KPU wajib mengelola arsip dan dokumen pemilu termasuk dokumen hukum. Tak hanya itu, pembentukan JDIH di Lingkungan KPU juga merupakan wujud pelaksanaan Pasal 5 ayat 1 Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2012 tentang Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional. Di pasal tersebut ditegaskan bahwa Pimpinan instansi wajib membentuk organisasi JDIH di lingkungannya. Anggota JDIH wajib melakukan pengelolaan dokumentasi dan informasi hukum dengan menyediakan sarana prasarana, serta SDM dan anggaran. Sementara yang dimaksud JDIH di Peraturan Presiden tersebut adalah wadah pendayagunaan bersama atas peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum lainnya secara tertib, terpadu dan berkesinambungan serta merupakan sarana pemberian pelayanan informasi hukum secara mudah, cepat, dan akurat. Sejarah Menurut sejarah, gagasan tentang pentingnya pembentukan JDIH sebenarnya telah dikemukanan lama, yaitu pada Seminar Hukum Nasional III tahun 1974 di Surabaya. Mengingat pentingnya keberadaan dokumen dan perpustakaan hukum adalah hal yang mutlak untuk pembinaan hukum di Indonesia, gagasan tersebut kemudian direspons positif oleh Badan Pembina Hukum Nasional. Menindaklanjati gagasan tersebut kemudian dilaksanakan lokakarya-lokakarya di beberapa daerah. Selang tiga tahun kemudian tepatnya pada tahun 1978 dalam sebuah lokakarya yang diselenggarakan di Jakarta, telah menghasilkan suatu kesepakatan bahwa Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) sebagai Pusat JDIH berskala nasional. Sedangkan yang menjadi anggota JDIH adalah Biro-Biro Hukum Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara. Setelah kegiatan jaringan dokumentasi dan informasi hukum berjalan lebih dari dua puluh tahun, pada tahun 1999 Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 91 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 135) tentang Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional. Keputusan Presiden inilah yang kemudian dijadikan sebagai dasar hukum untuk lebih meningkatkan dan mengembangkan JDIH ke arah yang lebih baik, lebih maju untuk kepentingan bangsa dan negara. Program pengembangan Sistem JDIH terus berkembang, maka pada 2012 Presiden telah menetapkan kembali tentang Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional melalui Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2012. (jdih.lipi.go.id) Di Lingkungan KPU, JDIH mulai dibentuk pada tahun 2013 atau selang satu tahun pasca JDIH ditetapkan Presiden melalui Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2012. Di tahun tersebut pengembangan JDIH yang dilakukan berupa mackup dan dummy website. Kemudian pengembangan terus diupayakan, dan tahun 2014 dilakukan dengan trial hosting, dimana JDIH terhubung dengan website utama KPU sebagai link pencarian produk hukum. Tahun 2016 KPU meresmikan JDIH KPU melalui Keputusan KPU Nomor 134/Kpts/KPU/Tahun 2016 tentang Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum. Di tahun 2019 KPU mulai melakukan pembentukan JDIH pada 34 satuan kerja KPU Provinsi di Indonesia.  Untuk pengembangan JDIH di Lingkungan KPU kabupaten/kota dilakukan secara bertahap. Pada tahun 2020, pengembangan dilakukan di 370  kabupaten/kota, sedangkan tahun 2021 dilakukan di 144 KPU kabupaten/kota yang tersisa. Perhatikan Komponen Dalam membangun sistem informasi perundang-undangan (JDIH), ada beberapa komponen yang perlu diperhatikan, yaitu hardware, software, brainware dan content.  