
Sebelum Kartini Menangis Kembali
Oleh: Siti Ulfaati
“Pergilah, Laksanakan cita-citamu. Kerjalah untuk hari depan. Kerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham palsu tentang mana yang baik dan mana yangg buruk”
(Surat R.A Kartini kepada Ny. Van Kool, dirangkum dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang)
Mungkin salah satu penyesalan terbesar RA Kartini selama hidup adalah bagaimana sampai akhir hayat dirinya belum bisa mengubah sistem primordialisme yang selama ini menganggap perempuan yang hanya dianggap sebagai kasta kedua dalam sistem sosial di zamannya. Istilah sumur, dapur, dan kasur bisa dianggap sebagai penggambaran bahwa kehidupan mereka sangat dibatasi, tidak ada ruang untuk bisa memperjuangkan nasib diri sendiri.
Bagaimanapun juga, Kartini sangat iri dengan kakaknya, RMP Sasrokartono yang bisa menempuh pendidikan tinggi sampai ke TU Delft di negeri Belanda hanya karena terlahir sebagai seorang laki-laki. Kartini berpendapat bahwa adat istiadat yang ada di masyarakat saat itu hanya menguntungkan laki-laki. Sistem demokrasi yang memperjuangkan emansipasi perempuan masih jauh dari harapan. Perjalanan hidup RA Kartini bisa menjelaskan bahwa cita-citanya untuk menempuh pendidikan tinggi harus kandas karena dilarang oleh ayahnya sendiri R.M.A.A. Sosroningrat, bahkan di usia yang masih muda, sekitar 24 tahun, ayahnya lebih memilih untuk menikahkan dirinya dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang notabene sudah memiliki tiga istri. Untunglah suaminya masih mengerti tentang pemikiran RA Kartini sehingga dirinya diberi keleluasaan untuk mendirikan sekolah rakyat bagi kaum perempuan.
Butuh waktu 104 tahun agar pemikiran RA Kartini tentang emansipasi perempuan mendapat pengakuan yuridis dengan ditetapkannya UU Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD tentang kuota 30 % pengurus partai harus berasal dari kaum perempuan agar dapat mengikuti pemilu. Hal ini menjadi angin segar bagi kaum perempuan sebagai jalan untuk bisa berpartisipasi merumuskan kebijakan. Memasuki era millenium keterwakilan perempuan dalam ranah legistatif di DPR RI pun masih naik turun. Menurut data BPS, dalam Pemilu tahun 2004 berjumlah 65 orang atau 11 %, tahun 2009 naik menjadi 100 orang (17%), kemudian turun menjadi 97 orang (17%) dalam pemilu 2014, terakhir naik lagi pada pemilu 2019 menjadi 118 orang (20%). Walaupun hasilnya belum bisa memenuhi kuota 30% tetapi perempuan sudah menjadi salah satu bagian penting dalam merumuskan kebijakan sehingga perempuan bisa terus aktif untuk menjalankan demokrasi secara prosedural.
Setelah pemerintah menjamin keterlibatan perempuaan melalui kebijakan kuota 30%, bagaimana dengan pencapaian demokrasi substansial yang juga diimpikan oleh RA Kartini. Sistem demokrasi substansial yang lebih menekankan kepada kedaulatan yang dimiliki oleh perempuan untuk bisa menentukan nasibnya sendiri dalam segala hal sangat berhubungan dengan pola pikir mereka sendiri, apakah bisa menjadi subjek yang menginspirasi orang lain ataukah malah menjadi objek seperti di masa lampau. Globalisasi seakan-akan menjadi pisau bermata dua bagi kaum perempuan. Saat ini kaum perempuan bisa dengan mudah mengakses segala macam informasi yang bisa memperkuat pemikiran, tetapi di sisi lain, jika tidak diimbangi dengan sikap yang tegas, maka perempuan akan kembali manjadi komoditas untuk bisa ‘diperjualbelikan’. Dalam budaya barat yang menjunjung kapitalisme, perempuan mempunnyai value lebih untuk menjadi komoditas tersendiri. Penggambaran kesempurnaan perempuan sangat berkaitan dengan fashion dan perawatan tubuh serta teknologi yang dipakai sehingga bisa menjadi sosok perempuan yang ideal. Jika tidak disikapi dengan serius hal ini bisa menjadi bumerang tersendiri, karena banyak sekali budaya barat yang bertentangan dengan norma-norma yang ada di Indonesia. Salah satu buktinya adalah pengesahan Undang-Undang tindak pidana kekerasan sosial yang baru disahkan pada tahun 2022, padahal rancangannya sudah ada sejak tahun 2012 atau butuh waktu 10 (sepuluh) tahun untuk membahas undang-undang tersebut, sungguh memakan waktu yang lama.
Seharusnya dengan adanya era globalisasi di mana teknologi sudah berkembang pesat juga harus diiringi dengan penguatan demokrasi substansial bagi kaum perempuan, salah satu caranya dengan penguatan lembaga-lembaga di tingkatan gras root untuk bisa menjamin perempuan bisa dan berani berbicara politik. Organisasi perempuan seperti Fatayat di NU, Aisyiah di Muhammadiyah, Kohati di HMI atau Lembaga keperempuanan lainnya diharapkan bisa membuka lebih banyak ruang bagi perempuan untuk berbicara politik, bahkan jika perlu mereka bisa memperjuangkan kader-kader terbaiknya untuk terjun ke dunia politik.
Bagaimanapun juga jika demokrasi prosedural sudah dijamin oleh pemerintah tetapi tidak diimbangi dengan demokrasi substansial hanya akan membawa perempuan menjadi korban perbudakan modern oleh paham kapitalisme, mereka hanya akan dieksploitasi terus menerus tanpa punya waktu untuk bisa mengubah nasibnnya sendiri. Jika itu terjadi, maka kondisi kaum perempuan di Indonesia serupa dengan kondisi yang dialami pada saat RA Kartini masih hidup. Suatu kondisi yang membuat RA Kartini menangis setiap hari karena melihat perempuan hanya dianggap sebagai barang pemuas atas nama adat istiadat dan budaya.
Karena itu dengan memanfaatkan momentum Hari Kartini, marilah kaum perempuan tetap berjuang untuk mengubah nasibnya sendiri lewat penguatan demokrasi substansial, semangat emansipasi perempuan yang telah dirintis oleh RA Kartini harus bisa menjadi pondasi semangat bagi kaum perempuan untuk bisa bersaing dalam segala bidang, jangan sampai RA Kartini menangis kembali karena kondisi perempuan masih tetap dalam belenggu penjajahan. Jika dulu dijajah atas nama adat istiadat, sekarang kembali dijajah atas nama kecanggihan teknologi karena pada dasarnya adalah sebuah kesalahan besar jika seorang perempuan gigih memperjuangkan emansipassi tetapi gagap memberikan kontribusi.
Jayalah terus kaum perempuan Indonesia!