
Peran Penyelenggara Perempuan dalam Demokrasi
Demak, kab-demak.kpu.go.id – Berbicara tentang perempuan memang tidak akan ada habis-habisnya. Makhluk yang memiliki peran ganda ini memang penuh misteri dan memiliki berjuta keunikan. Tema perempuan saat ini menjadi isu trend yang mendunia baik terkait hak-hak perempuan, peran perempuan serta perlindungan bagi perempuan. Termasuk peran perempuan diberbagai lembaga pengambil kebijakan publik yang saat ini masih terus diperjuangkan.
Pesta demokrasi pemilu ataupun pemilihan kepala daerah yang telah berlangsung beberapa saat yang lalu menjadi salah satu bentuk cara mengetahui sejauh mana komitmen penyelenggara perempuan memperjuangkan kesetaraan dan kebijakan-kebijakan yang ramah perempuan. Hal itu diungkapkan oleh Casytha Arriwi Kathmandu (Anggota DPD RI Dapil Jawa Tengah), Ida Budhiati (Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu/DKPP RI), Fitriyah (Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIP, Undip Semarang), dan Diana Ariyanti (Anggota KPU Provinsi Jawa Tegah Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat) dalam webinar yang diselenggarakan oleh KPU Provinsi Jawa Tengah pada hari Selasa (20/4).
Acara yang dibuka oleh Ketua KPU Provinsi Jawa Tengah Yulianto Sudrajat ini bertemakan Perempuan dalam Bingkai Demokrasi. “Webinar ini adalah salah satu ihtiar dalam menguatkan bagaimana peran perempuan yang terlibat dalam proses demokrasi,” kata Yulianto.
Diana Ariyanti selaku pemantik diskusi mengatakan bahwa jangan hanya menjadikan Hari Kartini sebagai simbol, akan tetapi kita sebagai perempuan harus mampu mengiternalisasi nilai-nilai spirit perjuangan RA Kartini.
Casytha A.Kathmandu selaku narasumber pertama menyampaikan Demokrasi tanpa perempuan bukanlah sebuah demokrasi. “Setiap warga Negara Indonesia memiliki hak dan kedudukan yang sama di mata hukum dan disemua bidang. Artinya perempuan dalam Undang-Undang diberikan hak yang sama untuk megekspresikan dan berserikat. Tidak ada perbedaan,” tegas Casytha.
“Kebijakan dalam demokrasi elektoral, haruslah ramah terhadap perempuan. Maka perlu ada pengawalan sehingga kebijakan tersebut pro-gender,” imbuhnya.
Idha Budiati mengulas terkait sejarah dan kronologi kebijakan afirmasi perempuan dalam pencalonan, mulai pemilu 2004 dimana ada sanksi sosial bagi partai yang daftar calon yang diajukan kurang dari 30 persen, lalu sanksi administratif pada pemilu 2009, dan pada 2014 mulai ada sanksi jika calon legislatif yang diajukan parpol di satu dapil kurang dari 30 persen maka parpol di dapil itu sanksinya tak ikut pemilu. Regulasi 2014 itu dipertahankan pada 2019 lalu.
Di sisi lain Fitriyah mengungkapkan ada banyak tantangan perempuan dalam proses demokrasi elektoral. Salah satunya adalah ada sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa pemimpin itu adalah laki-laki bukan perempuan dan saat terpilih, tantangan perempuan di ranah politik adalah dianggap tidak mampu bekerja sesuai dengan yang diharapkan dan hanya dijadikan sebagai pemanis.
Siti Ulfaati selaku anggota KPU Kabupaten Demak yang mengikuti kegiatan tersebut menyampaikan bahwa, kegiatan Webinar ini seperti membangunkan kembali dari mimpi panjang. Karena sebagai perempuan penyelenggara tentunya bukan hanya bertanggungjawab menunaikan dan memastikan tahapan penyelenggaraan berjalan lancar akan tetapi bagaimana bisa memperjuangkan kebijakan-kebijakan melalui kegiatan bisa ramah dan berpihak terhadap perempuan.