Sistem informasi membutuhkan perangkat (hardware) yang mumpuni antara lain computer server, jaringan internet, dan storage (ruang penyimpanan). Aplikasi antar muka (software) yang digunakan untuk mengoperasikan sistem informasi juga harus friendly. Sumberdaya pengelola JDIH juga harus memiliki keahlian dalam mengoperasikan aplikasi dan memahami perundang-undangan. Selain itu data dan informasi yang disajikan dalam JDIH merupakan dokumen perundang-undangan dan informasi produk hukum. Untuk informasi hukum yang disajikan pada JDIH juga harus memenuhi beberapa kriteria, di antaranya adalah mudah diakses oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun, memenuhi konsep dasar informasi, yaitu valid, relevan, akurat, mutakhir dan tepat waktu, serta mudah dipahami oleh pembaca dan tidak membuat pembaca kesulitan. Perlu Ruang JDIH Dalam pengelolaan dokumen hukum tentu saja tidak hanya fokus pada pegembangan sistem informasi saja. Penyediaan ruang yang representatif juga sangat dibutuhkan untuk menunjang pengelolaan JDIH, karena hard dokumen juga harus diarsipkan dengan baik. Ruang JDIH tersebut selain sebagai tempat penyimpanan dokumen juga dapat menjadi ruang baca, ruang diskusi, serta perpustakaan dokumen hukum.   Penataan dokumen hukum (hard) dapat dilakukan dengan cara menata dokumen yang sudah kemudian disimpan pada rak arsip dengan penataan yang sistematis dan tidak memakan tempat. Klasifikasi dokumen serta penyediaan daftar dokumen juga perlu dilakukan untuk memudahkan dalam pencarian dokumen. Terkait pembentukan ruang JDIH, pengelola perlu memperhatikan luasan ruangan, sarana prasarana serta sistem penataannya. Ruangan sebaiknya dilengkapi sarana prasarana yang memadai seperti meja baca, internet, komputer dan sebagainya. Kenyamanan pengunjungpun perlu diperhatikan agar nyaman dan betah di ruangan JDIH. Sosialisasi dan Koordinasi Pembangunan JDIH yang baik tentu saja sangat memberi banyak manfaat untuk lembaga maupun publik. Namun begitu, sesuatu yang baik ini akan sangat disayangkan jika keberadaannya tidak diketahui oleh publik. Karena itu sosialisasi tentang keberadaan JDIH juga merupakan prioritas agar masyarakat tahu dan merasakan manfaat atas keberadaan JDIH. Untuk meningkatkan aksesibilitas JDIH, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Diantaranya adalah dengan memanfaatkan platform media sosial, yaitu dengan memberikan informasi kepada pembaca mengenai telah terbitnya produk hukum, substansi penting dalam produk hukum, serta informasi hukum lainnya. Selain itu sosialisasi JDIH dengan metode tatap muka, memanfaatkan radio atau televisi juga penting dilakukan. Koordinasi antar pengelola JDIH juga perlu untuk saling menguatkan dalam pengembangan JDIH lembaga masing-masing. Koordinasi tersebut bisa memunculkan kesepakatan utuk memasukkan link JDIH lembaga lain pada website JDIH yang dikelola, dan sebaliknya. Dengan terkelolanya JDIH dengan baik maka fungsi JDIH sebagai media penyuluhan perundang-undangan, penyediaan sarana pembangunan bidang hukum, memudahkan pencarian dokumen hukum, dan meningkatkan penyebarluasan dan pemahaman pengetahuan hukum dapat terwujud. Dengan adanya JDIH yang baik, dokumen hukum benar-benar terwadahi, dan tak ada lagi dokumen yang terserak. (Anggota KPU Kabupaten Demak Divisi Hukum dan Pengawasan)


Selengkapnya
341

Teladan dan Komitmen Faktor Penting Suksesnya SPIP

Oleh: Hastin Atas Asih   Sistem pengendalian manajemen merupakan sesuatu yang sangat penting bagi sebuah organisasi, perusahaan maupun lembaga pemerintahan. Dengan dijalankannya sistem ini, maka akan berdampak terhadap berkembangnya suatu organisasi, lembaga maupun perusahaan. Begitu pula sebaliknya, jika sistem pengendalian tak berjalan dengan baik, maka sangat berkemungkinan mengancam keberlangsungan perkembangan organisai, lembaga maupun perusahaan tersebut. Di lingkungan pemerintahan, penyelenggaraan sistem pengendalian intern dilaksanakan secara menyeluruh. Pasal 58 ayat 1 Undang-Undang 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Keuangan Negara, menyebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan Negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan Pemerintah secara menyeluruh. Selanjutnya, ketentuan mengenai penyelenggaraan sistem pengendalian intern tersebut ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) itu sendiri adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Mengingat pentingnya SPIP bagi keberlangsungan pengelolaan pemerintahan, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, Pemerintah mewajibkan kepada menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota untuk melakukan pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. Hal tersebut tegas diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah yang berbunyi “untuk mencapai pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel, menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati /walikota wajib melakukan pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan.” Kewajiban tersebut tentu sangat beralasan, karena dengan terkelolanya keuangan Negara yang baik, maka akan berimbas terhadap tercapainya tujuan penyelenggaraan pemerintahan. Jika merunut dasar hukum penyelenggaraan SPIP, pada dasarnya kegiatan SPIP lebih berkaitan dengan aktivitas keuangan. Namun dalam pelaksanaannya, aktivitas keuangan sangat berhubungan erat dengan seluruh kegiatan yang diselenggarakan oleh suatu lembaga. Karena itu pelaksanaan kegiatan pengendalian ditujukan untuk semua kegiatan yang akan dilaksanakan oleh suatu lembaga. Dengan kata lain kegiatan pengendalian merupakan sebuah langkah mitigasi risiko atas empat tujuan SPIP yang meliputi terlaksananya kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaannya, mitigasi risiko dilakukan secara berkala serta dievaluasi untuk memastikan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut masih relevan dan efektif. Penyelenggaraan SPIP di KPU Empat tahun setelah Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 ditetapkan, KPU sebagai salah satu lembaga Negara di Indonesia menetapkan SPIP dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 17 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah di Lingkungan Sekretariat Jenderal KPU, Sekretariat KPU Provinsi, dan Sekretariat KPU/Kabupaten/Kota. Penetapan PKPU tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan pelaksanaan SPIP di Lingkungan KPU yang lebih efektif dan efisien. Secara teknis, KPU pun menetapkan Keputusan KPU Nomor 443/Kpts/KPU/Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah di Lingkungan KPU. Pedoman teknis tersebut digunakan sebagai acuan bagi pejabat/pimpinan yang berwenang dalam penyelenggaraan SPIP di Lingkungan KPU serta digunakan sebagai panduan bagi Inspektorat yang merupakan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), dalam melaksanakan pengawasan intern dan penilaian penerapan Sistem Pengendalian Intern di Lingkungan KPU. Penyelenggaran SPIP di lingkungan KPU tak hanya dilaksanakan di tingkat pusat. Di level provinsi dan kabupaten/kota pun SPIP diterapkan, bahkan waktu demi waktu penguatan terhadap sistem ini semakin nampak di semua tingkatan. Aktivitasnya pengendaliannya pun tak hanya di ranah keuangan namun melekat pada tugas segari-hari. Dalam pelaksanaan kegiatan pengendalian, KPU mempedomani lima unsur SPIP yang terdiri dari lingkungan pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi, serta pemantauan pengendalian intern. Kelima unsur pengendalian intern tersebut merupakan unsur yang terjalin erat satu dengan yang lainnya. Lingkungan pengendalian. Lingkungan pengendalian merupakan dasar dari semua komponen pengendalian intern lainnya yang membuat organisasi menjadi lebih disiplin dan terstruktur.  Unsur lingkungan pengendalian memiliki delapan sub unsur yang meliputi integritas dan nilai etika, kompetensi,  kepemimpinan yang kondusif , sesuai dengan kebutuhan, pemberian tugas dan tanggung jawab kepada pegawai dengan tepat, pembinaan sumber daya manusia, aparat pengawasan intern pemerintah (APIP), dan hubungan kerja sama yang baik. Pengembangan implementasi sub unsur pembangunan integritas dan nilai etika di tiap jenjang dan satuan kerja KPU tentu beragam. Namun secara keseluruhan substansi target kegiatannya sama. Di KPU Kabupaten Demak misalnya, implementasi sub unsur pembangunan integritas dan nilai etika dilakukan seluruh pimpinan dan pegawai dengan membuat sebuah komitmen agar dalam melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan lembaga, para pegawai berpedoman dengan integritas dan nilai etika. Hal ini diawali dengan penyampaian informasi yang dilakukan melalui kegiatan pembinaan pegawai pada berbagai momentum. Diantaranya saat apel pagi, rapat internal, serta kegiatan keagamaan yang dikemas dengan khataman Al Qur’an. Tujuannya agar seluruh pegawai mengetahui regulasi yang ditetapkan, sehingga dalam menjalankan tugas selalu sepenuh hati, mengedepankan integritas, dan nilai etika. Komitmen terhadap integritas dan nilai etika dalam melaksanakan tugas dituangkan dalam sebuah pakta integritas atau perjanjian kinerja. Perjanjian kinerja dilakukan oleh sekretaris kepada ketua, dan kasubbag kepada sekretaris. Kegiatan ini merupakan agenda tahunan, dan biasanya dilaksanakan di awal tahun anggaran. Pada perjanjian kinerja tersebut dicantumkan pula sasaran strategis, indikator kinerja, serta target yang hendak dicapai. Untuk Implementasi sub unsur kompetensi dilaksanakan dengan peningkatan kompetensi pegawai yaitu melalui penyelenggaraan kegiatan bimtek yang dilaksanakan secara berkala. Di KPU Kabupaten Demak, kegiatan dilaksanakan dengan melibatkan seluruh unsur pegawai. Pelaksanaannya pun dikemas dengan berbagai macam kegiatan. Tujuan kegiatan ini adalah menambah knowledge pegawai, meningkatkan hard skill maupun soft skill, serta memunculkan ide atau gagasan baru yang kesemuanya bermanfaat bagi perkembangan kinerja pegawai. Sub unsur ketiga pada unsur lingkungan pengendalian yaitu kepemimpinan yang kondusif yang diartikan sebagai situasi dimana pemimpin selalu mengambil keputusan dengan mendasarkan pada data hasil penilaian risiko. Sub unsur ini juga berkaitan dengan keteladanan seorang pemimpin yang jika diterapkan akan mampu menjadi energi positif bagi sebuah lembaga. Keteladanan tersebut dapat ditularkan ke semua pegawai sehingga akan tercipta etos kerja yang baik. Selanjutnya, sub unsur sesuai dengan kebutuhan dapat diimplementasi dengan langkah merancang struktur organisasi sesuai kebutuhan lembaga. Jika struktur lembaga yang saat ini berjalan sudah perlu dilakukan perubahan mengingat beban pekerjaan yang teramat padat untuk suatu bagian, maka perlu segera dilakukan perubahan. Rancangan struktur organisasi pun harus disesuaikan dengan kebutuhan. Sementara itu, untuk sub unsur pemberian tugas dan tanggung jawab kepada pegawai dengan tepat juga penting diperhatikan karena sangat berdampak terhadap keberhasilan lembaga. Sebagaimana diketahui kompetensi pegawai tentu saja beragam, dan porsi tugas dan tanggung jawabnya juga perlu perlu disesuaikan. Untuk implementasi sub unsur pembinaan sumber daya yang tepat juga menjadi hal penting agar tujuan lembaga dapat tercapai. Keberadaan pengawas juga sangat memiliki peran untuk mengubah budaya kerja pegawai. Hal lainnya yang perlu dibangun dalam penyelenggaraan lingkungan pengendalian yang baik adalah menciptakan hubungan kerja sama yang baik (baik intern maupu ekstern). Penilaian risiko. Tahap penilaian rsiko merupakan tahap awal dalam pembangunan infrastruktur pengendalian. Melalui penilaian resiko dapat diketahui risiko yang dihadapi unit kerja, untuk kemudian ditetapkan kebijakan respon terhadap risiko, serta kegiatan pengendalian yang diperlakukan. Terdapat dua unsur penilaian risiko yaitu identifikasi risiko dan analisis risiko. Identifikasi risiko merupakan suatu proses yang secara sistematis dan terus menerus dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan timbulnya risiko. Proses identifikasi risiko dilakukan dengan pemetaan terhadap hal-hal yang berpotensi menghambat tercapainya tujuan. Setelah dilakukan identifikasi risiko, selanjutnya dilakukan analisis risiko untuk mengukur dan mengidentifikasi variable yang bisa mengancam atau mencederai sebuah tujuan lembaga. Kegiatan pengendalian adalah tindakan yang diperlukan untuk mengatasi risiko serta penetapan dan pelaksanaan kebijakan dan prosedur untuk memastikan bahwa tindakan telah dilaksanakan dengan baik. Sub unsur kegiatan pengendalian meliputi reviu kinerja instansi Pemerintah, pembinaan SDM, pengendalian pengelolaan system informasi, pengendalian fisik asset, penetapan dan reviu indikator dan ukuran kinerja, pemisahan fungsi, otorisasi transaksi dan kejadian penting, pencatatan akurat dan tepat waktu, pembatasan akses sumber daya, akuntabilitas sumber daya, dan dokumentasi system pengendalian. Informasi dan Komunikasi. Komunikasi atas informasi wajib diselenggarakan secara efektif, dalam hal ini lembaga sekurang-kurangnya menyediakan dan memanfaatkan berbagai bentuk dan sarana komunikasi. Unsur informasi dan komunikasi terdiri dari dua sub unsur yaitu sarana komunikasi dan manajemen sistem informasi. Pemantauan Pengendalian Intern. Unsur SPIP yang satu ini merupakan proses penilaian atas mutu kinerja sistem pengendalian intern dan proses yang memberikan keyakinan bahwa bahwa temuan audit dan evaluasi lainnya segera ditindaklanjuti. Pemantauan pengendalian internal dilaksanakan dalam tiga sub unsur, yaitu pemantauan berkelanjutan, evaluasi terpisah, dan tindak lanjut. Imlementasi pemantauan berkelanjutan dapat dilaksanakan melalui kegiatan pengelolaan rutin, supervisi, perbandingan, rekonsiliasi, dan tindakan lain yang terkait dengan pelaksanaan tugas. Evaluasi terpisah dapat dilakukan melalui penilaian sendiri, reviu dan pengujian efektivitas system pengendalian intern yang dapat dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah atau pihak eksternal. Sedangkan tindaklanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya harus segera diselesaikan dan dilaksanakan sesuai dengan mekanisme rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya yang ditetapkan. Penerapan lima unsur SPIP dengan beberapa sub unsurnya dalam sebuah lembaga selayaknya dilaksanakan secara menyeluruh dan saling terkait. Kegiatan pengedalian idealnya juga tidak hanya dilakukan dalam satu waktu tertentu, tetapi secara terus menerus oleh pimpinan dan pegawai. Perencanaan kegiatan menjadi hal yang wajib dilakukan, sehingga lembaga berjalan tak salah arah, baik dari segi anggaran maupun regulasi. Dari rencana yang telah ditetapkan, ditindaklanjuti dengan penyelenggaraan pengendalian. Penerapan SPIP dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu persiapan, pelaksanaan dan pelaporan. Pada tahap pelaksanaan dapat dimaknai sebagai tahap pemahaman SPIP ke seluruh jajaran pegawai melalui kegiatan sosialisasi yang dilaksanakan oleh Pengarah Satgas SPIP. Dengan sosialisasi tersebut diharapkan seluruh SDM memahami arti penting SPIP, dan menerapkannya dalam pelaksanaan tugas. Setelah tersosialisasi, satgas SPIP melakukan pemetaan terhadap proses managemen, proses yang perlu dikendalikan, potensi resiko dalam proses, unsur dan sub unsur SPIP yang diperlukan untuk pengendalian, serta infrastruktur yang dibutuhkan. Tahap kedua adalah tahapan pelaksanaan yang merupakan tindaklanjut dari pemetaan yang meliputi pembangunan infrastruktur dan internalisasi. Pembangunan infrastruktur merupakan syarat mutlak sebelum dilaksanakan implementasi unsur-unsur SPIP. Pada tahapan ini, peta sistem SPIP dibahas sehingga dapat diperoleh umpan balik mengenai rencana tindak penerapan SPIP. Pembangunan infrastruktur menghasilkan kebijakan dan prosedur untuk masing-masing unsur dan sub unsur SPIP. Selanjutnya hasil kebijakan tersebut dilanjutkan dengan tahap internalisasi.  Yakni suatu proses untuk membuat kebijakan dan prosedur menjadi sebuah kegiatan operasional sehari-hari dan ditaati oleh seluruh pejabat dan pegawai. Pada tahapan ini dilakukan implementasi unsur-unsur SPIP yang diawali dari pengembangan terhadap unsur-unsur SPIP dengan mengacu kepada hasil pemetaan SPIP pada tahap pembangunan infrastruktur. Tahap ketiga adalah pelaporan dan perkembangan lanjutan. Pelaporan ini dilaksanakan secara periodik dan terus menerus. Laporan merupakan hasil kompilasi dan analisis dari dokumen penyelenggaraan semua sub unsur dalam suatu kurun waktu tertentu. Terdapat dua jenis pelaporan dalam penyelenggaraan SPIP, yaitu yang bersifat laporan penyelenggaraan dan laporan maturitas. Di Lingkungan KPU sendiri, dalam pelaporan penyelenggaran SPIP dibagi dua, yaitu pelaporan kartu kendali SPIP yang dilengkapi data dukung yang dilaporkan setiap bulan, serta laporan SPIP tahunan yang dilaporkan di akhir tahun. Pelaporan diawali dengan penyusunan kartu kendali SPIP dan data dukungnya yang rutin dilaporkan ke KPU RI. Pelaporan kartu kendali ini merupakan upaya untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang tertib, efektif, efisien, akuntabel dan transparan. Meskipun laporan kartu kendali merupakan bentuk pengendalian minimal, namun dengan pelaporan kartu kendali ini dapat dapat diidentifikasi apakah kegiatan telah terlaksana secara efektif, efisien, trnasparan dan akuntabel. Kartu kendali SPIP bulanan terdiri dari kartu kendali kepegawaian, keuangan, pengadaan, persediaan dan asset BMN, dan kartu kendali SAKIP. Untuk kartu kendali kepegawaian, dilengkapi dengan data dukung yang meliputi rekap absensi, rekap perjalanan dinas, rekap SKP, daftar urut kepangkatan, dan rekap arsip kepegawaian (dorsir).  Kartu kendali keuangan dilengkapi dengan data dukung LRA APBN, BAP Kas APBN, BKU APBN, LRA APBD, BAP Kas APBD, BKPU APBD, BP Kas APBD, BKPU APBD, BP Kas APBD, Rekap Badan Laporan Pokja/Kegiatan, Laporan Keuangan, dan Calk dan ADK SAIBA. Kartu kendali pengadaan terdiri dari dokumen pengadaan APBN dibawah 200 juta, dokumen pengadaan APBN diatas 200 juta, dokumen pengadaan APBD dibawah 200 juta dan dokumen pengadaan diatas 200 juta. Untuk kartu kendali persediaan dan asset BMN terdiri dari laporan persediaan, BA stock opname persediaan, BA rekon KPKNL, BA kondisi barang, BA stock opname asset BMN, dan Calk dan ADK SIMAK BMN. Kemudian kartu kendali SAKIP dilengkapi data dukung renstra, indikator kinerja utama, rencana kinerja tahunan, perjanjian kinerja, rencana aksi kinerja, dan laporan kinerja. Selain laporan bulanan, tiap satker di Lingkungan KPU juga diwajibkan menyampaikan laporan SPIP tahunan. Laporan tahunan SPIP dapat menjadi gambaran penyelenggaraan SPIP di suatu satker, karena memuat tahapan pemetaan, penilaian risiko, pembangunan infrastruktur, dan internalisasi/implementasi yang dilaksanakan selama satu tahun. Pada pelaksanaan kegiatan pengendalian yang dilaksanakan masing-masing sub bagian juga dilaporkan beberapa kegiatan pengendalian, hambatan, serta bentuk pengendalian yang telah dilaksanakan. Laporan juga dilengkapi uraian risiko, penyebab serta usulan/pengendalian, usulan rencana pengendalian serta table kemajuan SPIP. Banyak manfaat yang diperoleh apabila penyelenggaraan SPIP dilaksanakan dengan baik. Diantaranya adalah meningkatnya suasana lingkungan yang nyaman yang akan menimbulkan kepedulian, solidaritas dan keikutsertaan seluruh pegawai, yang kesemuanya akan berdampak meningkatnya etos kerja yang baik sehingga tujuan lembaga bisa tercapai. Karena sejatinya SPIP bukan hanya untuk membentuk mekanisme administratif saja tetapi juga upaya melakukan perubahan sikap dan perilaku (soft factor). Untuk mencapai penyelenggaraan SPIP yang baik, keteladanan (tone at the top) dari unsur pimpinan atau pejabat struktural adalah faktor yang sangat penting. Teladan dapat diartikan memberikan contoh yang baik dari berbagai aspek. Seorang pemimpin harus mampu memberikan teladan dari hal-hal yang sangat sederhana hingga hal-hal yang rumit. Misalnya saja berkaitan dengan kedisiplinan, cara bersikap, bertutur dan sebagainya. Lebih penting lagi adalah seorang pemimpin harus memiliki jiwa pemimpin yang sesungguhnya. Tak selalu merasa benar namun mau mengakui kesalahan apabila telah melakukan kesalahan, serta mau menerima masukan dari bawahan. Hal–hal tersebut sangat sederhana, namun sesuatu yang sangat sederhana ini sesungguhnya sangat diperhatikan oleh pegawai. Dari sikap tersebut akhirnya mereka mencontoh dan menjadikannya sebagai sebuah kebiasaan. Suksesnya penyelenggaraan SPIP yang bermuara terhadap terwujudnya tujuan lembaga pada prinsipnya mudah saja dicapai. Semua tergantung tekad dan komitmen dari masing-masing personil di lembaga tersebut baik pimpinan maupun pegawai. Mau dibawa kemana lembaga ini? Semua dikembalikan ke si “penghuni” lembaga. (Penulis adalah Anggota KPU Kabupaten Demak Divisi Hukum dan Pengawasan)


Selengkapnya